Mubadalah.id – Siswa – siswi salah satu Sekolah Dasar (SD) di Pekalongan melakukan kunjungan ke Ekowisata Mangrove Mulyoasri. Kunjungan ke tempat tersebut bukan untuk bermain apalagi menebang pohon, melainkan belajar menanam bibit pohon mangrove, serta berlatih mengenal alam sejak dini. Bukan cuma satu dua sekolahan, beberapa sekolah dari tingkat SD hingga SMA/SMK sederajat juga melakukan hal yang sama.
Ekowisata Mangrove Mulyoasri memang sering menerima anjangsana dari institusi pendidikan di Pekalongan maupun sekitarnya. Mereka datang bersama gurunya. Teman saya, Satyo, menjadi pengelola ekowisata tersebut. Bersama rekan kerjanya, ia akan mengedukasi serta melatih tata cara menanam pohon mangrove yang benar kepada anak-anak sekolahan yang datang.
Tanpa dorongan dari pihak sekolahan, saya yakin anak-anak itu tidak akan pergi ke Ekowisata Mangrove secara berkelompok. Di sini tentu saja ada peran dari sang guru. Tak lain dan tak bukan, para guru ingin siswanya kelak dapat menjadi pribadi yang mencintai alam. Di luar beberapa sekolahan yang ada di Pekalongan itu, saya yakin sekolah-sekolah lain juga sudah mengajarkan pentingnya menanam pohon, membuang sampah pada tempatnya, hingga membimbing anak didiknya agar tidak mudah merusak alam.
Saya juga masih ingat betul, ketika menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 2000-an, siswa-siswi diajak oleh guru untuk gotong royong bersih lingkungan setiap minggu sekali. Program-program seperti ini tidak hanya menciptakan lingkungan belajar yang nyaman. Tetapi juga menumbuhkan karakter siswa yang disiplin, bertanggung jawab, dan peduli lingkungan sebagai bagian dari akhlak mulia.
Silabus Lingkungan Ala Prabowo
Singkatnya, institusi pendidikan seperti sekolahan sudah mengajarkan sikap mencintai alam kepada peserta didik sejak lama. Presiden kita Prabowo Subianto tampaknya ingin mempertegas hal itu. Prabowo meminta para guru di seluruh Indonesia untuk memasukkan mata pelajaran tentang pendidikan lingkungan ke dalam silabus. Katanya, hal ini untuk meningkatkan kesadaran siswa akan pentingnya menjaga alam dan mengantisipasi perubahan iklim.
Pernyataan itu dilontarkan sang presiden saat sambutan pada Puncak Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2025 di Jakarta, Jumat 28 November kemarin. Ucapan ini muncul seiring dengan peristiwa bencana banjir bandang dan tanah longsor di sebagian Pulau Sumatera. Apa yang Presiden Prabowo katakan, saya kira harus kita dukung sebagai sesuatu positif untuk keberlangsungan masa depan bumi yang kita huni ini.
Meski terkesan positif, pernyataan politikus Partai Gerindra itu menimbulkan gejolak di masyarakat. Di media sosial, banyak yang menyayangkan statemen sang presiden itu. Di saat rakyat sedang berduka akibat bencana yang telah menewaskan lebih dari 600 orang (data terbaru 1 Desember), pernyataan presiden seolah-olah hanya untuk menutupi kebobrokan para elite penguasa dan oligarki yang telah merusak ruang hidup manusia dan makhluk lainnya di Bumi.
Semua Salah Rakyat
Secara tidak langsung, presiden ingin mengatakan “rakyat yang salah karena tidak becus menjaga alam, sehingga siswa-siswi perlu dikasih paham tentang spirit menjaga lingkungan agar kelak jadi manusia-manusia yang berbakti kepada alam.”
Padahal, tanpa instruksi untuk memasukkan mata pelajaran pendidikan lingkungan ke dalam silabus, para guru di sekolah sejak dulu juga sudah menerapkannya dalam bentuk praktik langsung. Para guru tidak hanya berteori, mereka mendidik murid dengan keteladanan. Yakni berupa perilaku, sikap, dan nilai positif yang dapat ditiru oleh peserta didik dalam menjaga alam.
Permintaan Prabowo agar Pendidikan Lingkungan dimasukkan di sekolahan, tetap harus kita lihat sebagai upaya memperkuat apa yang sudah guru-guru lakukan. Namun, ada yang luput dari statemen Prabowo, dia sama sekali tidak menyinggung aktor utama di balik kerusakan lingkungan. Kontribusi terbesar dari adanya kerusakan lingkungan, terutama di kawasan hutan, adalah akibat ulah para korporasi dan industri berskala besar, serta para oligarki.
Menurut Kompas.id, Indonesia menyumbang 58,2% kerusakan hutan tropis akibat pertambangan. Angka ini bukan sekadar statistik, namun menjadi cerminan dari perilaku industri yang mengabaikan prinsip keberlanjutan.
Deforestasi Nggak Berbahaya, Tapi jadi Penyebab Bencana
Saya tidak tahu pasti, apakah bapak presiden kita tidak tahu, lupa, atau pura-pura nggak paham? Yang jelas, pada pernyataan sebelumnya di awal tahun, ia menginginkan perluasan perkebunan kelapa sawit di tanah air berlanjut meski harus membabat hutan atau melakukan deforestasi yang ia anggap tidak berbahaya.
Padahal, menurut para aktivis lingkungan, dengan kondisi krisis iklim saat ini, deforestasi sangat berbahaya. Deforestasi inilah yang jadi penyebab utama terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera Utara dan Barat, serta Aceh.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara, Rianda Purba, menyebut bahwa kerusakan hutan di kawasan hulu Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan telah berlangsung selama sembilan tahun terakhir. Terdapat tujuh perusahaan industri ekstraktif yang ia nilai bertanggung jawab atas kerusakan masif di kawasan yang bersinggungan dengan Ekosistem Harangan Tapanuli/Batang Toru. Wilayah yang kini menjadi penyangga hidrologis penting dan habitat satwa langka, termasuk Orangutan Tapanuli dan Harimau Sumatra.
Perusahaan yang ia maksud meliputi tambang emas, proyek PLTA, geothermal, hingga perkebunan industri dan sawit. Perusakan lingkungan itulah yang memicu sedimentasi sungai, fluktuasi debit air, dan peningkatan risiko banjir bandang. Dampaknya, masyarakat yang tidak tahu apa-apa yang harus menanggung bencana ini. Mereka tidak hanya kehilangan harta benda, juga orang-orang tersayang.
Jangan lupakan juga, dalam kerusakan lingkungan juga ada andil dari pemerintah. Terutama akibat kebijakan masa lalu yang mengutamakan eksploitasi sumber daya alam untuk keuntungan ekonomi yang dinikmati hanya segelintir orang.
Dwi dan Aprizon dalam artikel berjudul Impact of Damage to Forest Ecosystems by Human Activities yang terbit pada 2022 menyebut, kerusakan lingkungan penyebabnya adalah lemahnya pengawasan pemerintah. Selain itu keengganan masyarakat untuk mengubah perilaku yang tidak berkelanjutan, dan kurangnya penegakan hukum sebagai benteng terakhir untuk menjaga aturan.
Silabus Lingkungan Semestinya untuk Para Pejabat, Oligarki dan Pemilik Modal
Di situasi musibah seperti ini, Prabowo seharusnya memberi statemen yang menenangkan dan memberi harapan masyarakat. Semisal “saya akan tindak tegas dengan memberikan hukuman berat bagi perusahaan-perusahaan yang merusak hutan, dan saya akan tindak tegas pemerintah daerah yang memberi izin tambang ilegal”. Pun, yang semestinya diminta belajar untuk jaga lingkungan adalah para pejabat publik, oligarki, dan pemilik modal, bukan siswa sekolahan.
Sebab, bagaimanapun pejabat, oligarki, dan pemilik modal memegang peranan besar dalam menentukan masa depan lingkungan kita. Silabus menjaga lingkungan, hutan, dan juga laut penting untuk mereka pahami agar keputusan yang diambil mampu mendukung kelestarian alam.
Dengan pemahaman yang tepat, mereka dapat melihat bahwa menjaga lingkungan bukan hanya soal etika, tapi juga investasi jangka panjang yang menguntungkan bagi bisnis dan stabilitas sosial masyarakat.
Dengan silabus lingkungan ini, harapannya tidak ada lagi pejabat yang seenaknya kalau berbicara di depan publik. Seperti yang sebelumnya dikatakan oleh Pejabat dari Kemenhut, bahwa kayu gelondongan yang terbawa arus banjir itu tumbang alami, bukan akibat pembalakan liar. Statemen tak berdasar ini tentu saja sangat berbahaya, sama berbahayanya ketika Prabowo menyebut praktik deforestasi tidak berbahaya. Sayangnya, masyarakat kita sudah terlanjur pintar, tidak mudah dibodohi lagi.
Yang mesti kita perbaiki dari tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sikap para pejabat kita. Mereka perlu belajar lagi soal simpati, empati, akhlak, dan gaya komunikasi. Di samping juga wajib mempelajari materi tentang pentingnya menjaga alam. Pejabat dan pemilik modal harus mengerti bahwa eksploitasi berlebihan tanpa mempertimbangkan kelestarian akan merugikan. Tidak hanya bagi manusia, tapi makhluk hidup lain yang tidak berdosa.
Para pengambil kebijakan dan pemilik modal perlu memahami bahwa keberlanjutan ekonomi dan ekologi harus berjalan seiring. Tujuannya agar kehidupan masyarakat dan bisnis dapat terus berkembang. Silabus menjaga lingkungan akan membuka kesadaran bahwa menjaga alam adalah tanggung jawab bersama.
Peran aktif mereka dalam penegakan regulasi dan pelaksanaan program konservasi menjadi kunci agar pembangunan ekonomi tidak mengorbankan bumi. Dengan menjaga alam, pejabat, oligarki, serta pemilik modal tidak hanya menyelamatkan ekosistem, tetapi juga mewariskan bumi yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Semoga, anak cucu kita, serta anak cucu para pejabat Indonesia, di masa depan masih dapat menghirup udara segar, masih dapat melihat pepohonan hijau yang menyejukkan pandangan mata, dan masih dapat menikmati keindahan alam yang tak terperi. Dan semoga para pejabat kita mengerti akan hal ini. []












































