Mubadalah.id – Jika kita pernah mengalami masa di mana pandemi virus Covid19 merajalela, kita juga merasakan pandemi budaya berpikir tidak maju yang menyita seluruh aspek peranan perempuan di belahan dunia. Dan mirisnya, wabah tersebut tidak terhentikan dari zaman ke zaman. Akibatnya, di setiap perubahan zaman selalu muncul berbagai masalah sosial yang membelenggu kebebasan perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya perempuan dapatkan. Untuk itu kita perlu strategi memberi vaksin untuk antivirus tradisi patriarki
Jika kita analogikan sebagai virus, budaya yang mengusung sistem diskriminasi ini menyebar sangat cepat karena kemajuan teknologi. Bahkan yang sudah tertanam sejak dahulu, kini kian menjamur di sebagian pola pikir masyarakat kita yang penyebabnya masih sangat klasik, yaitu karena ranah perempuan masih selalu dianggap domestik. Menukil dari Jurnal “Budaya Patriarki dan Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar, mendefinisikan bahwa patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial.
Mengapa ada Tradisi Patriarki di masyarakat kita?
lalu, mengapa tradisi patriarki ini bisa lahir? darimana dia berasal? Dalam buku “Perempuan, Masyarakat Patriarki & Kesetaraan Gender” karya Lusia Palulungan dkk, dalam sistem budaya dan sosial sebagian besar masyarakat Indonesia, perempuan mereka persepsikan dan menempatkannya semata-mata berfungsi reproduktif.
Dari persepsi tersebut, perempuan dianggap hanya bisa berada di rumah untuk melanjutkan keturunan dan mengasuh anak sekaligus mengerjakan pekerjaan pekerjaan domestik yang hanya bisa dibebankan atau perempuan lakukan.
Sementara itu laki-laki dianggap sebagai tokoh produktif untuk mencari nafkah, layak berada di ruang publik, menduduki peran jabatan. Virus patriarki tersebut tidak hanya menginfeksi dalam ranah keluarga, namun dalam masyarakat bernegara. Lalu, apa dampak dari virus tradisi patriarki yang semakin berkembang?
Patriarki menimbulkan ketimpangan gender, dan ketimpangan gender dapat melahirkan marginalisasi, kekerasan, beban ganda dll. See? bagaimana patriarki layak kita sebut sebagai akar dari segala permasalahan perempuan.
Permasalahan di atas harus kita hadapi secara bijak, setidaknya dengan melakukan empat langkah, yaitu: dengan menerapkan teologi pendidikan berbasis gender, mensosialisasikan lewat media massa, dakwah yang berkesetaraan dan berkeadilan, dan menjadikan lembaga pendidikan sebagai media pemberdayaan perempuan.
Lewat langkah tersebut kita harapkan segala potensi perempuan dapat kita berdayakan secara maksimal dan bisa kita minimalisir tingkat kekerasan terhadap perempuan.
Ketimpangan Masih Terjadi
Kita semestinya harus menyadari, bahwa sistem kemasyarakatan kita masih timpang. Yang paling pertama harus kita lakukan adalah belajar melihat laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia.
Tidak harus membaca puluhan atau ratusan buku tentang teori-teori feminisme untuk memenuhi hak perempuan, tetapi bersiaplah untuk menjadi seseorang yang terbuka akan pengetahuan. Membuka cakrawala dengan wawasan yang baru. Jika patriarki dianalogikan sebagai virus, maka vaksin penangkalnya adalah sebagai berikut:
1. Berawal dari Peran Orang Tua dan Lingkungan yang Mendukung Kesetaraan Gender.
Jika di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada edukasi yang memadai tentang kesetaraan gender apalagi untuk menghargai semua gender, bagaimana ia bisa mengaplikasikannya ke sekolah, lingkungan kerja, bahkan lingkungan masyarakat?
Berawal dari lingkungan keluarga yang mendukung kesetaraan. Tidak membebankan keharusan suatu peran berdasarkan jenis kelamin. Mengedukasi anak-anak dengan kesetaraan, pendidikan seksual, melibatkan anak dalam penentuan hak dll.
2. Dengan merubah Image Negatif Kesetaraan Gender dengan metodologi tafsir yang kontemporer
pada zaman sekarang para mufasir haruslah melakukan perubahan metodologi yang menyesuaikan zaman dan keadaan agar menghasilkan suatu metode yang lebih mengedepankan nilai kesetaraan, keadilan, dan bersifat membebaskan.
Dengan cara ini, maka image perempuan yang dibangun lewat penafsiran bias gender bisa berangsur kita ubah dengan menerapkan metodologi kontekstual, holistik, dan historis. Ini adalah upaya awal untuk membangun peradaban gender. Pemikiran tersebut mesti kita dukung oleh langkah-langkah berikutnya. Untuk melakukan sosialisasi pada masyarakat luas, sebagaimana dipaparkan pada empat langkah berikutnya.
2. Mengimplementasikan Teologi Pendidikan yang menunjang peradaban Gender
Lembaga pendidikan adalah salah satu media utama berkembangnya berbagai informasi. Materi pendidikan yang lembaga pendidikan ajarkan selama ini masih cenderung memojokkan dan menghambat kaum perempuan untuk secara bebas dan optimal mengembangkan potensi yang ia miliki.
Kita kerap kali menjumpai materi pembelajaran yang terdapat unsur bias gender. Jika materi pendidikan yang bias gender dapat dihilangkan, kemudian digantikan dengan materi yang berupaya lebih mengoptimalkan potensi perempuan maupun laki-laki.
Mengapa harus “Ibu Budi sedang Memasak” dan “Ayah Budi Bekerja di Kantor?”
Kita perlu membenahi intruksinya, peran utama pendidikan adalah merubah paradigma dan streotype negatif yang selama ini terlanjur dilekatkan dengan sifat perempuan.
3.Memanfaatkan Media Masa sebagai Sosialisasi Nilai Kesetaraan
Media masa baik cetak maupun elektronik mempunyai peran yang penting dalam proses transformasi masyarakat gender. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa media dapat merubah persepsi masyarakat ke arah yang baik maupun buruk. Oleh karena itu, media sebagai alat penyampai informasi yang efektif mesti kita manfaatkan seoptimal mungkin.
Jika selama ini, iklan yang ada cenderung menempatkan pekerjaan perempuan pada sektor domestik. Maka selanjutnya media harus kita dorong mengangkat isu perempuan ke sektor publik yang lebih luas. Di sini, media dapat membuat citra yang tidak deskriminatif dan memojokkan identitas dan mental tubuh perempuan, atau membakukan peran sosial peremupuan.
4. Membumikan Dakwah Yang Berkesetaraan dan Berkeadilan
Dakwah memiliki peran krusial dalam menyebarkan pikiran keagamaan di tengah masyarakat melalui para da’i baik laki-laki maupun perempuan. Kita memerlukan keterlibatan para pendakwah untuk terlibat langsung face to face dengan masyarakat.
Cara ini tentunya mempunyai efek yang lebih signifikan ketimbang hanya dengan metode ceramah saja. Karena seringkali lontaran ide yang para da’i atau ulama sampaikan, pemahamannya berbeda bagi masyarakat.
Mirisnya di zaman sekarang, Image negatif tentang kesetaraan gender masih banyak kita dapati dari mimbar ceramah, khutbah, dan lainnya. Mereka cenderung memojokkan serta merugikan kaum perempuan. Oleh sebab itu, materi dakwah yang dapat menghambat terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan berkesetaraan berdasarkan ajaran tauhid tanpa memandang jenis kelamin sudah semestinya dilakukan. Dengan cara demikian, para da’i dapat memberikan konstribusi dalam merubah persepsi masyarakat terhadap perempuan.
Beberapa upaya tersebut bukanlah merupakan hal yang mudah dan butuh waktu lama untuk ditangani tidak semudah dan secepat menyuntikan vaksin. Potensi adanya konflik juga akan pasti ada di Indonesia, Di mana bangsa ini adalah negara yang memang memiliki tingkat keberagaman sangat tinggi dan masih lekat dengan budaya.
Terwujudnya masyarakat nonpatriarki adalah ketika tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Sehingga dengan demikian keduanya memilki akses, kesempatan berpartisipasi, kontrol atas pembangunan dan memeroleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Jangan biarkan pandemi budaya berpikir tidak maju semakin mewabah ke generasi masa depan. Sembuhkan patriarki dengan kesetaraan. []