Mubadalah.id- Pernahkah Salingers membayangkan jika kita merancang dunia untuk difabel? Dunia untuk difabel mendominasi. Berjalan di jalan landai. Membaca buku dengan huruf braille. Berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Menggunakan smartphone dengan fitur khusus disabilitas (talk back, voice access, dan google life transcribe).
Pemikiran itu muncul setelah penulis menonton cuplikan campaign video O mundo é mais difícil quando não foi projetado para você di instagram @wissenlab.
Dunia ini Lebih Sulit ketika Tidak Dirancang Untukmu. Judul terjemahan dari bahasa Portugis. Dengan 49 detik lubuk hati pun berkata “oh… inikah perasaan disabilitas ketika sistem dan sosial tidak berpihak pada mereka?”
Ceritanya Begini..
Di scene awal memperlihatkan semua orang sibuk dengan aktivitasnya. Pengguna kursi berlalu lalang dan seorang wanita pekerja berjalan kaki. Saat si wanita itu mau bertanya kepada pejalan kursi roda, mereka cuek dengannya.
Lalu pada detik ke-9, menceritakan suasana di bank. Seorang nasabah perempuan dan teller. Nasabah berbicara “hallo, i would like to open a bank account?” Sang teller menjawab dengan bahasa isyarat tanpa ada juru bahasa isyarat. Ekspresi bingung terbaca di wajah perempuan itu.
Jalan raya landai, kondisi hujan, dan jalan licin. Semua pejalan kursi roda menikmati kecuali pejalan kaki yang terpeleset-peleset. Non difabel kesusahan menggunakan telepon umum yang terdesain sesuai dengan pengguna kursi roda. Seorang anak seolah-olah mengejeknya “gitu aja kok susah?”. Sang Ibu memperingatinya tidak boleh bersikap seperti itu.
Di dalam dunia untuk difabel, raut senang dan bebas terpancar di wajah mereka. Bersetting di jalan raya di mana mereka aman menyebrangi perempatan jalan. Simbol light traffic bergambar orang kursi roda mengatur perjalanan. Mereka merasakan inklusivitas di ruang publik.
Adegan akhir menceritakan di perpustakaan. Seorang pria berkacamata netra membolak balik buku berhuruf braille lalu duduk di samping jendela. Dia heran “mengapa isi buku berhuruf braille?”
Respon Netizen
Cerita video itu menimbulkan respon netizen. Suara hati mereka tergerak. Ragam komentar saling saut- menyaut.
“Jadi ini yang mereka rasakan?” cuit @wahyunirizkie di lapak komentar instagram @wissenlab.
Akun @ahmad_fiknon mengetik ini adalah gambaran analogi rasanya menjadi orang berbeda dan tidak mendapatkan perhatian. Semangat untuk kawan-kawan difabel!
“Saya pernah berpikiran begini, dan saya mulai berusaha menghargai orang-orang dengan kebutuhan khusus”, tulis @amar_makrup.
Tidak hanya empati, istilah disabilitas atau difabel mulai dipertanyakan. Sebenarnya siapa orang difabel dan siapa orang non difabel?
Curhatan @novaarifa_ menulis pelajaran dari Bu Witri tentang disabilitas. Difabel bukan berarti cacat atau berkebutuhan khusus, orang “normal” pun menjadi disable di video itu.
Kampanye untuk Menggugah Empati
Kesulitan mengakses sarana dan prasarana publik menyebabkan terhambatnya mobilitas. Stigma dan diskriminasi menempel di kehidupan mereka. Manusia sendiri membeda-bedakan kondisi sosial. Dengan begitu, terciptalah disequilibrium fasilitas disabilitas dan non disabilitas.
Fenomena itu mendorong film maker mengkampanyekan isu-isu disabilitas. Dengan konsep terbalik, kehidupan non difabel menjadi kaum minoritas. Mereka merasakan difabel acuh terhadap non difabel. Difabel mengejek non difabel. Layanan publik eksklusi dan ketidaksetaraan mengakses fasilitas. Plot nya seolah-olah memotret dunia hanya untuk difabel.
Sutradara hanya ingin menyampaikan marilah berempati dengan sesama manusia. Dengan begitu, difabel tidak perlu membuktikan bahwa mereka setara.
Di Buku Empati dalam Kehidupan Sehari-hari: Membuka Hati untuk Memahami Lain, Merry Susanti menuliskan empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan, pemikiran, dan pengalaman orang lain dengan mengambil sudut pandang mereka.
Empati akan memahami perasaan dan pengalaman hidup disabilitas supaya pembuatan kebijakan akan benar-benar sesuai prespektif difabel. Sikap memberikan label negatif dan meremehkan menurun.
Dengan bersikap empati, harapannya terwujudlah kesetaraan. Setara bagi difabel dan non difabel menikmati fasilitas dan setara mendapatkan layanan publik yang inklusi. []