Mubadalah.id – Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW merupakan sosok teladan sekaligus pendengar terhadap pengalaman hidup perempuan. Salah satu contoh paling nyata dari sikap Nabi adalah bagaimana beliau memperlakukan perempuan yang sedang mengalami haid, nifas, dan istihadhah.
Tiga kondisi biologis yang sering kali dijadikan dasar pembatasan peran perempuan dalam ruang sosial dan keagamaan.
Dalam tulisannya di Kupipedia.id, Nyai Hj. Badriyah Fayumi menjelaskan bahwa perilaku Nabi justru menghapus batas-batas ketabuan seputar pembicaraan tentang tubuh dan reproduksi perempuan. Nabi membuka ruang dialog yang penuh empati dan penghormatan.
Bahkan Beliau menjadikan persoalan haid, nifas, dan istihadhah bukan sebagai aib. Melainkan sebagai bagian dari proses penciptaan yang harus dipahami dengan ilmu dan kasih sayang.
Aisyah RA bahkan pernah memuji keberanian para perempuan Anshar yang secara terbuka membicarakan masalah reproduksinya kepada Nabi tanpa rasa malu. Mereka bertanya dan berdiskusi demi tafaqquh fiddin — mendalami agama.
Menurut Nyai Badriyah, situasi seperti ini menunjukkan betapa Islam sejak awal memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara tentang tubuhnya sendiri dan menjadikannya sebagai sumber pengetahuan keagamaan.
Nabi yang Mendengar
Dari sikap inilah kemudian muncul banyak hadis yang berbicara secara detail tentang haid, nifas, dan istihadhah. Dalam kitab-kitab hadis besar seperti al-Kutub as-Sittah, bahkan ada bab khusus yang membahas persoalan ini. Sunan Ibn Majah, misalnya, memberikan ruang pembahasan yang sangat luas dan rinci.
Namun yang menarik, sebagaimana dijelaskan oleh Nyai Badriyah Fayumi, hampir semua ketentuan hukum dalam hadis tentang haid, nifas, dan istihadhah didasarkan pada kasus-kasus konkret yang dialami oleh perempuan pada masa itu.
Artinya, hukum Islam tentang reproduksi perempuan tidak lahir dari asumsi para ulama laki-laki semata, melainkan dari dialog langsung antara Nabi dan perempuan yang mengalami persoalan tersebut.
Nama-nama seperti Aisyah, Ummu Salamah, Fatimah binti Abi Hubaisy, Ummu Habibah binti Jahsy, Asma binti Umais, dan Hamnah binti Jahsy menjadi saksi sejarah bagaimana Nabi dengan sabar mendengarkan keluhan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, dan memberikan solusi yang manusiawi bahkan berbeda untuk tiap individu.
Misalnya, terhadap Ummu Habibah binti Jahsy, Nabi memerintahkan untuk mandi setiap kali hendak shalat wajib. Sementara kepada Sahlah binti Suhail dan Asma binti Umais, beliau memberi keringanan untuk mandi satu kali untuk dua shalat wajib. Adapun kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, Nabi hanya memerintahkan mandi sekali saja ketika darah istihadhah berhenti.
Perbedaan jawaban ini bukan tanda ketidakkonsistenan, tetapi bukti bahwa Nabi sangat memperhatikan konteks, kebutuhan, dan kondisi tiap perempuan secara personal. Nabi tidak pernah memaksakan satu hukum yang kaku untuk semua orang. []








































