Mubadalah.id – Peraturan terbaru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nomor 1 Tahun 2023 memasukkan pasal yang sangat kontroversial bagi banyak kalangan. Kohabitasi, alias pasangan yang hidup bersama seperti “suami-istri” tanpa pernikahan sah. Dalam pasal 412 KUHP baru, mereka bisa terjerat pidana penjara hingga 6 bulan atau denda kategori II. Tetapi ini berlaku hanya jika ada laporan (“delik aduan”) dari orang tua, anak, atau pasangan sah.
Kontroversi ini wajar dan penting untuk kita kritisi, terutama dari sudut keadilan, privasi, hak asasi manusia dan nilai keagamaan.
Privasi Individu vs Peran Negara
Hidup bersama tanpa pernikahan adalah pilihan gaya hidup yang semakin umum di Indonesia modern. Bagi sebagian orang, ini adalah ekspresi kebebasan pribadi, bukan tindakan kriminal. Mengatur kohabitasi kemungkinan memiliki arti sebuah negara menembus ranah privat yang, menurut banyak orang, seharusnya terlindungi.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM berargumen bahwa pengaturan ini penting untuk menjaga “norma sosial” dan moral masyarakat.
Direktur Jenderal HAM menyatakan bahwa KUHP baru berusaha menyeimbangkan hak individu dengan nilai-nilai sosial yang masyarakat pegang. Tetapi, pertanyaannya adalah: apakah penegakan pidana adalah cara yang tepat untuk menegakkan norma? Ataukah itu semacam pemaksaan moral?
Risiko Ketidakpastian Hukum dan Interpretasi
Beberapa akademisi hukum, dalam analisis yuridis mereka, menyebut bahwa definisi kohabitasi dalam pasal tersebut masih multitafsir. Hal ini bisa membuka celah penafsiran berbeda oleh aparat dan hakim. Ketika definisi kabur, potensi penyalahgunaan hukum menjadi nyata.
Selain itu, prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana jika tinggal bersama tanpa menikah (kohabitasi) langsung terjerat pidana karena alasan moral, maka prinsip bahwa hukuman pidana seharusnya menjadi “jalan terakhir” kemungkinan tidak terpakai.
Hak Asasi dan Kebebasan Pribadi
Ada peringatan serius dari kelompok HAM. Kriminalisasi kohabitasi mungkin melanggar hak atas privasi. Jika negara mempidanakan orang karena pola hidup pribadi yang tidak merugikan publik, maka bisa jadi ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan individu.
Bahkan penerapan KUHP baru ini bersifat “delik aduan.” Artinya tidak bisa langsung dituntut oleh aparat tanpa laporan dari pihak tertentu. Ini sedikit mengurangi risiko kriminalisasi masif, tetapi tidak otomatis menjamin bahwa semua laporan akan berujung adil atau tidak disalahgunakan.
Living Together dan Batas Nilai Agama
Di tengah perdebatan mengenai pasal kohabitasi dalam KUHP baru, penting juga melihat bagaimana nilai agama hidup dalam masyarakat Indonesia. Hampir semua agama memiliki pandangan bahwa laki-laki dan perempuan yang belum menikah idealnya tidak tinggal bersama dalam satu rumah.
Larangan ini umumnya lahir bukan semata-mata dari aspek moralitas seksual, tetapi dari prinsip menjaga kehormatan, ketertiban sosial, dan komitmen relasi. Dalam Islam, misalnya, tinggal bersama sebelum menikah kita pandang membuka peluang fitnah dan kita anggap tidak sejalan dengan adab pergaulan.
Kristen menempatkan hidup serumah sebagai bagian dari kesakralan pernikahan, sehingga tidak dianjurkan kita lakukan sebelum adanya komitmen resmi. Hindu, Buddha, dan Konghucu pun menekankan pentingnya tata susila dan keharmonisan keluarga, yang dianggap tidak terpenuhi jika dua individu hidup bersama tanpa ikatan yang terakui secara sosial.
Kesamaan nilai ini wajar jika kemudian memengaruhi sikap masyarakat terhadap kohabitasi. Namun, ketika norma keagamaan kita terjemahkan ke dalam aturan pidana. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana negara seharusnya masuk ke ranah privat yang sesungguhnya telah diatur oleh etika agama masing-masing individu?
Dengan menjadikan kohabitasi sebagai delik aduan, KUHP baru berusaha mengambil titik tengah. Mengakui nilai moral yang hidup dalam masyarakat, namun sekaligus memberikan batas agar hukum tidak serta-merta menghukum tanpa adanya laporan dari pihak keluarga inti.
Perdebatan tentang Tinggal Bersama tanpa Pernikahan
Di sinilah pentingnya memastikan bahwa pasal tersebut kita terapkan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakadilan baru atau digunakan untuk mengontrol pihak-pihak yang lebih rentan. Khususnya perempuan dan kelompok muda.
Pada akhirnya, perdebatan tentang tinggal bersama tanpa pernikahan bukan hanya soal aturan pidana, tetapi juga soal bagaimana masyarakat menempatkan diri di antara ajaran moral agama dan realitas sosial yang terus berubah.
KUHP baru memang mencoba merespons nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. Namun penerapannya tetap harus memastikan bahwa hukum tidak menjadi alat untuk mengatur ruang privat secara berlebihan.
Di tengah keberagaman keyakinan dan praktik hidup, negara perlu berhati-hati agar norma agama yang bersifat universal tentang kehati-hatian sebelum menikah tidak otomatis kita terjemahkan menjadi pembatasan yang dapat mengabaikan hak dan keragaman warga. []










































