Mubadalah.id – Di tengah maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan mulai dari ranah domestik hingga ruang publik kita kerap mendengar dalih-dalih agama digunakan untuk membenarkan tindakan yang merugikan dan merendahkan martabat perempuan.
Padahal, bila kembali pada ajaran al-Qur’an, maka ia sangat jelas keberpihakannya kepada yang dilemahkan. Dan dalam banyak konteks sosial kita hari ini, perempuanlah yang paling sering berada di posisi itu.
Al-Qur’an sejak awal menempatkan diri sebagai pembela kaum mustadh’afin, mereka yang tertekan oleh sistem sosial yang timpang.
Karena itu, setiap tindakan yang menimbulkan mudarat bagi perempuan, dinilai sebagai bentuk tidak sejalan dengan ajaran Islam dan harus dihentikan. Termasuk praktik-praktik seperti rujuk dengan motif manipulatif, yang dalam kenyataannya lebih menjadi alat kontrol ketimbang bentuk tanggung jawab moral.
Sebagai kitab suci yang membawa misi peradaban, al-Qur’an tidak memusatkan penyelesaian kasus kekerasan pada prosedur hukum semata. Al-Qur’an menempatkan moral sebagai acuan utama. Yaitu bagaimana keadilan menjadi napas dari seluruh sikapnya terhadap perempuan.
Kita bisa melihat ini dalam banyak aspek misalnya tentang hak perempuan atas hidupnya dan harta pribadinya, kewajiban laki-laki memperlakukan perempuan dengan kebaikan, pengakuan atas pilihan perempuan, serta perlindungan dari tindakan yang merendahkan kehormatan mereka.
Semua itu menunjukkan bahwa perempuan diposisikan sebagai subjek yang bermartabat, bukan objek yang bisa diperlakukan semaunya.
Progresif
Semangat Al-Qur’an dalam soal kekerasan terhadap perempuan sesungguhnya jauh lebih progresif daripada pembacaan tekstual.
Al-Qur’an menghadirkan empat nilai sekaligus yaitu pembebasan, perlindungan, pemberdayaan, dan pemuliaan. Ia membebaskan perempuan dari kekerasan nyata yang selama ini membelenggu. Ia melindungi perempuan dari berbagai pelaku dan bentuk kekerasan yang mungkin muncul dalam relasi sosial.
Bahkan, ia memberdayakan perempuan agar keluar dari lingkaran ketidakberdayaan akibat budaya patriarki. Dan pada saat bersamaan, ia memuliakan perempuan sebagai manusia merdeka yang wajib kita hormati.
Maka sudah waktunya keberpihakan al-Qur’an ini dihidupkan kembali dalam ruang-ruang sosial dan kelembagaan kita. Sehingga, kekerasan yang dibungkus legitimasi agama perlu dilawan. Karena itu produk budaya yang mengaburkan pesan al-Qur’an sendiri. []










































