Mubadalah.id – Istilah “cacat”, “disabilitas”, dan “difabel” sering kita gunakan untuk menggambarkan orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, atau sensorik. Yang ketiganya sering kita samakan, padahal memiliki makna dan konotasi yang berbeda. Memahami perbedaan ini penting, agar masyarakat serta pembuat kebijakan dapat memperlakukan keterbatasan masyarakat dengan hormat dan adil.
Kata “cacat” merupakan istilah tertua dan sering kita pakai sejak lama di Indonesia. Dalam KBBI, istilah ini berarti kerusakan atau kekurangan yang menyebabkan sesuatu tidak berfungsi secara normal. Saat kita gunakan untuk manusia, kata ini membawa konotasi negatif yang mengarah pada kekurangan atau kelemahan fisik dan mental.
Penggunaan Istilah Disabilitas dalam Kebijakan
Dalam regulasi Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 menggunakan istilah “penyandang cacat.” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 kemudian diganti dengan “penyandang disabilitas” sesuai dengan prinsip non-diskriminasi dan menghormati hak asasi manusia. Meskipun istilah “difabel” belum menjadi terminologi resmi, istilah ini semakin meluas sebagai simbol pemberdayaan dan pengakuan sosial.
Sejarah istilah “cacat” berkaitan erat dengan pandangan tradisional yang salah, yaitu menganggap kecacatan sebagai akibat dosa atau kutukan. Masyarakat luas bahkan ada yang menganggap orang cacat sebagai beban sosial dan tidak berguna.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menggantikan istilah lama dengan istilah “disabilitas”untuk menyebut orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik dalam jangka waktu lama. Keterbatasan ini meliputi hambatan yang berasal dari interaksi antara kondisi individu dengan lingkungan sosial dan fisik yang menghalangi partisipasi penuh dan setara.
UU ini menjadi dasar hukum yang melindungi hak penyandang disabilitas dan memastikan akses yang setara dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik. Oleh karena itu, undang-undang ini membantu mendorong keadilan dan pemberdayaan secara menyeluruh bagi penyandang disabilitas.
Model paradigma disabilitas sosial Tekanan hambatan sosial dan lingkungan sebagai penyebab utama keterbatasan dalam berpartisipasi. Oleh karena itu, penghapusan hambatan ini menjadi prioritas agar penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik. Pendekatan ini menjadikan keberdayaan sebagai tujuan utama.
Disabilitas atau Difabel?
Istilah “difabel”diperkenalkan oleh Mansour Fakih pada pertengahan tahun 1990-an sebagai alternatif istilah yang lebih positif. Difabel berasal dari singkatan “different ability”yang berarti kemampuan berbeda. Istilah ini menegaskan bahwa setiap pribadi memiliki keunikan dan potensi sendiri yang harus kita hargai tanpa menonjolkan kekurangan fisik atau mental.
Perbedaan utama antara “disabilitas”dan “difabel”terletak pada konteks dan penggunaan. “Disabilitas” lebih sering kita pakai dalam ranah hukum, kebijakan, dan data resmi. Sedangkan “difabel” populer di kalangan aktivis dan komunitas sebagai bentuk identitas inklusif dan penegasan pemberdayaan. Istilah ini memberi ruang bagi penyandang disabilitas untuk melihat diri sebagai individu yang berdaya.
Secara singkat, istilah “cacat” menonjolkan kekurangan fisik atau mental dengan konotasi negatif dan stigma. “Disabilitas” menonjolkan tekanan hambatan sosial dan lingkungan dalam konteks hukum dan kebijakan secara inklusif. Sementara istilah “difabel”mengedepankan keberagaman kemampuan sebagai identitas positif dan bentuk pemberdayaan.
Pemahaman perbedaan istilah “cacat”, “disabilitas”, dan “difabel” penting agar masyarakat dan pembuat kebijakan dapat menghormati hak dan martabat penyandang disabilitas.
Dari Tak Berdaya Menjadi Berdaya
Pergeseran ini menandai perubahan paradigma mendalam dari pandangan ketidakberdayaan yang mengekang menjadi paradigma berdaya yang memerdekakan. Paradigma lama memandang keterbatasan sebagai masalah individu yang perlu disembuhkan, sementara paradigma baru menempatkan pembenahan kondisi sosial dan lingkungan sebagai kunci kesetaraan dan partisipasi penuh.
Model sosial penyandang disabilitas yang kita anut dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas mengamanatkan bahwa negara serta masyarakat untuk menghilangkan hambatan fisik, sosial, dan budaya yang membatasi partisipasi penyandang disabilitas. Penghapusan hambatan ini bertujuan memastikan akses yang setara dalam pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik.
Transformasi Istilah yang Lebih Manusiawi
Transformasi istilah untuk mempengaruhi sikap sosial dan kebijakan yang lebih manusiawi dan inklusif. Selain itu, perubahan istilah ini secara signifikan membantu mengurangi praktik diskriminasi terselubung atau yang biasa disebut “abelism”. Jarang kita sadari sikap negatif dan kebijakan dapat merugikan para penyandang disabilitas.
Dengan kata lain, transformasi ini membangun sikap sosial dan kebijakan yang lebih manusiawi, adil, dan inklusif, yang mampu membuka peluang partisipasi serta pemberdayaan nyata bagi penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan sosial.
Perubahan ini juga dapat memperkuat penerimaan masyarakat serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya membangun lingkungan yang ramah dan mendukung keberagaman kemampuan setiap individu.
Dengan pemahaman ini, stigma negatif dapat kita tekan, sehingga menghasilkan kebijakan lingkungan sosial yang lebih inklusif dan memberdayakan. Hal ini membuka jalan keadilan sosial dan mendorong pembatasan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai aspek kehidupan. []










































