Mubadalah.id – Senang sekali ketika tahu bahwa novel Hati Suhita akan tayang di bioskop 25 Mei 2023. Saya sendiri sebetulnya sudah tahu novel Hati Suhita ini sejak ramai menjadi perbincangan di Whatsapp group pada 2019 silam. Namun baru bisa membacanya sekali dudukan ketika dalam perjalanan pulang di kereta dari Jogja ke Jakarta. Yakni setelah usai mengambil data di lapangan sebagai pemenuhan tugas akhir perkuliahan di tahun ini.
Tahu saya membaca begitu cepat, suami saya bertanya apakah novel ini bagus. Saya jawab, ya. Pasti akan saya ulas. Tetapi saya memang menunggu versi visualnya tayang di Bioskop. Ketika ada informasi di instagram bahwa film ini akan tayang, suami langsung bertanya apakah saya ingin menontonnya. Tentu lagi-lagi jawaban saya, ya.
Disclaimer artikel ini mengandung spoiler.
Mengenal Tradisi di Lingkungan Pesantren
Dengan latar belakang yang mengisahkan tentang cinta segitiga antara Ning Alina, Gus Birru dan masa lalunya Rengganis yang secara visual pemerannya oleh Nadya Arina, Omar Daniel, dan Anggika Bolsterli. Bagi saya, novel Hati Suhita adalah cara penulis mengajak pembaca untuk mengenal beragam tradisi di lingkungan pesantren, dan peran perempuan di dalamnya.
Seperti yang kita ketahui, biasanya jika ada pondok pesantren yang terkenal, pasti yang tampak di permukaan adalah kiai atau gusnya yang artinya adalah sosok laki-laki. Namun pada karya apik ini, justru yang menjadi sorotan adalah Alina Suhita.
Sosok perempuan yang tidak hanya cantik tetapi juga hafal al-Qur’an dan pintar mengelola pondok pesantren. Sehingga ia pun digadang-gadang sebagai mantu idaman Abah dan Ummik dari Gus Birru sejak menjadi santri di Pondok Pesantren al-Anwar.
Bahkan secara visual, Starvision memperlihatkan pula bahwa selama Alina mengelola pesantren, Ia selalu menekankan nilai-nilai kesetaraan kepada para santri dan juga staf pengajar. Seperti diskusi bersama antara santri putra maupun putri. Serta fasilitas yang sama tanpa membedakan gender.
Tidak hanya Alina, peran perempuan di dalam pesantren juga terlihat oleh ibu mertua Alina yang Desy Ratnasari perankan, saat menyimak hafalan al-Qur’an para santri.
Mengingat Kembali Sejarah Filsafat Jawa
Membaca Hati Suhita, membuat pembaca mengenal kembali sejarah dan istilah filsafat Jawa terutama di dalam membangun bahtera rumah tangga. Seperti kisah kasih antara Prabu Duryudana-Banowati dan Arjuna yang getirnya seakan terasakan pula oleh Alina-Birru dan Rengganis.
Meski perjodohan dan pernikahan mereka tidaklah seindah yang nampak. Namun Alina mencoba untuk bertahan lantaran nilai-nilai kehidupan yang telah tertanam,dan kakek dan neneknya ajarkan. Di mana kita bisa menemukannya hampir di setiap subbab Hati Suhita.
Istilah filsafat Jawa ini tervisualkan pada beberapa adegan. Seperti di hari pernikahan Alina dan Birru. Alina diberi nasihat oleh Mbah Putrinya yang diperankan oleh Widyawati Sophiaan untuk senantiasa mikul duwur mendem jero. Artinya senantiasa menjaga harkat dan martabat di dalam diri dan keluarga.
Dalam perspektif Mubadalah, mikul duwur mendem jero masuk dalam pilar mitsaqan ghalidzan. Artinya baik suami maupun istri harus melakukan aktivitas bersama di dalam rumah tangga dengan cara yang bermartabat. Baik yang dilakukan di tempat umum maupun yang hanya keduanya ketahui. Karena akan dipertanggung jawabkan pada Allah SWT sebagai janji pokok di dalam pernikahan untuk berlaku baik, dan menjaga harkat dan martabat.
Meski Birru di awal pernikahan belum bisa melupakan Rengganis dan belum bisa dikatakan melakukan hal yang baik kepada Alina. Namun salah satu hal yang Birru lakukan untuk mikul duwur mendem jero bersama Alina adalah nampak saling mencintai dan menghormati di depan banyak orang.
Termasuk di hadapan Abah, Ummik, dan Rengganis sebagai penerapan dari hunna libasun lakum wa antum libasun lahum. Meskipun lagi-lagi, ketika berdua di dalam kamar, perang dingin kembali berlangsung.
Mu’asyarah Bil Ma’ruf
Nilai kesalingan yang ketiga dalam Hati Suhita yang nampak pada novel maupun film adalah mu’asyarah bil ma’ruf. Meski selalu menerima pertanyaan tentang momongan, namun Birru dan Alina tidak melakukan hubungan intim selayaknya suami istri. Hingga keduanya sama-sama menyadari bahwa di antara mereka saling mencintai.
Meskipun tentu hal ini tidak mudah untuk mereka lalui karena ada banyak rintangannya. Seperti saat adegan Alina yang tiba-tiba memakai baju dinas, atau Birru yang meminta berhubungan badan saat dilanda emosi.
Sebetulnya masih ada banyak nilai-nilai perspektif Mubadalah dan makna kehidupan yang dapat kita temukan dalam Hati Suhita. Tetapi akan lebih afdhal jika teman-teman melihat film atau membaca novelnya secara langsung. []