Mubadalah.id – Beberapa hari lalu, saya mendengarkan ceramah Kiai Kampung di musala dekat rumah saya. Salah satu poin yang Kiai tersebut sampaikan adalah tentang kerukunan hidup, dan adab bertetangga. Saya mendengarkan dengan seksama. Kiai tersebut bicara poin pentingnya sesama warga yang bersebelahan rumah untuk menjalin keharmonisan.
Mendengar ceramah tersebut, saya kemudian jadi teringat sama berita yang beberapa waktu lalu pernah saya baca di lini media sosial. Isi berita tersebut adalah perselisihan antar tetangga.
Ceritanya, akses rumah seorang warga di Dusun Karang Tawang, Desa Tambakboyo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur bernama Tina, ditutup tembok oleh tetangganya. Tembok berbahan batu bata putih itu dibangun sepanjang 3 hingga 4 meter dengan tinggi sekitar 1,5 meter tepat di depan pagar rumah Tina.
Melansir detik.com, pemicu aksi penembokan rumah tetangga ternyata terpicu masalah sepele: jemuran baju. Tetangga yang diduga mendirikan tembok di akses rumah Tina itu adalah pihak keluarga bernama Sulis. Tina dan Sulis sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga. Tapi keduanya tidak akur. Sulis dan Tina cukup sudah cukup lama saling berselisih.
Masalah Sepele Bisa Jadi Membesar
“Ini gimana,” pikir saya. Orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan saja bisa nggak akur, apalagi dengan orang lain. Ini padahal masalahnya sangat sepele. Tapi, hal yang sepele ini kemudian jadi problem besar akibat salah satu pihak yang tak mau mengalah.
Apakah orang (yang membuat tembok) itu tidak memikirkan bahwa ketika ia meninggal yang akan mengurusi jenazahnya kelak adalah tetangganya, orang yang paling dekat dengan rumahnya, bukan orang lain nun jauh disana.
Akses rumah warga di Tuban yang ditutup tembok mungkin hanya satu dari sekian ragam konflik antar-tetangga yang kerap kali muncul dalam keseharian. Ada banyak konflik serupa yang kerap muncul dalam kehidupan bertetangga, dengan dampak yang beragam. Ada yang berujung dengan saling gugat di pengadilan, tak lagi bertegur sapa satu sama lain, sampai tindakan membahayakan seperti saling serang secara fisik.
Kembali lagi pada ceramah Kiai Kampung yang saya perhatikan beberapa waktu lalu. Kiai tersebut menerangkan bahwa, tetangga adalah orang pertama yang akan kita mintai pertolongan ketika musibah menimpa kita (sakit, misalnya). Tetangga lah, menurut Kiai itu, yang menjadi orang pertama yang akan menjenguk, misalnya, kepada si orang yang sakit tersebut. Bukan orang lain. Tetangga yang akan datang pertama kali.
Maka dari itu, menurut saya, penting bagi kita menjalin hubungan yang koheren dengan sesama tetangga. Sebab, dalam tatanan sosial, dimana manusia sendiri sebagai makhluk sosial, tetangga adalah bagian kedua dari struktur kemasyarakatan terkecil setelah keluarga.
Tetangga lah yang akan siap sedia ketika kita butuh pertolongan. Ketika kita punya hajat pernikahan, misalnya, tetangga lah yang dengan senang hati akan membantu, entah itu rewang di dapur, atau mengantarkan makanan ke orang-orang yang telah dituju.
Perintah Islam untuk Menjaga Keharmonisan Bertetangga
Mengutip dari NU Online, Islam sendiri memerintahkan kita untuk selalu menjaga keharmonisan hubungan antar tetangga. Dalam surat An-Nisa’ ayat 36, Alquran juga sangat tegas menyebutkan kata al-jar (tetangga).
Di sana Allah menegaskan ihwal kewajiban berlaku baik kepada tetangga. Ada banyak cara memperlakukan tetangga seperti yang diajarkan agama. Tetapi yang menjadi prinsip utama adalah tidak mengganggu kenyamanan mereka. Karena mengusik kenyamanan berarti merusak tatanan sosial. Aksi pengrusakan tatanan sosial adalah bagian dari hama kehidupan yang menjadi musuh besar Al-Qur’an.
Sementara manusia paling agung, yang telah dijamin surga oleh Allah swt, yakni Rasulullah Saw sendiri adalah orang yang sangat menjunjung tinggi keharmonisan antar tetangga.
Beliau bersabda yang artinya: “Siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya, dan siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Muslim). Hadis di atas jelas menganjurkan untuk berbuat baik dan memuliakan tetangga.
Jika Allah dan Rasulnya saja telah memerintahkan kita untuk berhubungan yang baik, saling memuliakan, saling menolong, dengan tetangga, maka sudah sebaiknya kita berperilaku demikian. Para ahli waris Nabi juga sudah mengimplementasikan sikap tersebut, bahkan terhadap tetangga yang berbeda agama sekalipun. Seperti sikap yang pernah Imam Hasan Al Bashri lakukan.
Kemuliaan Akhlak Hasan Bashri
Abu Sa’id al-Hasan ibn Abil-Hasan Yasar al-Bashri (selanjutnya akan saya sebut Hasan) yang lahir di Madinah pada tahun 21 hijriah atau 642 Masehi adalah ulama dan cendekiawan muslim yang hidup pada masa awal kekhalifahan Umayyah.
Hasan memiliki akhlak mulia yang pernah ia perlihatkan ketika masih hidup. Dalam Kitâb al-Imtâ’ wa al-Mu’ânasah, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi mencatat sebuah kisah tentang akhlak mulia yang Hasan tunjukkan terhadap tetangganya yang beragama Nasrani.
Alkisah bahwa Hasan tinggal di sebuah rumah yang berdekatan dengan rumah warga yang berbeda agama itu. Lebih persisnya, rumah warga Nasrani itu berada di atas rumah milik Hasan. Namun, toilet kecil milik seorang Nasrani itu lama-kelamaan bocor, tepat di atas kamar Hasan. Air kotor dari atas itu merembes ke kamar sang Imam. Dan dari sinilah, sang Imam memperlihatkan sifat terbaiknya.
Hasan sama sekali tidak marah, atau protes ke tetangganya yang beragama Nasrani tersebut. Dia tak ingin menyinggung perasaan tetangganya. Sebuah perilaku yang mungkin sangat sulit dilakukan oleh orang awam di era sekarang.
Nah, supaya tetesan air itu tidak membasahi kamarnya, Hasan memohon istrinya untuk memasang ember. Istrinya pun menuruti permintaannya. Ember atau wadah ia letakkan persis di bawah atas yang bocor. Hasan, seperti yang saya kisahkan, keluar setiap malam untuk membuang air kencing yang sudah penuh, dan itu sudah ia lakukan selama dua puluh tahun lamanya.
Pentingnya Sikap Saling Menjaga Keharmonisan
Kendati harus rela mengganti ember yang selalu penuh itu, Hasan tidak pernah memiliki niatan untuk memperbaiki atap itu. Sebab, ia berpikir, ketika merenovasi atap rumahnya itu, secara otomatis, juga akan mengusik kenyamanan tetangga yang lain. “Kita tak boleh mengusik tetangga,” dalihnya.
Hasan ingin benar-benar mengamalkan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka muliakanlah tetangganya.”
Hingga suatu ketika si tetangga menjenguk Hasan yang tengah sakit dan menyaksikan sendiri cairan najis kamar mandinya menimpa ruangan Hasan, Si tetangga, dengan muka yang tampak menyesal, menanyakan sejak kapan Hasan bersabar dengan semua itu.
Hasan tak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia terdiam sejenak sambil melempar senyum pendek. Karena merasa tak enak, si tetangga yang Nasrani itu lantas kembali meminta Hasan untuk menjawab pertanyaan tadi. Dengan suara berat Hasan pun menimpali. “Dua puluh tahun yang lalu.”
Hasan lantas memberi ceramah kepada tetangganya tersebut tentang pentingnya sikap saling menjaga keharmonisan. Dan akhir cerita, si tetangga Hasan tersebut kemudian memeluk Islam.
Cerita Hasan dan tetangga non muslim ini, semoga tidak hanya menjadi khazanah pengetahuan saja bagi kita, tapi lebih-lebih kita bisa mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. Semoga saja, ya. []