Mubadalah.id – Perbincangan mengenai transisi energi dalam beberapa tahun terakhir semakin menguat di Indonesia. Topik ini berseliweran di ruang publik, dari koridor pemerintahan hingga diskusi masyarakat sipil, umumnya terbingkai dalam isu teknologi, investasi besar, atau arah kebijakan makro.
Ketika wacana “hijau” mengemuka, pertanyaan yang muncul hampir selalu berkutat pada urusan teknis. Berapa gigawatt panel surya akan terpasang, berapa triliun rupiah teralokasikan untuk teknologi penyimpanan energi, atau kapan akhirnya pembangkit batu bara kita pensiunkan.
Perdebatan seperti ini tentu penting, tetapi ia sering meninggalkan ruang kosong yang justru sangat menentukan keberhasilan transisi itu sendiri. Seperti ruang sosial, ruang kemanusiaan, dan yang tak kalah penting yakni ruang gender.
Kajian energi selama ini identik dengan orientasi saintek. Namun untuk memastikan transisi energi benar-benar berpihak pada manusia dan lingkungan, lensa sosial dan humaniora (soshum) seharusnya turut mengisi panggung.
Ada dimensi penting yang jarang masuk dalam kalkulasi arsitektur energi nasional. Bagaimana relasi gender, peran perempuan, dan prinsip keadilan lingkungan berkait langsung dengan arah dan keberhasilan transisi. Di titik inilah ekofeminisme menawarkan cara membaca yang berbeda, sebagai teori sekaligus kerangka etis dan praksis untuk merancang transisi yang inklusif dan berkelanjutan.
Potensi Energi Terbarukan
Indonesia menghadapi sebuah paradoks. Negeri dengan potensi energi terbarukan yang melimpah, matahari, angin, panas bumi, biomassa, namun pemanfaatannya masih terbatas.
Data dari berbagai lembaga energi menunjukkan bahwa porsi energi terbarukan dalam bauran primer Indonesia baru berkisar 12–13% pada 2023.
Sementara itu, listrik berbasis batu bara masih mendominasi sekitar dua pertiga produksi nasional. Meski pemerintah menyusun target ambisius seperti kapasitas angin 5 GW pada 2030, komitmen dalam JETP, dan proyeksi terbarukan dalam RUPTL PLN, realisasi di lapangan tetap terhambat regulasi, pendanaan, serta kesiapan infrastruktur jaringan. Maka, transisi energi bukan semata masalah teknis, melainkan persoalan struktural, politik, dan sosial.
Titik Temu Energi dan Pengalaman Perempuan
Ekofeminisme berangkat dari gagasan bahwa penindasan terhadap perempuan dan kerusakan lingkungan memiliki akar yang sama, pola dominasi dan eksploitasi. Tokoh Ekofeminisme menurut Vandana Shiva menegaskan bahwa perempuan sering menjadi penjaga pengetahuan lokal, pengelola sumber daya domestik, sekaligus kelompok yang paling terdampak ketika terjadi kerusakan ekologi.
Karena itu, suara perempuan bukan pelengkap, tetapi elemen krusial dalam perubahan sistemik, termasuk dalam transisi energi. Dalam konteks energi, pendekatan ekofeminisme menuntut kita menggeser fokus dari capaian megawatt menuju sejauh mana perubahan itu menciptakan kesejahteraan, akses, dan keadilan sosial. Terdapat beberapa titik sentuh penting:
Pertama, beban kerja dan akses energi. Dalam banyak komunitas, perempuan masih memikul tanggung jawab utama rumah tangga: memasak, mengambil air, hingga memastikan kesehatan keluarga. Peralihan dari bahan bakar padat ke listrik, LPG, atau biogas tidak sekadar transformasi teknis; ia dapat mengurangi beban waktu dan tenaga perempuan, memberi ruang lebih besar untuk pendidikan atau kegiatan ekonomis. Namun efektivitasnya bergantung pada keterjangkauan dan kualitas infrastruktur energi yang sensitif terhadap AMDAL dan kebutuhan lokal.
Kedua, kesehatan dan paparan lingkungan. Polusi udara rumah tangga akibat pembakaran fosil, terutama batu bara dan biomassa, berdampak signifikan pada kesehatan perempuan dan anak-anak. Mengurangi ketergantungan pada energi kotor bukan hanya strategi mitigasi iklim, melainkan intervensi kesehatan publik yang menyasar kelompok paling rentan.
Ketiga, kesempatan kerja dan ekonomi. Transisi energi membuka lapangan kerja baru, mulai dari pemasangan PLTS atap hingga sektor pemeliharaan baterai. Tetapi tanpa kebijakan afirmatif, pekerjaan ini biasanya dikuasai laki-laki.
Studi mengenai industri energi terbarukan menunjukkan potensi ekonomi besar bagi Indonesia, terutama jika rantai nilai—manufacturing, instalasi, and service—dibangun dalam skala nasional. Sayangnya, jika perspektif gender diabaikan, setengah potensi tenaga kerja Indonesia tidak ikut terlibat.
Ekofeminisme membantu kita melihat bahwa keadilan energi menuntut transformasi bukan hanya pada teknologi, tetapi juga pada struktur sosial yang membuat perempuan kurang mendapat manfaat.
Vis a Vis Teknologi Besar dan Pengetahuan Lokal
Transisi energi sering tergambarkan melalui dua kubu yang tampak berseberangan. Pendukung teknologi besar dan pembela kearifan lokal. Di satu sisi, ada tuntutan mempercepat investasi proyek berskala raksasa untuk mengejar dekarbonisasi. Di sisi lain, terdapat pengetahuan lokal yang justru selama ini menopang ketahanan komunitas—dan sering terjaga oleh perempuan.
Ekofeminisme menawarkan jalan tengah. Pendekatan ini menolak dikotomi yang memosisikan teknologi besar sebagai satu-satunya solusi atau pengetahuan lokal sekadar pelengkap. Transisi yang bertahan lama membutuhkan keduanya: inovasi modern yang andal dan penghormatan pada praktik komunitas yang telah teruji. Legitimasi sosial dari proyek energi terbarukan lahir dari kesediaan untuk melihat masyarakat sebagai aktor, bukan objek.
Indonesia memiliki celah struktural yang harus kita tutup. Perencanaan energi masih sangat teknokratik, regulasi sering tumpang tindih, dan pembiayaan proyek terbarukan masih lambat. Selain itu, dampak sosial bagi kelompok rentan jarang menjadi pertimbangan utama, membuat transisi terasa elitis dan jauh dari keseharian warga.
Transisi Energi Harus Adil
Jika kita menerima bahwa transisi energi harus adil, maka ada langkah konkret yang dapat kita lakukan:
Pertama, melibatkan perempuan dan komunitas lokal sejak tahap perencanaan. Partisipasi harus lebih dari sekadar formalitas. Perempuan dan warga perlu masuk dalam proses desain, evaluasi risiko, dan distribusi manfaat proyek. Banyak bukti menunjukkan bahwa proyek energi berbasis komunitas—microgrid, PLTS atap untuk fasilitas publik, atau biogas rumah tangga—lebih berkelanjutan karena sesuai kebutuhan lokal.
Kedua, memperluas keterampilan dan akses kerja bagi perempuan. Program pelatihan teknis harus ditargetkan untuk perempuan dan kelompok terpinggirkan. Hambatan non-teknis seperti akses modal, alat kerja, dan mentoring harus diatasi. Pendekatan ini bukan hanya soal keadilan, melainkan strategi memaksimalkan kapasitas tenaga kerja nasional.
Ketiga, menyediakan perlindungan sosial bagi pekerja terdampak. Penutupan pembangkit batu bara dan restrukturisasi industri ekstraktif harus disertai skema kompensasi, pelatihan ulang, serta investasi ekonomi lokal. Jika tidak, resistensi sosial akan menjadi penghalang besar dalam transisi.
Keempat, harmonisasi kebijakan dan insentif. Regulasi seperti RUPTL, kebijakan konten lokal, dan skema pendanaan harus diselaraskan agar proyek energi terbarukan lebih mudah direalisasikan. Transparansi menjadi syarat penting untuk memperkuat kepercayaan publik.
Kelima, melindungi dan mengakui pengetahuan lokal. Praktik pengelolaan sumber daya yang dijalankan perempuan sering berorientasi pada kelestarian jangka panjang. Negara dapat mempertimbangkan skema insentif untuk menjaga praktik tersebut sebagai bagian dari strategi adaptasi iklim.
Transisi yang Manusiawi
Keberhasilan transisi energi tidak semata diukur dari jumlah gigawatt yang terpasang atau persentase terbarukan dalam bauran energi. Yang jauh lebih penting adalah apakah manfaatnya kita rasakan merata?
Apakah beban sosial tidak menumpuk pada kelompok yang paling rentan, dan apakah suara perempuan—yang selama ini terpinggirkan—benar-benar ikut menentukan arah kebijakan. Ekofeminisme mengingatkan bahwa keadilan ekologis dan keadilan gender bukan dua agenda terpisah, melainkan dua jalan yang saling menopang.
Jika tujuan akhir transisi adalah masa depan yang layak bagi manusia dan bumi, maka transisi itu harus manusiawi: adil, partisipatif, dan menghargai pluralitas pengetahuan. Seperti penegasan para pemikir ekofeminisme, masa depan damai dengan bumi adalah masa depan yang menghadirkan perempuan sebagai subjek perubahan, bukan sekadar objek kebijakan. []












































