Mubadalah.id – Dalam al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 34 menjelaskan bahwa pemukulan bukanlah langkah pertama, bukan pula cara yang disukai. Al-Qur’an justru mendahulukan dua metode yang jauh lebih efektif yaitu mau‘idhah (nasihat yang baik) dan pisah ranjang.
Mau‘idhah dan pisah ranjang adalah strategi untuk mencegah konflik agar tidak meningkat. Strategi ini mencoba memastikan bahwa rumah tangga tetap berada di jalur damai, bukan berujung pada kekerasan.
Sayyid Qutb, dalam tafsirnya, menyebut ayat ini sebagai salah satu contoh pertarungan antara tradisi keras masyarakat Arab dan ajaran Islam yang datang untuk merombaknya. Islam harus berjalan bertahap, tetapi arah perubahannya jelas yaitu meninggalkan kekerasan.
Karena itu, menurut banyak ulama kontemporer, kata memukul dalam ayat ini bukanlah perintah normatif. Melainkan opsi darurat yang pada akhirnya dimaksudkan untuk ditinggalkan.
Hadis Nabi Justru Menghapus Ruang Kekerasan
Jika Al-Qur’an memberikan ruang pembacaan bertahap. Maka hadis Nabi memperkuat pesan bahwa pemukulan istri bukanlah praktik yang Islam benarkan. Riwayat-riwayat tentang rumah tangga Nabi menunjukkan dengan sangat terang:
Pertama, Nabi tidak pernah memukul istrinya, dan bahkan menjauhi kekerasan dalam bentuk apa pun. Kedua, Nabi mengajarkan pisah ranjang bila muncul tanda-tanda nusyuz, bukan pemukulan.
Ketiga, Nabi mencela laki-laki yang memukul istrinya, bahkan menyebutnya sebagai orang yang buruk akhlaknya.
Dalam hadis juga menunjukkan bahwa sangat sedikit riwayat tentang pemukulan. Tetapi justru banyak hadis yang membatasi bahkan meniadakan praktik tersebut. Ini menunjukkan arah moral yang sangat jelas bahwa kekerasan bukan bagian dari teladan Rasulullah. []









































