Mubadalah.id – Sejak zaman jahiliah, perempuan memiliki posisi yang dipandang rendah dan lemah, bodoh, dungu, emosional, tidak bisa diajak bicara dan lainnya. Pada saat itu banyak sekali perempuan yang tidak memiliki hak-hak kemanusiannya bahkan mereka merasa bingung atas dirinya yang selalu dipandang lemah. Stigma itu yang kemudian melekat pada citra perempuan dalam media televisi.
Pandangan yang memandang bahwa perempuan lemah mengakibatkan perempuan mengalami keterbelakangan. Hal itu dapat kita lihat dengan adanya berbagai perlakuan yang tidak mesti ada. Misalnya, kezaliman, penindasan, dan kekerasan yang dialami, termasuk perempuan dalam media televisi.
Pencitraan merupakan sesuatu yang begitu diperlukan oleh setiap orang yang hidup di abad teknologi ini, karena dapat membuat seseorang menjadi terkenal dan memungkinkan seseorang untuk lebih mudah mencapai suatu tujuan dan keinginan dalam hidupnya. Begitu pun dengan perempuan yang kerap sekali memiliki keinginan dikenal, dihormati, dan ditampilkan diberbagai kesempatan, tidak terkecuali bagi perempuan dan media televisi.
Menurut KBBI, pencitraan dapat diartikan sebagai proses, cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu. Pencitraan berasal dari kata citra. Citra merupakan sesuatu yang dapat kita temukan pada objek tertentu. Citra yang dapat kita temukan dapat berupa sebuah ide, keyakinan atau kesan.
Oleh sebab itulah citra merupakan sesuatu yang abstrak. Roesady berpendapat bahwa citra merupakan seperangkat keyakinan, ide, dan kesan seseorang terhadap objek tertentu. (Ruslan, 2020:80). Citra itu sendiri akan melekat pada diri seseorang. Baik buruknya citra seseorang akan ditentukan dengan suatu proses pembentukannya dan pemaknaan dari objek sasaran pembentuk citra.
Media adalah sarana atau alat yang paling tepat pada masa sekarang untuki menciptakan pencitraan seseorang. Media telah menjadi salah satu kunci dinamika budaya. Dalam hal ini, teknologi televisi menempati garis terdepan karena ia hampir tidak pernah berhenti menayangkan program-programnya.
Oleh sebab itu, perempuan memanfaatkan media untuk membangun citra dirinya. Namun, karena banyaknya pemberitaan media yang bersifat dikriminatif terhadap perempuan, sehingga membuat citra perempuan pada media ternyata masih bersifat klise atau tetap begitu saja yang masih dipandang rendah. Dalam tulisan ini saya membahas perempuan dalam media televisi, yang akhirnya masyarakat terkonstruk oleh tayangan-tayangan tersebut.
Perempuan Dalam Media Televisi
Film merupakan institusi sosial penting, isi film tidak hanya merefleksikan saja tetapi juga menciptakan sebuah realitas. Film bisa dilihat sebagai alat pendidikan dan pembangunan. Namun, di sisi lainnya penggambaran perempuan dalam media massa begitu negative dan diskriminatif, baik di dalam iklan ataupun film-film tertentu.
Tujuan perempuan berpartisipasi dalam media yaitu untuk tidak dipandang lagi sebagai makhluk yang lemah, namun pada kenyataannya tetap saja stigma masyarakat terhadap perempuan tidak pernah berubah. Dalam sebuah survei yang diadakan oleh Nieslen pada penonton di Jakarta dan responden berusia 10 tahun keatas. Dari sekian banyak tayangan di televsi, 67% mereka mengakui menonton sinetron di televisi. Dan hanya 33% yang tidak menonton televisi.
Di dalam sinetron Indonesia sendiri peran perempuan dalam media televisi sangatlah dominan, sinetron juga dihasilkan dalam jumlah yang besar dan perputaran industri yang sangat cepat. Representasi perempuan dapat dilihat dari sebuah tayangan sinetron. Tidak hanya memberikan citra negatif terhadap perempuan, sinetron juga turut mengkonstruk perempuan untuk bersikap sesuai realitas yang dibuat oleh televisi.
Hal ini lah yang menyebabkan banyak perempuan yang merasa sikapnya harus sesuai dengan realitas buatan, padahal di dalam realitas buatan tersebut, perspektif yang digunakan adalah perspektif patriarkis yang sangat menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan.
Dalam sinetron Indosiar seperti “Curahan Hati Seorang Istri” selalu menayangkan perempuan yang lemah sehingga mudah untuk disakiti atau di khianati oleh laki-laki. Laki-laki dalam tayangan tersebut menganggap perempuan tidak bisa banyak bertingkah dan bisanya hanya menghabiskan uang laki-laki. Sehingga laki-laki bebas mengeksploitasi perempuan.
Bukan hanya itu, di dalam sinetron juga terkadang tidak mementingkan jalan cerita yang baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat, namun lebih mementingkan apakah jalan ceritanya sesuai dengan tren yang ada di masyarakat. Selama perempuan dalam media televisi itu hadir dan bisa menarik perhatian penonton, maka tidak peduli jalan cerita sinetron baik atau tidak, maka acara tersebut akan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini sangat ironis, melihat perempuan hanya dijadikan sebagai objek untuk menarik perhatian penonton.
Kebanyakan perempuan dalam media televisi digambarkan sebagai makhluk yang tunduk pada beberapa peranan. Peranan laki-laki adalah jauh lebih besar dan lebih menarik. Perempuan dalam televisi digambarkan dalam bentuk tradisional seperti istri, penjaga rumah, staf dan perawat yang selalu melayani orang yang sakit.
Laki-laki digambarkan sebagai suami, bapak dan juga sebagai ahli olahraga, orang ternama, wiraswasta. Status perkawinan selalu mengambarkan keadaan perempuan dibandingkan laki-laki. Laki-laki di televisi selalu dipaparkan dalam pekerjaan yang mempunyai status tinggi dan jarang di rumah.
Perempuan dalam media televisi selalu digambarkan dengan sosok orang ‘baik’ yang patuh, sensitif, dan mengurus rumah tangga. Perempuan ‘jahat’ adalah bersifat memberontak, bebas dan mementingkan diri sendiri. Sementara Perempuan dalam media televisi dari sisi tokoh ‘idaman’ mendapat label punya sopan santun, pendiam, sensitif, patuh, tidak bersaing dan manis sesuai kodratnya.
Laki-laki cenderung menjadi kuat secara fisik, ganas, pendesak, bebas, memiliki inisiatif dan bercita-cita tinggi. Ada juga contoh film yang menjadikan tubuh perempuan sebagai objek dan sarana untuk di eksplotasi. Misalnya pada film-film pornografi yang terdapat di media massa. Hal ini lah yang mengakibatkan perempuan dalam media televisi terus dipandang rendah. Oleh sebab itu, kita sebagai perempuan harus pintar-pintar memposisikan diri.
Dari hasil pemaparan tersebut saya sebagai penulis mengambil kesimpulan bahwa penindasan terhadap perempuan harus kita hilangkan dengan cara merubah pola pikir dan kehidupan masyarakat. Selain itu juga masyarakat harus lebih bijak terhadap tayangan media yang dihadirkan dan berani melakukan penolakan jika tayangan televisi tersebut dianggap menyudutkan perempuan. []