Mubadalah.id – Industri ekstraktif kerap disebut sebagai salah satu upaya dalam penopang ekonomi pembangunan nasional. Ia menjanjikan banyak lapangan kerja, investasi, dan pertumbuhan ekonomi bagi masyakarat sekitar.
Namun alih-alih menjadi penopang ekonomi nasional, industri ini justru banyak merusak lingkungan, menggunduli hutan, dan tidak sedikit mengusir masyarakat adat, terutama para perempuan dan anak dari tanah kelahirannya.
Laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat bahwa sepanjang 2024, terdapat 121 kasus penguasaan wilayah adat sebanyak 2.824.118 hektar yang menimpa 140 komunitas masyarakat adat.
Dampaknya, sebagian besar masyarakat adat, terutama perempuan, mereka kehilangan tanahnya, sumber air, dan ruang hidup yang selama ini menjadi penopang kehidupan keluarga mereka.
Para Perempuan Melawan Industri ekstraktif
Namun di tengah situasi yang semakin rusak, banyak para perempuan korban industri ekstraktif memilih untuk terus melawan.
Di antaranya pertama, ada Aleta Baun, atau Mama Aleta, dari Mollo, Nusa Tenggara Timur. Melansir dari laman mamaaleta.org, ia memimpin lebih dari seratus perempuan adat menolak tambang marmer di Pegunungan Mutis.
Mama Aleta dan para perempuan Mollo tidak membawa senjata. Mereka membawa tenunan. Hari demi hari mereka duduk di lokasi tambang, menenun kain tradisional sebagai bentuk perlawanan terhadap perampasan ruang hidup mereka.
Aksi itu berhasil. Perusahaan tambang akhirnya menghentikan operasinya. Bagi Mama Aleta, menenun menjadi simbol perlawanan terhadap kekerasan struktural yang merampas hak hidup perempuan adat. Dari tangan-tangan mereka yang menenun semakin menegaskan bahwa bumi dan kehidupan tidak untuk dijual, melainkan untuk dijaga bersama.
Kedua, dari ujung Timur Indonesia, tepatnya di Tanah Papua tercatat ada kisah Yosepha Alomang, atau Mama Yosepha. Ia memimpin perjuangan masyarakat Amungme dalam membela kedaulatan atas wilayah hidup Suku Agimuga di Amungme yang dirampas oleh PT. Freeport, perusahaan tambang emas dan biji tembaga terbesar di dunia.
Melansir dari Konde.co, Mama Yosepha bersama para perempuan adat melakukan aksi dengan memotong pipa Freeport dan menguasai Bandara Timika selama 3 hari.
Pengembalian Hutan Adat
Sementara itu, ketiga, di Sumatera Utara, Delima Silalahi melakukan aksi dengan menuntut pengembalian hutan adat masyarakat Tano Batak yang dirampas oleh perusahaan pulp dan kertas. Di bawah kepemimpinannya, enam komunitas adat berhasil mendapatkan pengakuan hukum atas hutan mereka dengan total lebih dari 7.000 hektar.
Kisah perjuangan Mama Aleta Baun di Mollo, Mama Yosepha di Amungme, dan Delima Silalahi di Tanah Batak menjadi bukti nyata bahwa perempuan adalah penjaga terakhir bumi dan kehidupan.
Mereka hadir untuk menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh menafikan keadilan ekologis dan kemanusiaan perempuan.
Pasalnya, industri ekstraktif selama ini berdiri dengan dalih pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, pertumbuhan yang lahir dari perampasan tanah adat, perusakan hutan, dan penderitaan masyarakat, bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran peradaban.
Bahkan, ketika perempuan adat harus kehilangan tanah dan sumber airnya, ketika anak-anak tumbuh tanpa ruang hidup yang layak, maka sesungguhnya negara sedang merusaknya dari dalam.
Pandangan KUPI
Senada dengan itu, pandangan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menegaskan bahwa menjaga bumi dan lingkungan bagian dari iman dan tanggung jawab keagamaan.
Dalam pandangan Dr. Nur Rofiah, salah satu anggota Majelis Musyawarah (MM) KUPI, seluruh bentuk kekerasan terhadap perempuan dan kerusakan lingkungan merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan hakiki dalam Islam.
Ia menegaskan bahwa Islam tidak bisa membenarkan pembangunan yang mengorbankan kehidupan. Sebab dalam maqashid syariah terdapat prinsip hifdz an-nafs (menjaga kehidupan) dan hifdz al-bi’ah (menjaga lingkungan).
Dengan demikian, ketika tanah, air, dan udara dirusak oleh keserakahan industri ekstraktif, maka sesungguhnya itu adalah pelanggaran terhadap prinsip maqashid syariah. Hal itu karena menafikan amanah manusia sebagai khalifah di bumi.
Dr. Nur Rofiah juga mengingatkan bahwa perempuan memiliki peran penting sebagai penjaga kehidupan (umm al-hayat). Ketika perempuan sudah berani melawan perusakan lingkungan, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan misi keagamaan untuk merawat kehidupan dan memastikan keberlanjutan generasi.
Dengan begitu, negara semestinya berpihak pada penjaga seperti para perempuan adat bukan pada industri yang merusak bumi.
Hutan sebagai Keberlanjutan Manusia
Oleh karena itu, pemerintah harus berhenti memandang tambang hanya sebagai sumber penghasilan negara, tetapi melihatnya dari sisi kemanusiaan dan keberlanjutan. Karena tidak ada pembangunan yang benar-benar berhasil jika dibayar dengan hilangnya hutan, tercemarnya air, dan hancurnya tatanan sosial masyarakat adat.
Bahkan, perlawanan perempuan adat dari berbagai penjuru nusantara menjadi penegasan bahwa keadilan ekologis dan kesetaraan gender harus berjalan beriringan. Mereka bukan hanya memperjuangkan hak atas tanah, tetapi juga mempertahankan hak atas masa depan. Sudah saatnya negara, agama dan masyarakat, sama-sama berjuang untuk melindunginya.
Seperti dikatakan oleh Dr. Nur Rofiah bahwa keadilan adalah tanda hadirnya Tuhan dalam kehidupan manusia. Maka setiap bentuk ketidakadilan terhadap perempuan, alam, dan masyarakat adat, sesungguhnya adalah pengingkaran terhadap kehadiran Tuhan itu sendiri. []









































