“Memiliki sifat yang lembut, tutur kata yang lembut pula, bukan berarti tak bisa memberontak, mereka melawan dengan penuh kelembutan lewat laku hingga menginspirasi banyak orang.”
Mubadalah.id – Sebagaimana yang Raden Ayu Lasminingrat lakukan. Ia adalah seorang pejuang emanisipasi perempuan asal Sunda, yang berhasil mendirikan serta memberi pengajaran sekolah bagi perempuan di tanah Sunda. Tak heran bila Ayu tersematkan sebagai “Perempuan Pemula” atas perhatiannya terhadap pendidikan perempuan. Sebab, tempo dulu pendidikan kepada perempuan amat sukar, apabila sang perempuan bukanlah keturunan bangsawan maka akses tersebut tak bisa kita dapati.
Tentang Ayu
Raden Ayu Lasminingrat terlahir sebagai seorang bangsawan dari pasangan Raden Haji Muhamad Musa dan Raden Ayu Ria, pada 29 Maret 1854 di Garut. Kelahirannya menjadi sebuah keberkahan untuk keluarga dan seluruh masyarakat Sunda. Bagaimana tidak? Sebab, kelak Ayu menjadi sosok perempuan yang akan kita kenang dan terkenang sebagai pionir pendidikan dan pejuang kesetaraan gender di tanah Sunda.
Tumbuh di tengah keluarga yang terpelajar membuat Ayu menjadi perempuan yang berbeda pula di zamannya. Sejak kecil telah memiliki mimpi perihal pendidikan haruslah kita berikan kepada perempuan. Sebab pendidikan kala itu tidaklah menjadi hak dasar, khususnya bagi perempuan.
Perempuan di masa itu, tak memiliki kewajiban untuk bersekolah, tugas perempuan hanyalah menjadi istri ketika dewasa/remaja dan menjadi anak yang taat untuk bekal menjadi seorang istri yang baik pula.
Namun, berbeda dengan Ayu yang telah menerima didikan langsung oleh kedua orang tuanya, khususnya Musa ayah dari perempuan yang memiliki paras cantik tersebut. Musa mendorong Ayu untuk belajar dan menjadi perempuan yang terpelajar. Tak menjadi suatu keheranan apabila Ayu nantinya menjadi perempuan pergerak sebab ayahnya sangat mendukung lakon perihal kecerdasan bangsa.
Melansir dari berbagai literatur bahwa Musa memang sedari awal menjadi tokoh yang peduli dengan pendidikan bangsa Indonesia. Dia terkenal sebagai perintis kesusastraan cetak Sunda, pengarang, ulama, dan tokoh Sunda pada abad ke-19. Oleh karena itu, darah perjuangannya mengalir ke setiap aliran darah perjuangan milik Raden Ayu Lasminingrat; sebagaimana pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Meniti Karier
Karier Ayu mulai tatkala sang ayah mengirimkannya ke Sumedang untuk belajar dan menempuh pendidikan di rumah Kontrolir Levisan atau Levyson Norman. Di mana ia merupakan pejabat Belanda sekaligus kenalan dari ayahnya.
Sebab, kala itu tidak ada pendidikan khusus perempuan sehingga Ayu harus rela tinggal bersama teman ayahnya tersebut. Di sana ayu belajar menulis, membaca, hingga belajar berbahasa Belanda. Di bawah asuhan Norman, Ayu perlahan menjadi perempuan sesuai keinganan ayahnya.
Dia menjadi perempuan yang piawai berbahasa Belanda. Berdasarkan petuturan sejarah pula, Ayu menjadi perempuan yang pertama kali sebagai keturunan Sunda di Garut yang menguasai bahasa Belanda. Tidak hanya soal kemahiran berbahasa Belanda saja, namun perempuan asal Garut tersebut, selama proses pembelajaran bersama Norman; dia banyak bersentuhan dengan pelbagai buku-buku kebudayaan barat, baik gendre fiksi atau non-fiksi hingga pemikiran-ikiran dari cendekiawan barat.
Tidak hanya berguru kepada Norman yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri, Ayu juga berguru dengan salah satu sahabat ayahnya yang bernama Karel Frederick Holle. Ia seorang usaha perkebunan Teh Waspada di Cikajang.
Dari tuan Karel Frederick Holle, Raden Ayu Lasminingrat semakin melek huruf Belanda (latin) mendapatkan buku bacaan. Atas bimbingan tuan Karel Frederick Holle pula Ayu belajar mengarang dan menterjemahkan buku-buku bacaan yang bagus ke dalam bahasa Sunda.
Berkat peran tiga lelaki di hidup Ayu, yakni Ayahnya, Norman, dan Karel, Ayu tercatat sebagai perempuan pribumi satu-satunya yang piawai dalam menulis dan berbahasa Belanda pada zaman itu. Dengan kesadarannya, kepeduliannya pula, ia mampu menjadi penulis yang memiliki peran penting di Jawa Barat dalam meningkatakan literasi, khususnya anak dan perempuan.
Semua pengetahuan yang Ayu dapatkan itu, membuat Ayu semakin membuka pengetahuan terkait permasalahan sosial yang penuh ketimpangan. Khususnya nasib perempuan dan pendidikan di Indonesia. Kesadaran itulah yang membuat Ayu semakin membulatkan tekadnya untuk berjuang menghapuskan segala bentuk diskriminasi yang terjadi.
Menulis dan Mengajar
Dengan kemahirannya berbahasa Belanda, dia mulai menerjemahkan pelbagai dongeng-dongeng Eropa ke dalam bahasa Sunda. Karya yang telah Ayu terjemahkan, di antaranya Carita Erman pada 1875 dan Warnasari jilid 1 & 2 pada 1876. Di mana ini merupakan terjemahan dari karya Christoph von Schmid—penulis cerita-cerita anak asal Jerman.
Buku Carita Erman merupakan buku yang paling diminati, bagaimana tidak? Pertama cetak telah mencapai jumlah yang fantastic berkisaran 6105 eksemplar. Cetakan ulang dilakukan pada 1911 dalam aksara Jawa dan 1922 dalam aksara Latin. Tujuannya aktivitas penerjemahan tersebut tidak lain agar masyarakat sunda dapat membaca karya dari penulis Eropa, dan mengambil hikmah dari setiap buku yang telah Ayu terjemahkan.
Tepat pada 1879, Ayu juga memiliki kesempatan untuk mengajar anak-anak Sunda. Bahkan karyanya pula menjadi salah satu bahan ajar anak-anak mengenal budaya Internasional. Selain itu dia juga memberikan pendidikan moral, agama, ilmu alam, psikologi dasar, hingga ilmu sosiologi. Dua aktivitas Ayu tersebutlah, mampu mempengaruhi dan mendorong warga pribumi untuk melek huruf latin, khususnya anak-anak.
Tatkala aktivitas literasi semakin masif, Ayahnya Raden Haji Muhamad Musa menikahkannya dengan seorang Bupati Garut, Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII. Ketika menikah aktivitas menulis dan mengajarnya sempat berhenti, sebab masih beradaptasi dengan lingkungan baru sebagai istri dari seorang Bupati Garut. Namun, beberapa tahun kemudian ia perlahan melanjutkan kembali aktivitas literasi tersebut, dengan mendidik perempuan untuk melek baca tulis.
Mendirikan Sekolah Keutamaan Istri
Mengingat Ayu merupakan istri bupati yang memiliki privilege, ia pun membuka ruang belajar bagi perempuan di sekitar wilayah pendopo pada 1907. Hal tersebutjuga mendapat dukungan dari sang suami. Sebagaimana cita-cita dan harapan Ayu untuk meningkatkan pengetahuan bagi perempuan agar setara dengan laki-laki.
Ruang belajar itu bernama Sekolah Keutamaan Istri. Ilmu yang diajarkan di antaranya baca tulis, belajar bahasa Belanda, dan belajar kebangkitan perempuan. Pada mulanya sekolah ini hanya bagi perempuan kalangan priyayi dan bangsawan saja untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, lambat laun Ayu yang memiliki sifat peduli dan simpati terhadap kaumnya. Lalu perlahan membuka pula untuk perempuan pribumi. Sehingga semua mendapat hak yang sama.
Sekolah Keutaaman Putri semakin naik pamornya, jumlah murid terus bertambah yang awalnya hanyalah puluhan murid menjadi 200 murid yang terbagi jadi lima kelas. Karena makin populer, pada 1934 “cabang” sekolah ini berdiri di kota-kota lain seperti Garut Wetan, Cikajang, dan Bayongbong.
Pada akhirnya, sekolah ini disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta nomor 12 tanggal 12 Februari 1913. Selain itu, sekolah ini disahkan sebagai organisasi bernama Vereeneging Kautaman Istri Scholen.
Pada masa pendudukan Jepang, sekolah ini berubah nama menjadi Sekolah Rakyat (SR) hingga akhirnya pasca-kemerdekaan dikelola oleh pemerintah. Kini menjadi SDN Regol, hingga sekarang, jasa-jasanya sangat dikenang dalam ranah intelektual dan pemberdayaan perempuan. Bahkan, ia juga diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional oleh Pemerintah Kabupaten Garut.
Walaupun hingga saat ini namanya belum terakui oleh negara sebagai pelopor perempuan pendidikan asal Sunda. Akan tetapi, namanya tetap abadi dan terus abadi hingga melahirkan Ayu Lasminingrat berikutnya, sebagai pergerak, pelopor, pemimpin perubahan sosial di pelbagai bidang. []