Mubadalah.id – Komentar netizen akhir-akhir ini memperlihatkan satu hal yang jelas: kemuakan terhadap para agamawan yang dianggap lebih berpihak pada penguasa daripada umat.
Mereka menyindir dengan tajam, mulai dari “mabok agama” hingga tudingan bahwa tugas agamawan hanyalah menenangkan rakyat agar tetap patuh, apalagi bila sudah mendapat jatah dari kekuasaan. Kritik semacam ini menunjukkan adanya jarak yang semakin menganga antara masyarakat dengan institusi dan figur agama.
Padahal, problem yang sedang rakyat hadapi bukanlah persoalan teologis atau perbedaan iman, melainkan soal keadilan sosial: pajak tinggi yang membebani masyarakat, diiringi gaya hidup mewah para pejabat.
Rakyat marah bukan karena persoalan aqidah, melainkan karena rasa ketidakadilan yang semakin kasat mata. Namun ketika agamawan tampil justru dengan narasi yang seolah membela kekuasaan, legitimasi moral mereka runtuh di hadapan publik.
Dalam kacamata Max Weber, agama sering memperoleh otoritas kharismatik, bahkan tradisional. Ini yang membuat kata-kata para ulama, kiai, atau pemuka agama dihormati. Namun otoritas kharismatik itu sangat rapuh ketika mereka gunakan untuk membenarkan kebijakan penguasa yang menindas.
Saat itu, publik mulai mempertanyakan relevansi mereka. Peter Berger menambahkan, agama yang seharusnya menjadi sacred canopy atau payung makna, bisa mengalami desakralisasi ketika justru terpakai untuk menutup-nutupi ketidakadilan sosial. Hasilnya, agama tidak lagi kita anggap suci dan menyelamatkan, melainkan profan dan politis.
Delegitimasi Otoritas Agama

Komentar-komentar sinis di media sosial dapat kita baca sebagai tanda berlangsungnya proses delegitimasi otoritas agama.
Delegitimasi otoritas agama ini terjadi ketika masyarakat tidak lagi mempercayai klaim moral agamawan, karena mereka lebih tampak sebagai corong kekuasaan daripada suara kenabian.
Antonio Gramsci menyebut bahwa kaum intelektual—termasuk agamawan—bisa menjadi bagian dari hegemoni kelas berkuasa. Tetapi hegemoni tidak pernah abadi: ia bisa kita gugat, diretas, dan runtuh ketika masyarakat menemukan bahwa apa yang ditawarkan hanyalah ilusi.
Fenomena ini memberi peringatan penting. Jika agama ingin tetap relevan, ia harus kembali membumi. Agama harus tampil sebagai pembela mustadafin, mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Sejarah nabi-nabi besar menunjukkan hal yang sama. Keberanian melawan ketidakadilan, bukan menjadi pelipur lara yang menutupi luka sosial. Agama justru kehilangan makna ketika larut dalam kenyamanan kekuasaan.
Tantangan Agamawan
Di era keterbukaan digital, rakyat memiliki ruang untuk bersuara langsung, dan suara itu kini semakin lantang: mereka menolak agama yang hanya jadi alat legitimasi politik. Kritik publik ini bisa kita baca sebagai sebuah mekanisme sosial untuk menjaga agar agama tetap otentik.
Maka, tantangan terbesar para agamawan hari ini adalah memilih: tetap menjadi “penjaga status quo” yang dekat dengan istana, atau kembali menjadi suara profetik yang berpihak pada rakyat. Pilihan ini bukan hanya soal reputasi pribadi, tetapi juga menyangkut masa depan agama itu sendiri.
Sebab, sekali agama kehilangan relevansinya di mata umat, ia akan menjadi institusi kosong yang hanya bergema di ruang-ruang kekuasaan, tetapi sepi di hati rakyat.
Agama akan selalu hidup dan kita hormati bila hadir bersama mereka yang lemah, miskin, dan tertindas. Sebaliknya, ia akan kehilangan legitimasi bila hanya menjadi pelayan bagi penguasa. []