Mubadalah.id – Kadang saya berpikir, jangan-jangan menjadi sederhana pun merupakan sebuah privilese, sesuatu yang tampak bisa kita pilih dengan mudah, tetapi sesungguhnya hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang telah berada di posisi aman secara sosial dan ekonomi. Beberapa hari yang lalu, saya melihat seseorang dari keluarga ternama mengadakan pesta lamaran yang sederhana.
Tak ada dekorasi berlebihan, tak ada kemewahan yang mencolok, bahkan tempat acaranya pun tampak biasa saja. Namun, anehnya, justru kesederhanaan itu banyak orang yang memujinya. Mereka mengatakan betapa anggun dan rendah hatinya keluarga tersebut. Betapa bijaksana karena tidak menghamburkan uang hanya untuk satu hari acara. Kesederhanaan mereka terlihat indah, bahkan menjadi simbol kehormatan.
Namun di sisi lain, saya melihat kontras yang berbeda. Seorang teman yang berasal dari keluarga biasa, bahkan dengan penghasilan yang pas-pasan, justru merasa perlu mengadakan pesta lamaran yang besar dan mewah. Ia menabung berbulan-bulan, meminjam uang dari beberapa kerabat, dan menghabiskan banyak tenaga untuk memastikan semuanya tampak sempurna di mata tamu undangan.
Ia tidak ingin terpandang remeh, tidak ingin keluarganya terlihat “tidak mampu”. Padahal, jauh di dalam diri, ia juga ingin sesuatu yang sederhana, hangat, dan tidak memberatkan. Tetapi tekanan sosial sering kali lebih kuat dari suara hati. Ia merasa, kalau acaranya terlihat terlalu sederhana, nanti akan muncul komentar sinis: “Kok seadanya banget sih?”, atau “Masa anaknya nikah cuma begini?”
Apakah Kesederhanaan Itu?
Dari dua peristiwa itu saya mulai bertanya-tanya. Apakah kesederhanaan benar-benar bisa kita sebut pilihan pribadi, ataukah sebenarnya juga terikat oleh status sosial seseorang? Mengapa ketika orang kaya memilih hidup sederhana, mereka dianggap bijak dan berkelas. Sedangkan ketika orang biasa ingin hidup sederhana, sering kali dianggap tidak mampu atau tidak berusaha cukup keras.
Dalam perspektif Islam, kesederhanaan bukan sekadar pilihan pribadi ataupun cermin dari status sosial seseorang. Ia adalah sikap batin yang menempatkan manusia pada posisi yang tepat di hadapan Allah. Karena itu, Islam tidak pernah menilai kesederhanaan dari jumlah harta yang dimiliki, tetapi dari cara seseorang memandang dan memperlakukan hartanya.
Di sinilah relevansi sabda Rasulullah SAW riwayat Abu Hurairah r.a., “Lihatlah orang yang berada di bawah kalian dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena hal itu lebih nyata membuat kalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian.” Hadis ini seperti menyingkap akar dari persoalan sosial yang kita lihat hari ini. Yakni kecenderungan manusia menilai diri berdasarkan posisi orang lain
Menariknya, dalam praktik sehari-hari manusia justru lebih sering mengarahkan pandangannya kepada standar hidup yang tidak pernah benar-benar memiliki batas. Keinginan mengikuti apa yang “lebih” selalu muncul lagi dan lagi. Seolah setiap jenjang kemewahan memiliki jenjang baru di atasnya. Akibatnya, batas kesederhanaan pun menjadi kabur.
Budaya “sudah umumnya begini” perlahan membuat masyarakat merasa wajar menabrak batas yang sebelumnya dianggap berlebihan. Apa yang dulu kita sebut cukup kini dianggap kurang, dan apa yang dulu kita anggap berlebihan kini dianggap wajar.
Pengaruh terhadap Cara Pandang
Kecenderungan ini tidak hanya memengaruhi cara seseorang membelanjakan hartanya, tetapi juga memengaruhi cara ia memandang diri sendiri. Kesederhanaan akhirnya bukan lagi sikap batin, melainkan sekadar perbandingan sosial. Apakah aku sudah seperti mereka? apakah aku tertinggal?
Padahal Rasulullah SAW melalui hadis tadi mengingatkan bahwa keselahan cara pandang inilah yang membuat seseorang meremehkan nikmat Allah. Ketika seseorang tidak lagi mampu melihat nikmat yang sudah ia miliki karena terus menatap apa yang ada di atasnya, maka ia akan terus merasa kurang, sekalipun sebenarnya Allah telah banyak memberinya.
Dalam masyarakat kita, tampaknya ada semacam paradoks. Kita sering memuji nilai kesederhanaan, tapi pada saat yang sama, kita masih mengukur kesuksesan dari tampilan luar. Rumah yang besar, pesta yang megah, pakaian yang mahal, semua menjadi simbol keberhasilan yang sulit terlepaskan.
Ketika seseorang menolak mengikuti pola itu, ia sering dianggap “tidak normal”, “tidak menghormati tradisi”, atau bahkan “tidak mampu”. Akibatnya, banyak orang merasa terjebak dalam lingkaran sosial yang penuh tuntutan.
Padahal, kalau kita melihat lebih dalam, apa yang kita sebut “gaya hidup” sering kali tidak benar-benar lahir dari kehendak pribadi. Ia adalah hasil dari struktur sosial yang membentuk cara kita melihat diri sendiri dan orang lain.
Menilik Pemikiran Pierre Bourdieu
Dalam hal ini, pemikiran Pierre Bourdieu sangat relevan, ia menjelaskan bahwa selera, gaya hidup, dan bahkan bentuk kesederhanaan seseorang merupakan bagian dari “habitus.” Kebiasaan dan cara berpikir yang terbentuk dari pengalaman sosial dan posisi ekonomi seseorang. Dengan kata lain, apa yang kita anggap indah, pantas, atau sederhana bukanlah pilihan netral, melainkan hasil dari struktur sosial yang kita hidupi.
Akibatnya, kesederhanaan tidak lagi berdiri sebagai nilai yang netral. Ia selalu berinteraksi dengan cara masyarakat membaca status, peluang, dan latar belakang seseorang. Seseorang yang berada di posisi sosial tinggi dapat memaknai kesederhanaan sebagai pilihan estetik atau spiritual yang terpuji. Sementara mereka yang berada di posisi lebih rendah sering kali harus menanggung beban stereotip bahwa kesederhanaannya adalah keterbatasan.
Di sinilah terlihat betapa jauhnya jarak antara pesan Nabi yang mengajak manusia melihat ke bawah untuk merawat rasa syukur, dengan realitas sosial yang mendorong kita terus melihat ke atas demi menjaga citra dan pengakuan.
Ketegangan antara dua arah pandang ini membuat kesederhanaan bergerak tidak hanya sebagai sikap batin, tetapi juga sebagai medan pertarungan makna yang dipengaruhi oleh tekanan sosial, ekspektasi budaya, dan kebutuhan manusia untuk diakui dalam lingkungannya.
Kesederhanaan Sejati
Pada akhirnya, sampai pada satu kesimpulan yang barangkali belum selesai kita pahami sepenuhnya: bahwa kesederhanaan sejati bukanlah tentang seberapa kecil bentuk perayaannya, atau seberapa sedikit biaya yang kita keluarkan, melainkan tentang kebebasan batin untuk tidak hidup berdasarkan pandangan orang lain.
Kesederhanaan yang lahir dari kesadaran dan ketenangan hati justru lebih mewah daripada pesta mana pun, karena ia menghadirkan kejujuran dan kedamaian yang sulit dibeli.
Mungkin, di tengah dunia yang semakin sibuk dan penuh citra, kesederhanaan telah berubah menjadi bentuk keberanian baru, keberanian untuk tidak selalu terlihat “cukup” di mata orang lain.
Menjadi sederhana bukan berarti menolak kemajuan, melainkan memilih jalan yang lebih jujur terhadap diri sendiri. Dan di titik itu, saya merasa bahwa kesederhanaan bukan lagi sekadar nilai moral, tapi juga sikap perlawanan yang lembut terhadap budaya pamer yang melelahkan. []












































