Mubadalah.id – Layangan Putus ternyata viral banget ya! Kita bisa belajar dari layangan putus. Manusia pada dasarnya terus berubah, baik fisik maupun non fisik. Seperti tanaman, fisik manusia juga tumbuh. Saat bayi bagaikan tunas. Lalu tumbuh menjadi kuat hingga menua dan layu. Cara kita merawat akan menentukan apakah fisik kita akan terus kuat, atau sebaliknya cepat rapuh.
Secara intelektual kita juga berkembang. Saat bayi tidak tahu apa. Kemudian tahu banyak hal. Bahkan ahli di bidang tertentu. Jika usia panjang, ingatan melemah. Kita pun bisa mengalami kepikunan sehingga kembali tidak tahu apa-apa lagi.
Secara psikologis pun demikian. Semula kita semua kekanak-kanakan. Lalu jadi remaja yang labil. Kemudian mendewasa, dan tidak mustahil kembali kekanak-kanakan pada usia lanjut. Ada yang yang dewasa sejak usia dini, tapi ada juga yang inner child-nya terbawa hingga dewasa.
Menikah sesungguhnya keputusan besar. Kita perlu ketahanan mental untuk menghadapi dengan baik perubahan-perubahan yang terus terjadi pada diri sendiri. Menikah memerlukan ketahanan mental lebih karena kita juga akan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada suami/ istri. Bahkan, juga anak-anak.
Fitnah dan Anugerah
Kata fitnah identik dengan keburukan, bisa berupa ujian, konflik, maupun musibah. Nyatanya fitnah bisa berawal dari sesuatu yang baik. Respon keliru pada sesuatu yang baik bisa mengubahnya menjadi buruk.
Cantik dan ganteng itu baik. Merawat kebugaran, kecantikan, dan kegantengan fisik juga baik. Apalagi diniatkan untuk menjaga karunia Allah dan berusaha semaksimal mungkin mengembalikannya dalam kondisi terbaik sebagaimana dulu dititipkan. Namun, jika diniatkan apalagi digunakan untuk tebar pesona pada selain suami/ istri, tentu bisa berujung fitnah.
Karir melesat, kedudukan tinggi, harta berlimpah tentu saja baik. Semua ini tidak hanya bisa membuat sejahtera keluarga inti, melainkan bisa memampukan kita untuk maslahat secara lebih luas. Namun jika salah dalam menyikapinya, maka semua hal ini juga bisa berujung fitnah.
Begitu pun sebaliknya dengan anugerah. Meskipun berkonotasi baik, ia bisa berawal dari hal-hal yang umum dipandang buruk. Sakit keras bahkan sampai berada di jurang kematian, bisa menjadi anugerah saat menjadi turning point kita untuk menganut pola hidup sehat. Bukan sekedar terapi, apalagi diet lohyaaaa. Ya ‘kan mbak Anung Nur Rachmi?
Kepleset atau kegagalan saat menjalani kehidupan apapun, termasuk perkawinan, sangat mungkin menjadi titik balik untuk membuat hidup jauh lebih baik. Tentu, dalam perkawinan komitmen untuk memperbaiki dan menjaganya mesti datang dari kedua belah pihak.
Kebaikan Bersama
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan individu dan perkawinan itu bisa terjadi secara dahsyat. Ibarat naik pesawat, kita sangat mungkin mengalami goncangan kuat dan mengerikan, hingga jatuh berkeping atau sebaliknya bisa kembali terbang dengan tenang.
Berbeda dengan perjalanan, walau mesti ditempuh berhari-hari dengan pesawat sekalipun, kita akan segera sampai tujuan. Namun, perkawinan tentu saja diharapkan berlangsung seumur hidup. Kita tentunya ingin perkawinan yang terjadi atas pilihan bebas masing-masing hanya akan dipisahkan oleh maut, bukan oleh WIl/ PIL atau lainnya.
Perubahan bahkan goncangan dalam hidup perlu pegangan kuat, baik saat berada di puncak, apalagi saat jatuh terjerembab ke bawah. Pegangan kuat ini semestinya tidak bersifat dinamis, biar tidak ikut geser saat dijadikan sandaran. Sebagai umat beragama, hanya ada satu sandaran, yaitu Allah. Sayangnya hanya bersandar pada Allah kerap dimaknai secara abstrak, reduktif, bahkan manipulatif.
Bersandar pada Allah diartikan secara abstrak sebagai hidup tanpa alasan dan tujuan apapun selain mendapatkan ridla Allah. Hidup itu diterima apa adanya tidak perlu mengeluh atau berharap apa pun selain yang sedang Allah berikan pada kita. Pandangan seperti ini cukup menghibur dan menguatkan saat kita menerima musibah yang beras dan di luar kendali kita untuk terjadi atau mengubahnya kembali ke semula. Misalnya kematian orang-orang terkasih.
Bersandar hanya pada Allah dalam makna di atas menjadi reduktif saat diterapkan dalam setiap situasi yang sesungguhnya masih ada peluang untuk mengubahnya. Misalnya saat menjadi korban KDRT. Bahkan menjadi manipulatif saat diterapkan pada korban dari kezaliman yang dilegitimasi oleh penafsiran tertentu atas agama!
Hadis di bawah ini memberi isyarat atas makna yang lebih kongkrit atas frasa “hanya bersandar pada Allah” meskipun masih abstrak, dan dalam dimensi tertentu bisa menjadi rem bagi pemahaman yang reduktif dan manipulatif: “Tidak ada ketaatan pada sesama makhluk dalam mashiat kepada Khalik (Allah). Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan bersama (ma’ruf)”.
Tentu makna ma’shiat sangat luas. Tidak sebatas zina, minum khamr, mencuri, dan bentuk tindakan buruk lainnya yang disebut dalam ayat dan hadis. Tidak juga sebatas meninggalkan shalat, puasa, dan bentuk ibadah wajib lainnya yang disebut dalam ayat dan hadis.
Ma’shiat meliputi semua bentuk tindakan zalim pada sesama manusia, bahkan sesama makhluk Allah. Karenanya, larangan taat dalam mashiat kepada Allah meliputi larangan untuk mentaati keinginan berbuat zalim, baik keinginan pihak lain maupun diri sendiri, baik keinginan untuk berbuat zalim pada pihak maupun diri sendiri!
Dalam perkawinan atau relasi suami-istri larangan taat pada makhluk dalam ma’shiat pada Allah mempunyai makna yang sangat kongkrit. Ia berarti larangan untuk memenuhi keinginan sendiri untuk melakukan tindakan apa pun yang menyakiti suami atau istri, atau sebaliknya memenuhi keinginan suami atau istri yang menyakiti dirinya.
Ketaatan hanya dalam kebaikan bersama semakin kongkrit karena taat itu hanya pada keinginan untuk memperlakukan hal-hal baik bagi diri sendiri sekaligus suami atau istrinya. Tidak pada hal-hal yang baik untuk diri sendiri tetapi menyakiti suami atau istrinya. Tidak pula hal-hal baik pada suami atau istri tapi menyakiti diri sendiri.
Perkawinan Patriarki
Power atau kuasa atau kekuatan dalam bentuk apapun dalam Islam adalah amanah bagi yang memilikinya (pihak kuat atau lebih kuat) untuk memberdayakan, bukan memperdaya pihak lain lemah atau lebih lemah dalam sebuah relasi. Tentu, termasuk relasi suami istri.
Sistem patriarki meletakkan suami sebagai pihak yang HARUS SELALU kuat atau lebih kuat daripada istri dalam segala hal. Suami dan istri penganut nilai patriarki akan menghadapi tantangan serius saat menghadapi perubahan dalam perkawinan yang membawa mereka pada kenyataan sebaliknya. Mirip karakter Miranda dan Jodi di Layangan Putus.
Sistem patriarki sesungguhnya berbahaya juga karena disertai dengan nilai bahwa pihak kuat atau lebih kuat boleh sewenang-wenang pada pihak lemah atau lebih lemah. Ia tidak hanya membahayakan perempuan tapi juga laki-laki seperti pada posisi Jodi di atas. Sistem ini juga tidak hanya membahayakan relasi laki-laki dan perempuan seperti pada Aris dan Kinan, tetapi juga dalam relasi sesama perempuan, seperti pada Lidya dan Kinan.
Kezaliman adalah kezaliman walau dibungkus dengan alasan kebaikan atau “keshalehan”. Kinan, adalah contoh menarik, bagaimana dalam posisi dizalimi, seseorang dapat terus setia pada nilai kebaikan bersama dan berusaha sekuat tenaga untuk menolak kezaliman saat dibalut dengan alasan demi kebaikan bersama, padahal ia hanya dijadikan tumbal.
Kinan menolak sikap manipulatif Aris yang menyebutnya tidak waras karena marah diperlakukan zalim, padahal yang tidak waras sesungguhnya adalah Aris sendiri sebagai pelakunya. Ia juga menolak bicara baik-baik jika maksud pembicaraan baik-baik tersebut adalah baik bagi Aris, tapi buruk baginya.
Dalam serial Layangan Putus, Kinan memberi contoh penting untuk setia pada nilai kebaikan bersama, dan menolak kebaikan hanya untuk pihak suami, sementara bagi diri dan anak sesungguhnya adalah buruk.
Proses Panjang
Tentu hidup adalah proses panjaaang sampai ajal menjemput. Kita akan terus dihadapkan pada pilihan-pilihan dilematis dalam hidup, termasuk dalam perkawinan. Memilih setia pada kebaikan bersama adalah pilihan untuk menjalankan amanah melekat manusia sebagai Khalifah fil Ardl dengan mandat mewujudkan kemaslahatan di muka bumi.
Manusia tidak hanya menjadi Khalifah bagi makhluk lain tapi juga bagi sesama manusia, termasuk dirinya sendiri. Pilihan setia pada nilai kebaikan bersama seringkali mengandung resiko besar. Utamanya saat kita berada di posisi lemah atau lebih lemah.
Lebih mudah mewujudkan kebaikan bersama saat kita kuat karena kita hanya perlu menundukkan keinginan diri sendiri untuk sewenang-wenang. Karenanya, kita perlu berproses untuk menjadi lebih kuat dalam hal apapun lalu menjadikan kekuatan itu sebagai modal untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Semoga kita bisa terus berproses menjadi versi diri yang terbaik, termasuk berproses bersama suami atau istri untuk menjadi versi diri yang terbaik bagi keluarga (khairukum li ahlihi) sehingga keberadaan kita bisa menjadi anugerah, bukan fitnah. Semoga bersama suami atai istri, kita sama-sama mampu membuat layangan kita tetap terbang, tidak putus, dan tidak pula memutuskan layangan lain. Aamiin Ya Rabbal “Alamiin. []