Mubadalah.id – Dalam waktu kurang lebih 24 jam terakhir aktivitas Semeru terlihat mengkhawatirkan. Awan panas membubung di puncaknya. Baru satu tahun yang lalu dia mengamuk. Tidak ada yang tahu apa lagi yang akan terjadi ke depannya. Hanya Tuhan dan Semeru sendiri yang tahu.
Semeru punya cerita. Gunung yang indah untuk kita daki sekaligus kita curigai dan tampak menakutkan tatkala ia batuk. Film dan novel yang laris manis, 5 cm, juga menjadikan Semeru sebagai ikon. Dan yang tidak kalah penting, bicara Semeru berarti bicara Soe Hok Gie.
Bagi saya Soe Hok Gie hanya bisa kita kenang dengan cara yang ironis. Sehari setelah memperingati kematiannya, langsung kita sambut dengan peringatan atas kelahirannya. Gie tidak sempat menunggu barang kali satu hari untuk menggenapkan usianya menjadi 27 tahun.
Menjadi Inspirasi
Namun sungguh pun begitu, Gie telah menjadi inspirasi bagi perjuangan, idealisme, ketulusan jiwa. Ia adalah salah satu tokoh penting bagi sosok pemuda, mahasiswa, pencinta alam dan kalangan aktivis. Dia adalah salah satu tokoh utama di kalangan mahasiswa dalam peralihan rezim. Memperingati hari Gie—kematian dan kelahirannya—saya ingin mengenang dengan sebuah tulisan tentang sebuah kemurnian jiwa.
Gie meninggal di usia muda, pada usia 27 tahun. Untungnya catatan hariannya ditemukan dan kemudian diterbitkan, sehingga pemikirannya masih bisa kita pelajari. Selain itu masih ada skripsinya yang juga kemudian dibukukan. Pemikiran Gie masih menjadi inspirasi bagi banyak kalangan muda hingga hari ini.
Membaca catatan harian Gie menjadikan kita sadar bahwa nilai tertinggi itu adalah nilai kemanusiaan. Untuk nilai inilah seseorang seharusnya hidup. Gie menyajikan kemanusiaan itu dengan jiwa yang sangat tulus tanpa peduli apa pun risikonya. Mengenal Gie kita dapat belajar arti sebuah kemurnian jiwa dan ketulusan perbuatan.
Gie adalah sosok yang berani berjalan di atas kakinya sendiri. Gie berani memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Yaitu nilai-nilai kebenaran yang berpatokan kepada kepentingan kemanusiaan dan orang banyak. “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Kata Gie.
Manusia Merdeka
Buku hariannya yang terbit menjadi buku, Catatan Seorang Demonstran adalah bacaan wajib di kalangan mahasiswa dan aktivis. Di dalam catatan itu Gie menulis dan menampilkan diri dia secara apa adanya. Apa yang ia lalui, pemikirannya, pandangannya, dan soal orang-orang yang tidak sejalan dengannya.
Salah satu kalimat yang nyentrik dan banyak dikutip dari catatan hariannya, tulisan Gie yang berbunyi, “hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Dan aku memilih menjadi manusia merdeka.”
Bagi Gie perjuangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan hanya dapat ia lakukan dengan jalan kemurnian jiwa. Maka pertanyaan pertama Gie adalah “who am i?”. Karena kemurnian jiwa mengantarkan seseorang kepada pergerakan tanpa ikatan iming-iming. Gie adalah orang yang benci dengan politik, keadaan sosial yang semrawut, dan intelektual-intelektual yang melacurkan diri.
Kemerdekaan telah menjadikan Gie sebagai sosok yang konsisten dalam berjuang. Dia menyampaikan pemikirannya tanpa tendensius. Gie pernah mendebat guru bahasa Indonesianya perihal puisi dan sastrawan, mengkritik atas kecarut-marutan ekonomi negara, mengkritik gaya hedonisme istana, berada pada garis terdepan dalam pembubaran PKI. Kemudian menaruh simpati terhadap orang-orang komunis ketika menjadi sasaran jagal tanpa peradilan periode 65-66.
Nama Soe Hok Gie Abadi
Dalam berjuang Gie tidak memiliki kepentingan apa pun. Sebagai seorang pemuda idealisme adalah senjatanya. Dalam menyebarkan pemikirannya dia juga tidak mengharapkan menjadi sosok yang populer. Bagi Gie seorang pemuda itu harus seperti koboi yang datang ke suatu daerah, membantu masyarakatnya, lalu pergi tanpa dikenal.
Gie adalah sosok yang sangat benci pada sikap-sikap hipokrit dan reaksioner. Ketika kawan-kawannya merapat ke pemerintahan pasca runtuhnya rezim Soekarno, Gie mengirimkan kepada kawan-kawannya cermin dan alat-alat kosmetik. Gie ingin menyampaikan kepada kawan-kawannya apa makna sebuah perjuangan: memberi tanpa mengharap imbalan, berbuat tapi tidak untuk terkenal.
Dari Gie setiap dari kita dapat belajar, pegiat gender atas apa mereka berjuang, aktivis HAM untuk apa mereka bergerak, parlemen untuk apa menyelinap ke sana, pejuang lingkungan untuk apa? “Untuk apa semua ini Gie?” tanya ibunya suatu ketika, dia hanya berkilah, “ibu tidak akan mengerti,” dan dia terus memperjuangkan keyakinannya.
Gunung adalah pelarian bagi Gie. Dan pada 16 Desember 1969 adalah pendakian terakhir Gie. Gie menghembuskan nafas terakhir tepat satu hari sebelum ulang tahunnya, pada 16 Desember 1969 sebab menghirup gas beracun kawah Semeru.
Saya merasa agak kesulitan perihal ucapan apa yang pantas kita ucapkan kepada Gie: kematian atau kelahiran. Sebab Gie hanya bisa kita kenang secara ironi dalam pelukan Semeru. Yang jelas dia berhasil abadi dan kita kenang. []