Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Lestari dalam buku Psikologi Keluarga, maka konflik dalam rumah tangga bisa menjadi destruktif apabila salah satu pasangan menghadapinya dengan perspektif negatif, emosi marah yang tidak terkendali, atau sikap menunggu waktu menyelesaikan masalah.
Pandangan negatif, menurutnya dapat membuat seseorang cenderung menghindari konflik, menumpuk kekecewaan, dan menolak penyelesaian yang konstruktif.
Bahkan, marah sendiri adalah reaksi yang alami dan manusiawi. Namun, seperti dijelaskan dalam Buku Fondasi Keluarga Sakinah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dkk kemarahan harus dikelola dengan kesadaran spiritual dan komunikasi yang sehat.
Marah tidak boleh menjadi alat untuk melukai, tetapi harus menjadi sinyal bahwa ada hal yang perlu dibicarakan dan disembuhkan.
Sementara itu, berpikir bahwa “waktu akan menyembuhkan semua” justru menanam bom waktu dalam hubungan. Masalah yang tidak dihadapi hanya akan mengendap menjadi dendam, mematikan rasa empati, dan menjauhkan pasangan dari nilai-nilai ma’ruf yang diperintahkan Allah.
Lima Tipe Orang dalam Menghadapi Masalah
Menariknya, dalam buku Problem Solving and Decision Making for Improvement, Gomulya mengelompokkan manusia menjadi lima tipe dalam menghadapi masalah ketika ada konflik dalam rumah tangga:
Pertama, tipe pemimpi, suka mengawang-awang dan gemar beride, namun jarang menindaklanjuti dengan aksi nyata.
Kedua, tipe cepat bereaksi, tangkas dalam bertindak, tetapi cenderung hanya mengandalkan kerja keras, bukan kerja cerdas.
Ketiga, tipe pengeluh, mudah menyerah dan merasa tidak mampu, sehingga sulit menyelesaikan persoalan. Keempat, tipe pengkritik, gemar menyalahkan pihak lain tanpa mau mengambil tanggung jawab.
Kelima, tipe pemecah masalah, melihat masalah sebagai peluang. Ia tenang, fokus, melakukan telaah mendalam, dan menyusun langkah nyata untuk keluar dari konflik.
Dalam konteks rumah tangga, tipe kelima adalah yang paling ideal. Suami dan istri yang menjadi problem solver tidak akan saling menyalahkan. Tetapi saling mencari solusi. Mereka tidak memandang konflik sebagai akhir, melainkan awal dari proses perbaikan hubungan. []






































