Mubadalah.id – Direktur Yayasan Fahmina Marzuki Rais menceritakan perjalanan panjang lembaganya yang kini memasuki usia 25 tahun, dalam peringatan Hari Lahir ke-25 di Hall Afandi Mochtar ISIF, Selasa (25/11/2025).
Dalam sambutannya, Marzuki menyebut Yayasan Fahmina lahir dari keresahan atas kasus diskriminasi berbasis gender dan keberagaman yang kerap dibenarkan dengan tafsir keagamaan. Ia menegaskan tidak ada ajaran agama yang membenarkan diskriminasi antar makhluk Tuhan.
“Tidak boleh ada penyembahan manusia terhadap manusia lainnya, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang berbeda agama maupun keyakinan,” ujar Marzuki.
Marzuki juga membagikan pengalaman personalnya saat menghadiri buka puasa bersama di rumah seorang pendeta, Supriatno, yang kemudian menjadi momen reflektif dalam proses keterbukaannya terhadap keberagaman.
“Saya sempat ragu, apakah makanannya halal. Namun saat melihat guru saya menyantapnya dengan tenang, saya pun ikut makan,” kata dia.
Menurutnya, keraguan awal itu mendorong Yayasan Fahmina memperluas ruang diskusi dan pelatihan lintas iman. Sejak awal, kata dia, misi advokasi kelompok minoritas lintas agama dan sosial tidak jarang memicu penolakan, termasuk tudingan hingga tindakan intimidatif.
Ia mengungkap pada 2006, kantor Yayasan Fahmina pernah disegel pihak yang tidak sepaham, menyusul tuduhan sebagai kelompok liberal pada 2006. Marzuki menyebut peristiwa itu terjadi di tengah tekanan sosial dan kelembagaan yang berat.
Memperkuat Semangat Fahmina
Penolakan tersebut, lanjut dia, justru memperkuat semangat Fahmina dalam menebar gagasan Islam yang selaras dengan demokrasi, kesetaraan gender, dan isu komunitas. Sejumlah kajian Yayasan Fahmina antara lain berfokus pada topik Islam dan Demokrasi, Islam dan Gender, serta Islam dan Komunitas.
Kiprah organisasi ini, kata Marzuki, akhirnya mendapat perhatian internasional. Pada 2013, pendiri lembaga tersebut, KH. Husein Muhammad, dipanggil ke Amerika Serikat untuk menerima penghargaan internasional Opus Prize Foundation.
Marzuki menambahkan, banyak ulama perempuan dan aktivis dari Asia Selatan serta Asia Tenggara yang datang belajar metodologi dan perspektif yang dikembangkan Yayasan Fahmina. Ia menyebut relasi kajian ini merentang dari Pakistan, Malaysia, Thailand, hingga Filipina.
Pada penutup sambutan, Marzuki menekankan pencapaian 25 tahun ini merupakan hasil kerja kolektif para pendiri dan jejaring. Ia menyebut peran Buya Husein Muhammad, KH. Marzuki Wahid, almarhum KH. Affandi Mochtar, dan KH. Faqihuddin Abdul Qodir, serta dukungan berbagai unsur mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pesantren, tokoh agama, akademisi, ormas. Hingga para aktivis.
“Perjalanan 25 tahun ini tidak selalu mulus. Namun apa yang kita lakukan adalah prestasi kolektif yang membanggakan. Tugas memperjuangkan nilai kemanusiaan masih panjang dan harus terus dilanjutkan,” pungkasnya. []






































