Mubadalah.id – Revisi UU TNI yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 20 Maret 2025 telah memicu kekhawatiran luas di kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis demokrasi. Perubahan ini memungkinkan perwira aktif untuk menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga negara. Sebuah kebijakan yang dianggap sebagai langkah mundur dalam reformasi militer.
Jika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih hidup, kemungkinan besar revisi ini tidak akan pernah, dan tak perlu terjadi. Gus Dur adalah tokoh utama yang berani membatasi peran militer dalam politik dan pemerintahan. Memastikan supremasi sipil, serta memperjuangkan demokrasi yang lebih matang pasca-Orde Baru.
Sebagai Presiden Indonesia keempat (1999-2001), Gus Dur mengambil langkah tegas dalam merombak struktur militer demi memperkuat supremasi sipil. Salah satu keputusan bersejarahnya adalah pemisahan Polri dari TNI pada tahun 2000. Kebijakan ini menjadikan kepolisian sebagai institusi yang mandiri dan bertanggung jawab penuh atas keamanan dalam negeri tanpa campur tangan militer.
Pemisahan ini adalah bagian dari upaya reformasi yang lebih luas untuk menegakkan prinsip profesionalisme di tubuh militer dan menghapus budaya militerisme dalam pengelolaan negara.
Selain itu, Gus Dur juga menghapus Fraksi ABRI/TNI-Polri di parlemen. Sebelum reformasi, TNI dan Polri memiliki kursi tetap di DPR tanpa melalui pemilihan umum. Langkah ini mendapat tentangan keras dari kalangan militer, tetapi Gus Dur tetap kukuh. Ia percaya bahwa dalam sistem demokrasi, hanya pihak yang terpilih oleh rakyat yang berhak duduk di lembaga legislatif.
Militer Harus Kembali ke Barak
Dalam sebuah pidato pada tahun 2000, Gus Dur menegaskan bahwa militer harus kembali ke barak dan fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga kedaulatan negara. “Tentara harus membela negara, bukan berpolitik atau mengurus pemerintahan,” ujar Gus Dur.
Pengesahan revisi UU TNI pada 20 Maret 2025 menjadi pukulan bagi cita-cita reformasi yang diperjuangkan sejak jatuhnya Orde Baru. Perubahan ini memungkinkan perwira aktif untuk menduduki jabatan sipil, sebuah langkah yang kita khawatirkan akan membuka kembali ruang bagi intervensi militer dalam pemerintahan sipil.
Menurut laporan The Australian, beberapa negara telah memperingatkan Indonesia tentang potensi kemunduran demokrasi akibat kebijakan ini. Peneliti dari Lembaga Studi Pertahanan dan Keamanan (Lespersam), Rudi Hartono, menilai bahwa RUU TNI harus kita kaji ulang secara mendalam agar tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi. “RUU TNI ini berpotensi tumpang tindih kewenangan antara sipil dan militer. Kita harus berhati-hati agar tidak mengulang kesalahan masa lalu” katanya.
Gus Dur adalah sosok yang sangat tegas dalam menolak keterlibatan militer dalam urusan pemerintahan. Ia percaya bahwa militer harus berada di bawah kendali sipil dan tidak boleh memiliki akses langsung ke kekuasaan politik. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2001, ia pernah mengatakan, “Militer harus tunduk kepada pemerintah sipil, bukan sebaliknya. Jika tentara kita biarkan masuk ke ranah sipil, maka demokrasi akan terancam.”
Bagi Gus Dur, membiarkan militer terlibat dalam politik sama saja dengan membuka pintu bagi otoritarianisme. Ia memahami bahwa sejarah Indonesia telah menunjukkan betapa besarnya dampak negatif militerisasi terhadap hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Selama Orde Baru, militer digunakan sebagai alat represi terhadap aktivis, oposisi, dan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah.
Pentingnya Profesionalisme TNI
Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan, Gus Dur selalu menyerukan pentingnya profesionalisme TNI. Ia berpendapat bahwa prajurit seharusnya tidak terlibat dalam birokrasi atau politik praktis, tetapi fokus pada pertahanan negara.
Jika revisi UU TNI tetap kita berlakukan, Indonesia berisiko mengalami kemunduran demokrasi. Dengan membuka peluang bagi perwira aktif untuk mengisi jabatan sipil, sistem pemerintahan Indonesia bisa kembali mengarah ke pola militeristik seperti di masa lalu.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk Jaringan Gusdurian, telah menyatakan penolakannya terhadap revisi ini. Mereka menilai bahwa langkah ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip demokrasi, tetapi juga berpotensi mengurangi profesionalisme TNI sebagai penjaga kedaulatan negara.
“Prajurit aktif harus fokus pada pertahanan, bukan pada pemerintahan,” kata Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian melalui podcast di GASPOL, Kanal Youtube Kompas.
Selain itu, dalam jangka panjang, revisi ini bisa memperburuk hubungan antara sipil dan militer. Jika militer kembali memiliki kekuasaan dalam birokrasi, maka kontrol sipil terhadap militer akan melemah. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan menurunkan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Kemunduran Demokrasi
Gus Dur adalah salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam membangun demokrasi di Indonesia, terutama dalam upaya membatasi peran militer dalam politik. Jika ia masih hidup, besar kemungkinan ia akan menolak revisi UU TNI yang memungkinkan perwira aktif menduduki jabatan sipil.
Pengesahan revisi UU TNI pada 20 Maret 2025 adalah sebuah kemunduran yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade. Jika Gus Dur masih ada, ia pasti akan berdiri di garis terdepan untuk menolak kebijakan ini. Sebagaimana ia pernah berjuang menghapus dwifungsi ABRI dan membatasi peran militer dalam pemerintahan.
Reformasi yang telah kita perjuangkan dengan susah payah tidak boleh kita korbankan demi kepentingan politik sesaat. Demokrasi Indonesia harus tetap terjaga, dan salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan memastikan bahwa militer tetap berada di jalur profesionalisme. Bukan kembali terlibat dalam ranah sipil dan politik. []