Mubadalah.id – Kekerasan terhadap penyandang disabilitas tidak selalu tampak dalam bentuk fisik. Luka yang paling dalam sering datang dari kata-kata—komentar, ejekan, atau candaan yang merendahkan. Banyak orang mungkin tidak sadar, tapi ucapan semacam itu bisa menyakiti jauh lebih lama daripada tamparan.
Perlakuan verbal yang menyakiti mereka terhadap penyandang disabilitas bukan hanya sekadar ucapan kasar atau hinaan terang-terangan. Sebaliknya, justru sering muncul dalam bentuk candaan yang dianggap “ringan.” Nada bicara yang merendahkan, atau komentar yang tampak penuh empati tetapi sebenarnya menyinggung harga diri.
Banyak orang masih menganggap bentuk kekerasan verbal bagi penyandang disabilitas ini sepele, padahal dampaknya sangat serius sehingga menimbulkan rasa minder, trauma sosial, hingga membuat penyandang disabilitas kehilangan kepercayaan diri.
Masyarakat juga masih sering memandang penyandang disabilitas melalui sebutan yang menyoroti kekurangan fisik mereka, atau memperlakukan mereka dengan rasa kasihan yang tidak pada tempatnya. Padahal, empati sejati tidak berarti mengasihani, melainkan menghargai dan memperlakukan mereka sebagai individu yang setara.
Data terbaru dari Indonesia Joining Forces (IJF) mengungkap bahwa 51,3% kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas terjadi di ruang publik. Kasus tersebut tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga bisa berupa ejekan, olokan, atau komentar merendahkan di depan umum.
Fakta ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial kita masih sering menjadi sumber luka bagi penyandang disabilitas. Terutama anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan. Dibalik ucapan seperti “kasihan banget ya” atau “biar aku aja, kamu pasti susah” mungkin terdengar ringan. Tetapi pada kenyataannya bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dan perasaan dibeda-bedakan.
Niat baik yang salah
Kekerasan verbal terhadap penyandang disabilitas tidak selalu muncul dari kebencian atau niat jahat. Sebaliknya, hal itu sering lahir dari niat baik yang salah arah. Misalnya, seseorang dengan tulus menawarkan bantuan tanpa meminta izin terlebih dahulu, atau menggunakan nada bicara yang mengasihani. Hal tersebut bisa membuat penyandang disabilitas merasa direndahkan.
Selain itu, kalimat seperti “kasihan banget kamu” atau “biar aku aja, kamu pasti susah” mungkin terdengar sopan di telinga sebagian orang. Namun kenyataannya, bagi penyandang disabilitas, ucapan semacam itu bisa terasa menyinggung. Di balik kata-kata tersebut tersirat anggapan bahwa mereka tidak mampu dan selalu membutuhkan bantuan orang lain.
Akibatnya, niat baik yang seharusnya membangun justru menimbulkan perasaan tidak nyaman dan memperkuat jarak sosial antara penyandang disabilitas dan masyarakat sekitar.
Mencegah kekerasan verbal terhadap penyandang disabilitas harus dimulai dari kesadaran untuk saling menghormati, bukan mengasihani. Hal tersebut bisa kita mulai dari hal kecil. Gunakan bahasa yang setara, dengarkan dengan empati, dan hindari kata-kata yang merendahkan. Di sekolah, di tempat kerja, atau di ruang publik, setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang menghormati martabat mereka.
Membangun Empati dan Kesetaraan untuk Mencegah Kekerasan Verbal terhadap Penyandang Disabilitas
Prinsip Mubadalah mengajarkan bahwa setiap manusia, tanpa memandang kondisi fisiknya, memiliki nilai dan hak yang sama untuk dihormati. Prinsip ini mengajak kita untuk memperlakukan penyandang disabilitas sebagai mitra sejajar dan bukan objek belas kasihan. Dengan menerapkan nilai saling menghargai dan kesetaraan, kita bisa menciptakan lingkungan yang benar-benar inklusif.
Ketika kita menerapkan nilai-nilai Mubadalah, empati tidak lagi berhenti pada rasa kasihan. Empati berubah menjadi tindakan nyata untuk menciptakan lingkungan yang ramah, menghargai, dan setara. Artinya, kita mulai berhati-hati dalam berkata, memahami kebutuhan tanpa menghakimi, dan membuka ruang dialog yang inklusif.
Kini saatnya kita berhenti menggunakan kata yang melukai. Mari mulai berbicara dengan hormat, berpikir dengan empati, dan bertindak dengan kesetaraan. Dengan begitu, kita tidak hanya menghentikan kekerasan verbal terhadap penyandang disabilitas, tetapi juga menumbuhkan budaya kemanusiaan. []

			










































