Mubadalah.id – Keberadaan juru bicara disabilitas berperspektif gender menjadi kebutuhan penting dalam upaya mendorong keadilan. Yakni dengan mengedepankan sensitifitas gender dan pemenuhan hak-hak kelompok rentan. Selama ini, isu disabilitas sering kita pandang secara seragam seolah seluruh penyandang disabilitas mengalami hambatan yang sama.
Padahal, pengalaman perempuan, laki-laki, dan kelompok gender lainnya dalam konteks disabilitas sangat berbeda. Kondisi ini terpengaruhi oleh relasi kuasa, budaya, akses layanan, serta posisi sosial mereka. Karena itu, juru bicara yang tidak hanya memahami disabilitas, tetapi juga sensitif terhadap isu gender, memainkan peran penting untuk memastikan suara kelompok yang paling rentan benar-benar terdengar.
Perempuan penyandang disabilitas menghadapi bentuk diskriminasi berlapis. Mereka tidak hanya mengalami hambatan fisik, sensorik, intelektual, atau psikososial. Tetapi juga menghadapi norma sosial yang membatasi peran dan ruang gerak perempuan.
Kerentanan ini tampak dalam akses pendidikan yang lebih rendah, risiko kekerasan yang lebih tinggi. Terbatasnya akses kesehatan reproduksi, hingga stigma terhadap kemampuan mereka untuk menjadi pemimpin atau mandiri secara ekonomi. Tanpa juru bicara yang memiliki pemahaman mendalam tentang perspektif gender, isu-isu ini sering terpinggirkan dan tidak menjadi prioritas kebijakan.
Memastikan Representasi yang Adil
Juru bicara dengan perspektif gender mampu mengangkat pengalaman unik perempuan dan kelompok gender minoritas penyandang disabilitas yang selama ini tersembunyi di balik statistik umum. Mereka dapat menyoroti bagaimana kebijakan publik, layanan kesehatan, mekanisme bantuan sosial, dan program pemberdayaan sering kali gagal merespons kebutuhan spesifik perempuan disabilitas.
Misalnya, kebijakan perlindungan terhadap kekerasan sering tidak menyediakan mekanisme pendampingan yang inklusif, program kesehatan reproduksi jarang memberikan akses ramah disabilitas, atau pelatihan kerja tidak terdesain untuk mengatasi hambatan mobilitas dan peran domestik yang masih dibebankan pada perempuan.
Lebih jauh, keberadaan juru bicara disabilitas berperspektif gender juga penting untuk memastikan representasi yang adil. Dalam banyak ruang pengambilan keputusan, penyandang disabilitas sering tidak terlibat, apalagi perempuan penyandang disabilitas. Ketika keputusan dibuat tanpa mendengar suara mereka, kebijakan menjadi tidak relevan dan tidak efektif.
Juru bicara yang memahami dinamika gender dapat mengisi kekosongan ini dengan menghadirkan analisis yang lebih komprehensif. Memastikan bahwa perempuan disabilitas bukan hanya menjadi objek kebijakan, tetapi menjadi subjek yang menentukan arah perubahan.
Ruang Setara tanpa Stigma
Dalam konteks advokasi, juru bicara berperspektif gender berfungsi sebagai jembatan antara pengalaman hidup dan ruang kebijakan. Mereka mampu menerjemahkan cerita-cerita personal menjadi argumen kebijakan yang kuat, berbasis prinsip kesetaraan dan HAM. Dengan cara ini, advokasi tidak sekadar berbicara atas nama kelompok disabilitas, tetapi benar-benar membawa aspirasi yang selama ini terpinggirkan.
Namun, menjadi juru bicara dengan perspektif gender tidak hanya membutuhkan pengalaman atau kedekatan dengan isu disabilitas. Tetapi juga kapasitas dan sensitifitas untuk memahami struktur sosial yang melanggengkan ketidakadilan gender. Kita memerlukan pelatihan, pendampingan, serta ruang aman agar perempuan penyandang disabilitas dapat membangun kepercayaan diri dan kemampuan berbicara di ruang publik.
Di sisi lain, masyarakat luas, termasuk organisasi disabilitas, pemerintah, dan media, juga perlu membuka ruang partisipasi yang setara tanpa stigma dan tanpa ketimpangan kuasa. Pada akhirnya, juru bicara disabilitas berperspektif gender bukan hanya peran, tetapi gerakan untuk memperluas keadilan.
Mereka hadir untuk memastikan bahwa keberagaman dalam kelompok disabilitas benar-benar terakui, bahwa pengalaman perempuan penyandang disabilitas tidak lagi tersembunyi, dan bahwa kebijakan yang inklusif tidak berhenti pada akses fisik, tetapi juga menghapus hambatan sosial dan budaya yang membatasi kesetaraan.
Dengan menghadirkan suara-suara ini ke ruang publik, kita memperkuat demokrasi, melindungi hak asasi, dan memastikan bahwa tidak ada satu pun kelompok yang tertinggal dalam proses pembangunan. []











































