Teori Paulo Freire tentang level kesadaran kemanusiaan ini menarik untuk melihat posisi agama dalam kehidupan manusia. Seingatku dulu belajar dari Bang Helmi Ali.
Menurut Bang Paulo, kesadaran kemanusiaan itu ada tiga level. Pertama, kesadaran Magis, yaitu memandang nasib manusia ditentukan oleh faktor natural (alam), atau supranatural (melampaui alam). Mengapa penduduk Jakarta diterpa banjir? Karena hujannya sangat deras (faktor alam) atau karena Sang Pemilik Alam menghendakinya (supra natural).
Kedua, kesadaran Naif, yaitu memandang nasib manusia ditentukan oleh tindakannya sendiri. Kenapa Jakarta banjir? Karena penduduknya buang sampah sembarangan. Termasuk sampah berupa dipan dan kulkas bekas yang dibuang ke sungai.
Ketiga, kesadaran Kritis, yaitu memandang nasib manusia ditentukan oleh struktur atau sistem yang ada. Misalnya sistem ekonomi, politik dan sistem lainnya. Kenapa banjir? Karena tidak adanya sistem kebijakan yang mengatur sedemikian rupa sehingga curah hujan menjadi anugerah terutama di musim kemarau nanti.
Tentu saja Bang Paulo inginkan pendidikan menjadi proses untuk mencapai kesadaran kritis. Di balik sebuah cangkul, tidak hanya ada padi tetapi ada sistem pertanian atau lebih luas lagi pangan yang diatur pemerintah, ada sistem perdagangan yang kadang membuat petani yang capek, eh yang kaya tengkulak. Ini adalah kesadaran yang melihat segala sesuatu dalam makna yang berlapis-lapis.
Haji misalnya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban agama sehingga sebatas soal syarat, rukun, hikmah dll, tetapi ia adalah peristiwa ekonomi yang melibatkan perputaran modal dalam angka fastastis, juga peristiwa politik yang melibatkan keputusan-keputusan penting misal soal kuota, dan konon kini sdg disiapkan sistem pendaftaran haji online langsung dr jamaah ke KSA.
Kembali pada soal Agama dan kesadaran kemanusiaan. Meskipun Muslim, aku meyakini bahwa setiap agama, apalagi yang dibawa oleh utusan Allah, punya misi awal memanusiakan manusia yang sangat kuat. Keimanan pada Allah meniscayakan sikap bajik pada manusia, bahkan makhluk-Nya.
Namun di tangan umatnya, agama sepertinya tergantung pada kesadaran kemanusiaan mereka. Umat beragama yang dominan kesadaran magisnya akan melihat segala hal sebagai ketentuan Tuhan atau melihat setiap ajaran agama dalam relasi umat dengan Tuhan semata, atau lebih spesifik lagi ajaran agama dihayati sebagai perintah Tuhan untuk ditatati.
Kesadaran seperti ini sangat menetramkan dalam menghadapi situasi buruk atau kemungkinan buruk yang berada di luar kendali kita. Misalnya kematian. Ketika orang terkasih kita wafat, karena tidak mungkin dihidupkan kembali, maka lebih menenangkan jika menerimanya sebagai ketentuan mutlak Tuhan. Pun saat naik pesawat, yakni apakah pesawat akan selamat atau jatuh sudah berada di luar kendali kita sebagai penumpang, sehingga pasrah mutlak pada kehendak Tuhan atas nasib sangat menenangkan (pengalaman pribadi).
Namun, kesadaran ini cukup berbahaya karena bisa disalahgunakan oleh pihak lain untuk tunduk mutlak pada kepentingan mereka yang dibalut sebagai “kepentingan” Tuhan. Tidak menuruti kepentingannya berarti melawan Tuhan. Agaknya manipulasi kesadaran spiritual umat beragama seperti inilah yang menjadi konteks lahirnya diksi: “agama sebagai candu” dan “kematian” Tuhan.
Di tangan umat beragama dengan kesadaran Naif, ada pengaruh yang cukup berbeda. Mereka sudah mulai menghubungkan ajaran agama dengan kemaslahatan manusia, namun baru sebatas individu. Agama adalah tuntunan Tuhan untuk menjadi orang yang baik pada siapapun dan apapun sebagai sesama makhluk Tuhan.
Iman menuntun umat beragama untuk menjadi suami/istri, orangtua/anak baik, orang yang berkata baik, menghormati tamu, tetangga, tidak menyiksa hewan, juga tidak merusak alam. Singkat kata, iman kepada Tuhan mengharuskan kita berprilaku baik (amal shaleh) sehingga menjadi orang sholeh/sholehah.
Terakhir, di tangan umat dengan kesadaran kritis, agama tidak hanya dipahami sebagai tuntunan untuk melakukan kebaikan (amal shaleh), tapi juga menggunakan kekuatan untuk memerintahkan semua pihak bertindak secara layak (amar ma’ruf), dan melarang mereka bertindak sewenang-wenang (nahi munkar). Agama adalah soal menciptakan sistem kehidupan yang memberi kebaikan pada semesta, lintas negara, agama, manusia, bahkan makhluk.
Agama mesti dihayati sebagai kekuatan untuk menegakkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan sehingga tafsir agama harus adil dan manusiawi. Karenanya, tarsir agama yang menindas siapapun, tidak sebatas menindas umatnya, harus ditolak!
Sejarah kehadiran para Rasul diwarnai dengan perseteruan mereka dengan pemuka masyarakat (al-mala’). Mereka dalam istilah sekarang mungkin adalah aktor perubahan sosial, baik aktor politik (para penguasa yg lalim), aktor ekonomi (para pengusaha yang egois), bahkan aktor agama (pemilik otoritas agama yang memilih mendukung mereka daripada mendampingi umat yang menjadi korban kezaliman), dll. Jadi, sejarah kehadiran agama adalah sejarah perlawanan pada sistem kehidupan yang zalim, atau ketidakadilan sistemik.
Nah ini bedanya. Bang Paulo mungkin punya pengalaman sosial di mana tindakan kesewenang-wenangan aktor politik dan ekonomi membuat masyarakat tak berdaya dalam kemiskinan. Agama menjadi pelipur lara. Surga membuat mereka tidak kehilangan harapan untuk bisa hidup bahagia.
Bang Paulo mungkin lebih banyak atau jangan-jangan hanya melihat model beragama seperti ini. Agama yang meninabobokan dan membuat umatnya tidak menyadari ketidakadilan yang sedang terjadi. Karenanya, dalam teori ini ada kesan bahwa umat beragama berada dalam kesadaran magis.
Kita di Indonesia punya pengalaman yang beragam dengan agama. Tidak hanya agamanya yang beragam, tapi juga kesadaran ber-agamanya. Islam misalnya di samping menjadi sandaran umatnya saat tidak berdaya menghadapi penjajahan, tapi juga menjadi kekuatan untuk melawannya secara aktif.
Artinya, level kesadaran kemanusiaan Bang Paulo menurutku masih relevan untuk melihat kesadaran ber-Islam di Indonesia, walau perlu kontekstualiasi. Misalnya dengan memandang tiga kesadaran kemanusiaan ini sebagai sesuatu yang terpadu secara sinergis.
Iman kepada Allah mesti menjadi kekuatan spiritual yang menggerakkan seorang Muslim untuk membangun keshalehan personal, sekaligus struktural atau sistemik. Sikap hanya menuhankan Allah (Tauhid), tidak sambil menuhankan lainnya, pasti melahirkan kemaslahatan pada sesama makhluk-Nya, termasuk manusia apapun apapunnya.
Sebaliknya, menuhankan selain Allah atau menuhankan Allah sambil menuhankan apapun atau siapapun selainnya, pasti akan berujung mafsadat karena akan ditempuh segala cara termasuk yang merusak sistem kehidupan manusia/makhluk lainnya.
Substansi beragama adalah bagaimana mengasah iman agar mampu mendorong terwujudnya kemaslahatan seluas mungkin. Kemaslahatan bagi pihak sendiri sekaligus pihak lain seluasnya.
Mandat beragama tidak hanya menjadi suami/istri, orangtua/anak yang baik tapi juga membangun sistem keluarga yang tidak hanya memberi kemaslahatan pada seluruh anggota keluarga tanpa kecuali, tapi juga bisa memberi kemaslahatan pada keluarga lain seluasnya.
Mandat beragama tidak hanya menjadi pembeli atau penjual yang baik, tapi juga membangun sistem ekonomi yang menjamin kemaslahatan pihak-pihak yang bertransaksi tanpa kecuali, bahkan pihak-pihak lain seluasnya.
Mandat beragama juga tidak hanya menjadi penguasa atau rakyat yang baik, tetapi juga sistem politik yang memberi kemaslahatan pada penguasa sekaligus rakyat dalam sebuah negara tanpa kecuali. Bahkan memberi kemaslahatan pada negara lain seluasnya.
Jadi, secara substantif keislaman seseorang, sistem keluarga, ekonomi, politik, budaya, pengetahuan, dll ditandai dengan sejauhmana bisa memberi kemaslahatan pada diri dan pihak lain seluas-luasnya sesuai dengan misi Islam sebagai agama yaitu menjadi rahmat bagi semesta. Inilah Islam yang kaffah kemaslahatannya!
Bagaimana caranya? Ya ayok pikir bareng-bareng sambil jalan ikhtiar menjadi anugerah bagi siapapun, kapanpun, di manapun, dan sebagai apapun. Semampunya.
Bismillah niat ingsun menjadi manusia yang bersikap manusiawi dan diperlakukan pihak lain juga secara manusiawi lillahi ta’ala.[]