Mubadalah.id — Prof. Dr. H. Machasin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyatakan bahwa jumlah ulama perempuan di Indonesia sebenarnya jauh lebih banyak daripada yang selama ini muncul di ruang publik. Hal ini disebabkan oleh sempitnya definisi ulama dan kuatnya dominasi peran laki-laki dalam struktur kepemimpinan keagamaan.
Dalam tulisannya di website Kupipedia.id, Machasin menjelaskan bahwa ulama tidak seharusnya dimaknai hanya sebagai sosok yang memiliki penguasaan ilmu agama secara mendalam. Di Indonesia, seorang ulama juga melekat dengan fungsi kepemimpinan dan menjadi rujukan umat dalam berbagai persoalan keagamaan.
“Dengan definisi ini, sebenarnya banyak perempuan yang sudah menjalankan peran ulama secara hakiki,” tulis Machasin.
Namun, mereka sering kali hanya disebut sebagai guru ngaji, meskipun memiliki murid yang mengikuti nasihat dan bimbingan keagamaannya secara konsisten.
Machasin mencontohkan perempuan yang memimpin pengajian kecil dengan satu atau dua murid, menjadi tempat bertanya dan meminta pandangan keagamaan. Secara substansial, peran tersebut telah memenuhi fungsi keulamaan. Akan tetapi, status mereka jarang kita akui secara sosial maupun kelembagaan.
Menurut Machasin, keulamaan perempuan kerap tertutupi oleh peran-peran lain yang melekat pada perempuan, seperti peran domestik, atau oleh keberadaan laki-laki di sekitarnya yang lebih pantas ia sebut ulama.
Ia juga menegaskan pentingnya peran ulama perempuan dalam pendidikan moral dan keagamaan, khususnya bagi anak-anak dan perempuan.
Pengajaran yang dilakukan ulama perempuan dinilai lebih mampu menjangkau persoalan-persoalan detail yang sering luput dari perhatian pendidik laki-laki.
Machasin mengingatkan bahwa kegagalan memahami pendidikan keagamaan secara tepat dapat berdampak serius terhadap pembentukan karakter. Ia menggunakan contoh tokoh Rahwana atau Dasamuka dalam kisah Ramayana sebagai simbol keangkaramurkaan yang lahir dari pendidikan moral yang keliru.
Melalui tulisannya, Machasin mendorong perlunya redefinisi dan pengakuan yang lebih adil terhadap ulama perempuan. Menurutnya, pengakuan ini penting agar peran dan kontribusi mereka tidak terus tertutup. Tetapi mendapat pengakuan sebagai bagian integral dari kepemimpinan keagamaan Islam di Indonesia. []
















































