Mubadalah.id – Disabilitas sering dipandang sebagai keterbatasan. Sedangkan, manusia hidup di dunia yang memuja kefasihan. Orang yang pandai berbicara sering mendapat pujian. Lalu, yang lancar berdebat sering memperoleh kepercayaan. Juga, yang berani tampil di depan umum sering dipuji sebagai pemimpin.
Dalam budaya seperti ini, disabilitas yang memengaruhi cara seseorang berbicara kerap disalahpahami sebagai kekurangan. Padahal, lidah yang tak lancar bukan berarti jiwa yang tak cemerlang, bukan?
Jika merujuk pada aturan itu, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak bisa berbicara?
Bagaimana dengan saudara-saudara yang hidup dengan disabilitas wicara, yang terbata, atau yang menyampaikan makna lewat tangan dan tatapan? Apakah Tuhan menutup telinga terhadap mereka? Jika fasih menjadi tolok ukur kemuliaan manusia, lalu mengapa Allah menciptakan disabilitas?
Pertanyaan Tuhan dan disabilitas ini tentu mengguncang cara kita memahami kesempurnaan. Manusia sering menilai dari kelancaran bicara, bukan dari kedalaman makna. Padahal, Allah menilai dari ketulusan hati, bukan dari keindahan lidah.
Ketika dunia hanya menghargai yang lantang
Selama ini, dalam berbagai fase kehidupan, banyak orang menilai kepintaran dari kemampuan berbicara. Sekolah memuji murid yang cepat menjawab. Kantor memberi penghargaan pada karyawan yang pandai berpresentasi. Majelis keagamaan mengagungkan penceramah yang retoris. Intinya, dunia terus berputar mengikuti suara yang paling nyaring. Namun, di tengah kebisingan itu, sayangnya manusia juga sering kehilangan kemampuan untuk mendengar. Kita sering menunggu giliran bicara, bukan memahami diam orang lain.
Padahal, Allah sudah mengingatkan manusia dalam firman-Nya:
“Setiap makhluk bertasbih memuji-Nya, tetapi kamu tidak memahami tasbih mereka.”
(QS. Al-Isra: 44)
Ayat itu menunjukkan bahwa semua makhluk berbicara dengan caranya sendiri. Langit, laut, burung, dan batu menyampaikan dzikir yang manusia tidak mengerti. Dengan kata lain, masalahnya bukan pada mereka yang berbeda, tapi pada manusia yang menolak belajar bahasa lain.
Kita perlu mengingat, bahwa saudara-saudara kita yang hidup dengan disabilitas juga berbicara. Mereka menggunakan tangan, tatapan, dan gerak tubuh untuk menyampaikan cinta. Mereka menyampaikan dzikir dalam diam yang dalam. Mungkin mereka memang berbicara tanpa suara, tetapi siapa yang tahu bahwa bisa saja maknanya menggema sampai ke langit.
Nabi Musa dan keberanian dalam keterbatasan
Nabi Musa mengajarkan bahwa Tuhan tidak menilai manusia dari kefasihan. Ketika Allah memerintahnya berdakwah kepada Fir’aun, nabi Musa langsung berkata:
“Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku agar mereka memahami perkataanku.”
(QS. Thaha: 25–28)
Nabi Musa menyadari kekakuan lidahnya. Ia mengakui keterbatasannya dalam berbicara. Namun, Allah tetap memilihnya sebagai rasul besar. Dalam hal Ini, Allah tidak menunggu kefasihan untuk menurunkan wahyu. Sebaliknya, Allah justru memuliakan nabi Musa melalui kejujuran dan keberaniannya.
Nabi Musa tidak menunda dakwah sampai lidahnya sempurna. Ia berbicara dengan hati yang penuh iman. Keberanian nabi Musa menembus segala keterbatasan tubuhnya. Karena itu, Al-Qur’an menyebut nama nabi Musa lebih sering daripada nabi mana pun.
Kisah ini menunjukkan bahwa disabilitas tidak pernah menghalangi peran spiritual. Kita jadi tahu, bahwa Allah tidak mencari lidah yang lancar, tetapi hati yang jujur dan tekad yang kuat.
Dalam Asma’-Nya, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai As-Sami’, Yang Maha Mendengar. Dan Allah tidak pernah membatasi siapa yang Ia dengar. Ia mendengar doa sebelum seseorang melafalkan kata. Ia memahami air mata sebelum seseorang menjelaskan kesedihan. Bahkan, ketika seseorang dengan disabilitas wicara menengadahkan tangan, Allah langsung mendengarnya.
Ketika seseorang hanya mampu berdoa dengan isyarat, Allah langsung memahaminya. Karena, keikhlasan berbicara lebih nyaring daripada suara. Dengan demikian, doa tidak membutuhkan kefasihan, hanya kejujuran.
Bahasa yang tidak selalu lahir dari mulut
Islam membuka banyak jalan untuk berkomunikasi. Kata bisa mengandung makna, tapi tindakan juga bisa berbicara. Tatapan bisa menyampaikan cinta. Diam bisa menyalurkan doa. Selain itu, seorang sahabat yang menuntun temannya menyeberang jalan sedang berbicara lewat empati. Seorang ibu yang mengusap kepala anaknya sedang berbicara lewat kasih. Seorang penyandang disabilitas yang tersenyum dalam keterbatasan sedang berbicara lewat syukur.
“Kami menciptakan manusia dalam bentuk terbaik.” (QS. At-Tin: 4)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap bentuk manusia membawa kesempurnaan. Disabilitas tidak berarti kekurangan, disabilitas menunjukkan keberagaman ciptaan Tuhan. Allah menciptakan manusia dengan perbedaan agar mereka saling menolong dan saling belajar.
Banyak masyarakat menyandang disabilitas sosial tanpa menyadarinya. Ada yang mendengar, namun menutup diri dari suara yang berbeda. Di sekolah, ruang bagi bahasa isyarat sering kali tidak disediakan. Di rumah ibadah, jalur bagi roda yang membawa doa kerap terlupakan. Sementara itu, ruang publik pun ditata seolah setiap tubuh hadir dengan bentuk dan kemampuan yang seragam.
Akibatnya, ketika masyarakat menolak mendengar disabilitas, sebenarnya mereka menolak sifat Tuhan yang Maha Mendengar. Islam mengajarkan kasih dan keadilan bagi semua manusia, bukan hanya bagi yang “normal” menurut persepsi mayoritas. Karena itu, meneladani Tuhan berarti belajar mendengar semua makhluk, termasuk yang berbicara lewat keheningan.
Spiritualitas yang melampaui kefasihan
“Sesungguhnya manusia paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al Hujurat: 13)
Takwa tidak memerlukan kefasihan. Takwa tumbuh dalam kejujuran dan kesadaran. Seseorang yang menerima disabilitasnya dengan sabar dan syukur memperlihatkan ketakwaan yang tinggi.
Banyak orang berdoa dengan suara keras tetapi hatinya kosong. Sebaliknya, banyak orang berdoa dalam diam tetapi menggetarkan langit. Mereka yang terbata dalam bicara justru sering paling lancar dalam ketulusan. Disabilitas mengingatkan manusia bahwa ibadah sejati tidak bergantung pada tubuh, tetapi pada jiwa.
Meniru Tuhan yang mendengar semua makhluk
Manusia perlu meniru sifat Tuhan yang Maha Mendengar. Kita bisa belajar menghargai semua bentuk komunikasi. Kita bisa memahami bahasa isyarat, memberi waktu pada yang terbata, dan menatap dengan empati. Mendengar tidak hanya melibatkan telinga, tetapi juga hati. Dengan demikian, ketika seseorang mau mendengarkan yang berbeda, ia sedang meneladani Tuhan yang mendengar semua makhluk.
“Pada hari itu, lidah, tangan, dan kaki mereka bersaksi atas apa yang mereka kerjakan.”
(QS. An-Nur: 24)
Tubuh manusia akan berbicara di hadapan Tuhan. Setiap gerak kebaikan akan menjadi kalimat. Setiap sentuhan kasih akan menjadi ayat. Diam akan berubah menjadi dzikir. Dunia yang bising bisa belajar dari disabilitas. Karena, saudara-saudara kita yang hidup dalam keheningan mengajarkan makna diam yang berdaya. Mereka menunjukkan bahwa cinta tidak membutuhkan banyak kata. Kadang kasih paling murni justru tumbuh dari kesunyian. Iya?
Mendengar makna, bukan sekadar kata
Aku yakin, Tuhan selalu mendengar yang jujur, bukan yang fasih. Allah mendengar doa yang lahir dari mata, tangan, dan hati. Nilai manusia tidak bergantung pada kefasihan, tetapi pada makna yang ia perjuangkan.
Oh iya, tulisan ini tentu tidak bermaksud menolak kefasihan. Fasih tetap anugerah yang berharga. Namun, manusia perlu sadar bahwa kefasihan tanpa makna hanya akan menciptakan gema kosong. Pada akhirnya, yang penting bukan siapa yang paling lancar bicara, melainkan siapa yang paling jujur memahami makna setiap kata.
Karena di hadapan Tuhan, suara paling jernih tidak selalu terdengar oleh telinga. Kadang, suara itu justru lahir dalam diam, dan hanya Allah yang mampu menangkapnya. Sebab, tidak setiap suara harus fasih untuk bisa didengar. Wallahu A’lam. []












































