“Keluar dari ruangan ini, bisa sakit perut saya Kiai mendengarkan banyak anekdot orang Madura yang lucu, membuat saya tak bisa berhenti tertawa.”
Mubadalah.id – Begitu yang saya sampaikan pada Kiai Faizi saat silaturahmi ke kediaman beliau di Ponpes Annuqoyah Guluk-guluk Sumenep Madura pada Sabtu, 20 Juli 2024 kemarin.
Dalam tulisan pendek ini, saya akan menceritakan anekdot orang Madura yang dapat saya ingat saja, karena banyak sekali yang beliau ceritakan, terutama tentang anak laki-lakinya.
Setidaknya
Kami berlima, saya dan tim Mubadalah.id baru saja duduk di ruangan Kiai Faizi menerima tamu, setelah menikmati suguhan makanan yang disediakan istri Kiai Faizi di ruang ndalem. Tiba-tiba masuk putra kedua Kiai Faizi. Dia memprotes sesuatu, Ayahnya pulang tidak membawa buah tangan.
Percakapan Kiai Faizi dan putranya ini saya terjemahkan bebas dari bahasa Madura.
“Abah, kenapa pulang malam sekali, tidak bawa apa-apa lagi. Jam berapa Abah pulang semalam?”
“Jam 2 malam Nak, tidak ada orang yang berjualan sudah malam itu”
“Itu salah Abah, kenapa pulang malam”
“Bukan salah Abah lah, salah panitia, kenapa acaranya sampai malam sekali”
“Setidaknya belikan aku oleh-oleh dari Indomart”
Sambil menahan tertawa mendengar kata “setidaknya”, lantas saya mengambil cemilan di dalam tas yang masih terbungkus plastik Indomart. Saya sodorkan pada sang anak, dan dia kegirangan mengambil jajanan itu, dua batang sereal cokelat Milo dan Fitbar.
Top Kopi
Setelah sang putra pergi meninggalkan ruangan, Kiai Faizi meneruskan cerita bahwa anak laki-lakinya itu istimewa dan cerdas dalam arti lain. Cerdas yang autentik menurut saya, karena anak seusia dia tidak mungkin akan berpikir sejauh itu.
Anak laki-laki Kiai Faizi yang lebih besar berinsiatif jualan permen di lingkungan pesantren. Jualan itu selalu habis, dan dia mendapatkan banyak uang dari hasil penjualan. Adiknya tertarik ingin meniru. Tetapi kakaknya sudah mengancam terlebih dulu, jangan meniru jualan yang sama.
Adiknya berpikir keras, jualan apa yang bisa segera laku dan menghasilkan banyak uang. Lalu dia meminta uang 50 ribu sebagai modal jualan. Anak sekecil itu, usia sekitar 7 atau 8 tahun-an pergi ke warung. Dengan uang 50 ribu dia pulang mengalungkan rentengan kopi sachet Top Kopi.
Penjaja warung merasa tak nyaman melihat putra Kiai berbelanja begitu banyak kopi. Lantas dia menelpon Kiai Faizi, menanyakan apakah betul sang putra diminta belanja kopi hingga begitu banyak. Kiai Faizi hanya menimpali, “biarkan saja, dia sedang belajar berniaga.”
Sesampai di rumah, sang anak langsung menghamipiri ayahnya, yang dia tahu begitu suka kopi. Hampir tiap hari, minum kopi. Nampak dalam ruangan beliau duduk saja tersuguhkan dua cangkir kopi kecil yang sudah tandas, hanya tersisa ampasnya.
“Pokoknya Abah harus beli kopi dari aku”
Kiai Faizi terkekeh, sambil mengatakan “saya tidak minum kopi itu nak”
Biar cepat laku dan terjual, anak kecil itu menjual Top Kopi pada ayahnya sendiri. Pecahlah tawa kami semua.
Polisi Tidur Bangun Semua
Kami belum berhenti tertawa, Kiai Faizi melanjutkan cerita. Kalian tahu polisi tidur? Kami spontan mengangguk.
Jadi, kata beliau ada serombongan tamu yang datang dari ujung jauh Madura yang datang ke pesantren. Salah satu rombongan bercerita jika jalanan yang mereka lalui jelek semua, sehingga membuat durasi perjalanan jadi lama.
Lantas Kiai Faizi menimpali, “Polisi tidurnya bangun semua itu, jadi jalanan tak nyaman dilewati”
Tawa kami pecah seketika.
Tanda Tamu Pamit Pulang
Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib, dan duduk kami sudah gelisah karena masih ada satu tempat lagi yang hendak kami kunjungi, saya memberi kode agar segera berpamit.
“Terima kasih Kiai sudah berkenan menerima kami”
Belum selesai Bang Dul, yang mewakili tim Mubadalah.id untuk berpamitan, dipotong oleh Kiai Faizi. Kalau sudah ada kata terima kasih itu tandanya tamu mau pamit pulang.
Kata beliau, sama seperti penceramah yang hendak mengakhiri dakwahnya di panggung. Kalau sudah keluar kata “semoga” itu tanda pengajian akan segera usai.
Kami senyum-senyum, kali ini beliau benar.
Sebelum kami betul-betul pergi meninggalkan Ponpes Annuqoyah, kami diajak beliau berkeliling pesantren, yang konon sudah berdiri sejak 1887 M. Kami juga sempat melihat-lihat lokasi Pesantren Emas, atau pesantren peduli pengelolaan sampah, di mana pada tahun sebelumnya tim Fahmina pernah belajar bagaimana sistem pengelolaan pesantren berjalan di Annuqoyah.
Melalui proses pembelajaran itu, akhirnya tim Fahmina menerapkan di Ponpes Kebon Jambu Babakan Cirebon, Ponpes KHAS Kempek Cirebon dan Ponpes Hasyim Asy’ari Jepara Jawa Tengah. Program ini juga sebagai bagian dari implementasi Fatwa KUPI II terkait pengelolaan sampah.
Rasanya memang kami tak ingin pulang, dan masih ingin berlama-lama duduk mendengarkan anekdot orang-orang Madura yang beliau tuturkan. Cerita yang beliau bagikan tersebut sarat hikmah dan pembelajaran. Kami senang sekali, semoga lain waktu kami bisa dipertemukan kembali dengan beliau. Kiai Faizi, sosok sederhana, nyentrik dan memiliki selera humor yang cerdas. []