Mubadalah.id – Menurut Anda, apa itu pernikahan? Haruskah ia dirayakan? Bagaimana ia kita rayakan? Dan apakah perayaan itu musti mewah? Berapa banyak orang yang perlu kita undang?
Sebagai seorang yang belum pernah merasakan euforia pernikahan, pertanyaan-pertanyaan tersebut sering menggantung di benak saya. Dan itu semakin gencar membayangi ketika saya membaca sebuah artikel The Jakarta Post bertajuk “Uniquely yours: Jakarta weddings are getting smaller and more personal.”
Artikel yang Aqraa Sagir tulis tersebut menyoroti sebuah fenomena yang mungkin sudah kita rasakan getarannya. Pergeseran tren pernikahan di perkotaan, terutama di Jakarta, yang kian menyusut dalam skala, namun menebal dalam keintiman. Generasi muda mulai meninggalkan tradisi pesta kolosal mewah yang dihadiri ribuan tamu—yang sebagian besar tidak mereka kenal—ke perayaan yang lebih kecil, sederhana, hangat, dan personal.
Fenomena ini, sepintas, mungkin tampak seperti strategi penghematan ekonomi belaka. Namun, jika kita melihatnya lebih jauh, pergeseran ini adalah gejala dari perubahan radikal di dalam struktur sosial kita.
Dalam bukunya, ‘The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial’, Francis Fukuyama membedah bagaimana transisi dari era industri ke era informasi memporak-porandakan tatanan sosial yang lama.
Jika kita analogikan, pernikahan gaya lama adalah sisa-sisa dari mentalitas era industri. Ia bersifat massal, terstandarisasi, dan hierarkis. Dalam model ini, pernikahan bukan semata-mata perayaan cinta dua individu, melainkan show of force keluarga besar di mana individu tunduk pada norma sosial yang kaku.
Tren Intimate Wedding
Ribuan tamu yang hadir adalah representasi dari kewajiban sosial orang tua, relasi bisnis, dan hutang budi masa lalu yang harus terbayar lunas dengan jabat tangan di atas pelaminan. Namun, Fukuyama mengingatkan bahwa norma sosial tidaklah statis. Ia hancur dan kemudian tersusun ulang.
Apa yang kita saksikan pada tren micro-wedding atau intimate wedding di dalam artikel Aqraa Sagir di atas adalah proses penyusunan ulang tersebut. Sebuah respons adaptif masyarakat modern terhadap dunia yang semakin riuh dan terfragmentasi. Pergeseran ini menandakan kemenangan individualisme atas kolektivisme tradisional.
Di masa lalu, masyarakat terikat oleh apa yang sosiolog Ferdinand Tönnies sebutkan sebagai “Gemeinschaft” (paguyuban), sebuah komunitas yang berdasarkan pada kekerabatan dan tatap muka. Namun, kota-kota besar seperti Jakarta adalah representasi dari “Gesellschaft” (patembayan), sebuah masyarakat yang berdasarkan pada rasionalitas yang impersonal.
Di tengah transisi tersebut, generasi muda perkotaan merasa asing dengan kewajiban mengundang banyak orang yang tidak punya ikatan emosional dengan mereka. Fukuyama menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, kebebasan individu menguat. Manusia ingin membebaskan diri dari aturan-aturan sosial yang mereka anggap mengekang.
Radius Kepercayaan
Namun, ada yang lebih dalam dari sekadar pemberontakan terhadap tradisi. Fukuyama memperkenalkan konsep “radius kepercayaan” (radius of trust).
Dalam masyarakat tradisional, kepercayaan sering kali meluas namun dangkal, atau terbatas hanya pada kerabat saja. Di era modern, terjadi fenomena yang oleh Fukuyama sebutkan sebagai miniaturisasi moral (moral miniaturization). Ini adalah kondisi di mana orang-orang merasa lebih nyaman dan percaya pada kelompok-kelompok yang lebih kecil dan terseleksi, daripada dalam institusi besar atau komunitas luas. Intimate wedding di Jakarta adalah manifestasi fisik dari miniaturisasi moral ini.
Di tengah kehidupan kota yang bising, macet, dan penuh dengan interaksi transaksional yang melelahkan, pasangan muda tidak lagi mencari validasi dari ribuan orang. Mereka mencari kedalaman, keaslian, dan koneksi nyata. Lalu mereka memperkecil radius perayaan mereka untuk memperdalam kualitas emosional di dalamnya. Mereka menciptakan “gua”, tempat di mana mereka bisa menjadi diri sendiri tanpa harus bersandiwara di hadapan ratusan atau ribuan tamu undangan.
Peran Perempuan
Dalam ‘The Great Disruption’, Fukuyama juga membahas tentang peran perempuan dan perubahan struktur keluarga sebagai pendorong utama perubahan norma sosial. Naiknya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan kemandirian ekonomi mereka mengubah dinamika kekuasaan dalam keputusan-keputusan domestik.
Di perkotaan seperti Jakarta, banyak mempelai wanita adalah seorang profesional yang mandiri secara finansial. Mereka bukan lagi objek pasif yang “diserahkan” dari ayah ke suami dalam sebuah upacara adat yang kaku. Kemandirian ini memberikan mereka suara bahkan otoritas untuk menolak dikte dan ekspektasi sosial.
Jika dulu pernikahan adalah tentang hubungan antara dua keluarga dan pertukaran sumber daya, kini pernikahan—bagi kelas menengah urban perkotaan—adalah tentang kemitraan yang setara dan ekspresi diri. Keinginan untuk membuat pernikahan yang “uniquely yours” seperti yang Sagir utarakan, adalah cerminan dari pergeseran nilai ini. Dari pernikahan sebagai kewajiban institusional menjadi pernikahan sebagai proyeksi identitas personal.
Modal Sosial
Selain itu, kita tidak bisa mengabaikan aspek “modal sosial” (social capital) yang menjadi inti pemikiran Fukuyama dalam bukunya. Modal sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama.
Banyak yang mungkin beranggapan bahwa mengecilnya skala pernikahan adalah tanda terkikisnya modal sosial. Namun, Fukuyama mengajak kita untuk tidak terburu-buru menyimpulkan. Menurutnya, modal sosial tidak hilang, ia hanya berubah bentuk.
Dari perspektif ini, pesta pernikahan dengan 2.000 tamu mungkin tampak memiliki modal sosial yang besar, tetapi jika interaksinya hanya sebatas salaman dua detik tanpa makna, apakah itu benar-benar memperkuat ikatan sosial?
Sebaliknya, pernikahan hanya dengan beberapa tamu di mana setiap orang benar-benar berinteraksi, berbagi cerita, dan tertawa bersama, dapat menghasilkan modal sosial yang jauh lebih kuat dan berkualitas.
Inilah yang direkalibrasi oleh generasi muda perkotaan. Mereka tidak lagi mendefinisikan komunitas sebagai “siapa saja yang pernah berinteraksi dengan orang tua saya.” Melainkan “siapa yang benar-benar peduli dan hadir dalam hidup saya.”
Di sisi lain, di banyak masyarakat, pesta besar umumnya menganggapnya sebagai sarana untuk kompetisi status—sebuah zero-sum game di mana seseorang menunjukkan bahwa mereka lebih mampu dan kaya daripada tetangganya. Fukuyama mencatat bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang hierarkis dan selalu mencari pengakuan.
Di era industri atau masyarakat feodal, pengakuan tersebut kita dapatkan melalui kemegahan dan jumlah massa yang berhasil terkumpulkan. Namun, di era informasi saat ini yang didominasi oleh kelas-kelas kreatif dan profesional urban, mata uang status ini berubah.
Kemewahan yang norak dan massal mulai dianggap usang atau bahkan vulgar. Status kini kita dapat melalui kurasi, keaslian, dan pengalaman. Ini adalah contoh dari pergeseran materialisme ke post-materialisme, di mana pengalaman dan ekspresi diri lebih kita hargai daripada akumulasi benda atau jumlah tamu undangan yang hadir.
Rekonstruksi Besar
Setelah tatanan lama terganggu atau hancur akibat perubahan teknologi dan ekonomi, manusia secara alami akan membangun kembali tatanan sosial yang baru. Manusia adalah makhluk yang secara biologis terprogram untuk menciptakan aturan moral dan tatanan sosial. Tren pernikahan intim ini bisa kita lihat sebagai bagian dari rekonstruksi tersebut.
Setelah lelah dengan norma-norma lama yang terasa tidak lagi relevan—pemborosan biaya, kewajiban mengundang orang asing, dan hilangnya sakralitas—generasi muda perkotaan pun menyusun norma baru. Mereka menetapkan aturan main baru: bahwa pernikahan haruslah bermakna, bahwa privasi harus menjadi yang utama, dan bahwa keintiman lebih berharga daripada formalitas.
Ini adalah bentuk self-organization. Sama seperti para komuter di Washington D.C. yang menciptakan aturan “slugging” (berbagi tumpangan) untuk mengatasi kemacetan kota. Salah satu contoh yang dikutip Fukuyama tentang bagaimana ketertiban muncul dari bawah. Pasangan muda perkotaan menciptakan tata krama pernikahan yang baru untuk mengatasi “kemacetan” emosional dan finansial dari tradisi lama.
Tentu saja, argumen ekonomi tidak bisa kita kesampingkan, meskipun Fukuyama sering menekankan bahwa budaya dan nilai punya otonominya sendiri. Biaya hidup di kota-kota besar seperti Jakarta yang tinggi, harga properti yang melangit, dan ketidakpastian ekonomi global memaksa pasangan muda untuk berpikir rasional dan realistis. Namun, dalam kerangka Fukuyama, rasionalitas ini tidak berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan perubahan nilai.
Jika di masa lalu orang rela berhutang demi gengsi hanya untuk sebuah pesta besar, sekarang rasionalitas ekonomi yang didukung dengan perubahan budaya memvalidasi pilihan orang untuk berhemat. Ada pergeseran dari “kewajiban komunal” menjadi “tanggung jawab individual”.
Pasangan muda lebih memilih mengalokasikan dananya untuk rumah atau investasi masa depan sebagai bentuk perencanaan jangka panjang yang mencerminkan etos kelas menengah baru yang lebih pragmatis. Namun berorientasi pada kesejahteraan keluarga, alih-alih kepuasan keluarga besar.
Peran Teknologi
Menariknya, Fukuyama juga menyinggung tentang peran teknologi dalam membentuk relasi sosial. Di era di mana hampir seluruh hidup kita terpampang di media sosial, masalah privasi pun muncul. Hari ini, semakin kita terhubung secara digital, semakin kita merindukan koneksi fisik yang autentik. Pesta pernikahan besar di mana setiap orang bisa mengambil foto dan menyebarkannya secara real-time bisa terasa sangat melelahkan.
Intimate wedding menawarkan semacam tempat perlindungan dari normalisasi yang melelahkan di atas. Di sini, teknologi (seperti undangan digital atau streaming terbatas) kita gunakan untuk mengontrol akses. Bukan untuk membuka pintu selebar-lebarnya kepada siapapun.
Ini sejalan dengan tesis Fukuyama bahwa dalam masyarakat jaringan (network society), hierarki formal (seperti aturan adat yang kaku) tergantikan oleh jaringan informal yang berdasarkan pada kepercayaan dan nilai bersama. Pasangan atau pengantin adalah admin jaringan tersebut, dan mereka berhak menentukan siapa yang masuk dalam momen kebahagiaan mereka—dan siapa yang tidak.
Satu hal yang perlu kita catat adalah bahwa perubahan ini tidak terjadi tanpa gesekan. Fukuyama mengakui bahwa masa transisi atau disrupsi sering kali menyakitkan. Di Jakarta, gesekan ini nyata terjadi dalam bentuk konflik antargenerasi.
Kompromi
Orang tua yang masih memegang teguh norma lama, bahwa pernikahan adalah hajatan orang tua untuk mengundang semua kenalan mereka. Kondisi ini sering kali bentrok dengan anak-anak mereka yang memegang nilai-nilai baru.
Itu adalah benturan antara nilai-nilai kolektivis masa lalu dengan nilai-nilai individualis masa kini. Namun, seperti yang Fukuyama gambarkan dalam analisis sejarahnya, masyarakat pada akhirnya akan menemukan keseimbangan baru.
Kompromi-kompromi mulai bermunculan: acara adat untuk keluarga di pagi hari, dan resepsi intimate untuk teman di malam hari. Ini adalah bukti bahwa manusia punya kemampuan untuk beradaptasi dan mensintesis nilai-nilai yang bertentangan demi menjaga kohesi sosial.
Kita juga harus melihat fenomena ini dalam konteks urbanisasi perkotaan yang brutal. Jakarta, sebagai megalopolis, sering kali mengalienasi masyarakatnya. Dalam keramaian kota, individu sering merasa sendirian.
Intimate Wedding Bukan Kemunduran Budaya
Pesta pernikahan besar, ironisnya, sering kali memperparah alienasi ini—pengantin berdiri di panggung seperti pajangan, disalami oleh ribuan tangan yang tak ia kenal, tersenyum mekanis hingga rahang kaku. Itu adalah bentuk interaksi yang sangat “Tayloristik”. Istilah yang Fukuyama gunakan untuk menggambarkan efisiensi pabrik yang tidak manusiawi. Di mana tamu terproses seperti barang berjalan: datang, salaman, makan, pulang.
Jika kita merenungkan kembali pertanyaan di awal tulisan ini, Fukuyama mungkin akan mengatakan bahwa tidak ada definisi tunggal. Apa yang kita anggap sakral atau wajib dalam sebuah perayaan hanyalah konsensus sosial di waktu tertentu. Ketika teknologi berubah, ketika struktur ekonomi bergeser, dan ketika cara kita memandang diri sendiri bertransformasi, cara kita merayakan cinta pun ikut berubah.
Intimate wedding di Jakarta atau di kota-kota besar lain bukanlah tanda kemunduran budaya atau lunturnya semangat gotong royong. Justru sebaliknya, itu adalah tanda bahwa kehidupan masih terus berdenyut, sebuah contoh dari masyarakat yang tengah menata ulang norma-normanya agar relevan dengan tantangan zaman.
Sebab bagaimanapun, modal sosial yang paling berharga bukanlah tentang berapa banyak orang yang kita kenal atau seberapa megah pesta yang kita gelar. Modal sosial yang sejati adalah kualitas hubungan yang kita bangun dengan orang-orang terdekat.
Di tengah dunia yang tak menentu ini, di mana institusi-institusi besar kehilangan kepercayaan publik dan ikatan-ikatan tradisional melonggar, intimate wedding adalah tindakan yang radikal sekaligus puitis. Pergeseran ini adalah tentang menemukan norma baru yang lebih manusiawi di tengah kacaunya transisi zaman. []
Daftar Pustaka
Fukuyama, Francis. ‘The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial’. (Terj. Ruslani). Penerbit Qalam: Yogyakarta, 2016.











































