Mubadalah.id – Apabila membaca adalah kunci peradaban suatu bangsa, maka sudah seharusnya membaca menjadi kebiasaan dan membudaya di setiap lini kehidupan serta bisa diakses siapa saja. Sayangnya, aktivitas membaca bagi kebanyakan orang masih dianggap sebelah mata. Bahkan di sisi lain, anggapan keliru tentang aktivitas membaca buku masih sering saya temui.
Anggapan ini yang menurut saya bisa membuat orang-orang yang sedang ingin membangun kebiasaan membaca buku seketika kendur. “Bagaimana tidak, kalau anggapan terlalu sering membaca buku bisa membuat seseorang menjadi gila.” Parahnya, hal ini malah masih berkembang di masyarakat.
Saya memiliki pengalaman dengan ini, ketika bertemu salah seorang kawan yang juga secara blak-blakan mengatakan kalau terlalu keseringan membaca buku hanya akan membuat saya gila. Ucapan yang berhasil membuat saya urung membaca buku di gazebo depan kampus. Selain itu, pengalaman tidak menyenangkan tentang membaca buku, ada hal lain yang membuat saya gelisah yaitu anggapan seperti ini lebih banyak ditujukan pada perempuan ketimbang laki-laki.
Kejadian yang seakan-akan menandakan bahwa aktivitas membaca buku hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Bahkan hingga kini, saya sama sekali belum mendengar laki-laki yang dicibir kalau terlalu sering membaca buku bisa membuat gila. Sebaliknya, mereka disanjung karena suka membaca. Namun, hal tersebut sepertinya tidak berlaku bagi perempuan. Bahkan, seorang sahabat saya pun mengakui, bahwa ia sering dihakimi di lingkungan keluarga hanya karena sering membaca buku.
Anggapan keliru tentang perempuan membaca, mengingatkan saya pada sosok Ichiyo dalam novel Jepang berjudul Ichiyo yang ditulis oleh Rei Kimura. Novel yang mengisahkan perjalanan hidup penulis perempuan pertama Jepang—ichiyo yang fotonya diabadikan dalam selembar uang Jepang. Keinginan membaca buku seorang Ichiyo berkali-kali ditentang sang ibu hanya karena ia perempuan dan lebih baik mengurus urusan domestik.
Urusan domestik yang sampai saat ini dipandang sebagai aktivitas wajib perempuan, ternyata memberi pengaruh pada cara pandang masyarakat yang sarat patriarki dalam menilai perempuan. ya, seakan-akan mendikte perempuan untuk tidak memiliki akses untuk memperoleh pengetahuan melalui bacaan yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi mengedukasi perempuan. padahal, hal ini jelas-jelas salah satu bentuk diskriminasi yang hanya merugikan perempuan.
Dalam buku 60 Hadist Shahih yang ditulis oleh Kang Faqih, ada salah satu hadist yaitu, Abu Sa’id al-Khudri Ra. menuturkan bahwa suatu saat, ada seorang perempuan datang bertandang pada Rasullah SaW., dan berkata, “Wahai Rasullah, para laki-laki telah banyak memperoleh pelajaranmu. Bisakah engkau menyempatkan diri untuk kami (para perempuan) pada hari tertentu sehingga kami bisa mendatangimu mengajarkan pada kami apa yang telah diajarkkan Allah kepadamu?” Rasullah Saw., menjawab, “Ya, silahkan berkumpul di hari tertentu dan di tempat tertentu.” Para perempuan kemudian datang berkumpul (di hari dan tempat yang ditetapkan), dan Rasullah Saw. pun hadir mengajari mereka apa yang diperolehnya dari Allah Swt. (Shahih al-Bukhari)
Menurut Kang Faqih, hadist di atas menegaskan bahwa perempuan berhak menuntut atas pendidikan yang sama dengan laki-laki. Di sini, perempuan harus diberi perhatian secara khusus dan diprioritaskan, karena seringkali hak pendidikan mereka tidak terpenuhi, karena kewajiban sosial yang disematkan pada mereka, mengurus keluarga, melayani suami, menikah dini, atau memberi kesempatan kepada laki-laki.
Dalam Alquran pun seperti yang kita tahu bahwa ayat yang pertama turun adalah Surat Alaq 1-5 dengan ayat pertama Iqra (bacalah). Hal yang mengindikasikan bahwa membaca memiliki peran sentral bagi umat Islam baik perempuan dan laki-laki. Maka, anggapan membaca buku yang cenderung bias gender, sudah seharusnya ditepis dan dihilangkan. Bukan hanya karena tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Namun juga mematikan potensi yang diberikan-Nya dalam diri perempuan yang bisa dikembangkan secara maksimal mungkin dengan akses pengetahuan yang memadai.
Sudah sepatutnya membaca buku bagi perempuan menjadi sarana untuk memperoleh pendidikan yang bukan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri. Melainkan juga bagi sesama manusia lainnya. Terutama bisa menjadi penopang untuk membangun kesadaran bersama sesama perempuan untuk saling menopang satu sama lain. Sebagaimana sabda Rasulallah Saw., “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama” (HR. Bukhari dan Muslim). []