Mubadalah.id – Yulianti Muthmainnah menilai bahwa keulamaan perempuan di Indonesia memiliki akar sejarah yang kuat, terutama melalui peran perempuan dalam pendidikan dan dakwah Islam sejak awal abad ke-20. Hal tersebut ia ungkapkan dalam tulisannya di website Kupipedia.id.
Menurut Yulianti, keulamaan perempuan pada masa itu tidak selalu tampil dalam bentuk ceramah di ruang publik, tetapi diwujudkan melalui kerja-kerja pendidikan dan pengorganisasian sosial.
Ia mencontohkan peran Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan yang aktif mengajarkan mengaji, baca tulis. Serta keterampilan kepada perempuan sejak tahun 1914.
“Pengajian Wal Asyhri dan Perkumpulan Sapa Tresna menjadi ruang penting bagi perempuan untuk belajar agama dan memperkuat kapasitas sosial mereka,” tulis Yulianti.
Upaya tersebut kemudian berujung pada pendirian organisasi Aisyiyah di Yogyakarta pada 19 Mei 1917. Yulianti menilai, kelahiran Aisyiyah menandai pengakuan formal terhadap peran perempuan dalam dakwah dan pendidikan Islam.
Selain di Jawa, Yulianti juga menyoroti kiprah Rahmah El-Yunusiyah di Sumatera Barat. Melalui pendirian Diniyah Putri Padang Panjang, Rahmah membuka akses pendidikan bagi anak perempuan yang sebelumnya sangat terbatas.
Menurut Yulianti, keberadaan lembaga-lembaga tersebut menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya menjadi objek pendidikan. Tetapi juga subjek yang membentuk arah keilmuan Islam.
Ia menilai bahwa keulamaan perempuan pada masa itu berkontribusi besar dalam membangun kesadaran keagamaan yang berorientasi pada pemberdayaan.
Melalui Kupipedia.id, Yulianti menegaskan pentingnya mengakui peran historis ulama perempuan sebagai bagian dari tradisi Islam Indonesia. Menurutnya, pengakuan tersebut menjadi dasar penting untuk memperluas pemahaman tentang otoritas keagamaan yang inklusif dan berkeadilan. []











































