• Login
  • Register
Sabtu, 28 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Feminisme yang berkembang di Indonesia bukanlah tiruan dari Barat, melainkan tumbuh dari konteks lokal yang khas.

Hoerunnisa Hoerunnisa
28/06/2025
in Publik
0
Feminisme di Indonesia

Feminisme di Indonesia

736
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bagi aktivis perempuan yang secara terbuka mengidentifikasi dirinya sebagai seorang feminis, citra negatif menjadi konsumsi sehari-hari. Istilah feminisme masih sering disalahpahami oleh sebagian masyarakat dan dilekatkan dengan berbagai label buruk. Seperti: “gerakan feminisme bertentangan dengan tradisi perempuan Indonesia,” “perempuan feminis itu liar dan tidak tahu aturan,” atau bahkan “feminisme adalah gerakan anti-Islam”.

Stigma-stigma tersebut muncul sebagai konsekuensi dari anggapan bahwa feminisme adalah produk Barat dan datang ke Indonesia memiliki agenda besar. Yakni untuk mengubah perempuan Indonesia menjadi bebas tanpa batas, lepas dari nilai-nilai budaya dan agama. Benarkah demikian?

Feminisme di Indonesia: Orisinal Khas Indonesia dan Tumbuh dari Rahim orang Islam

Feminisme adalah suatu gagasan dan gerakan sosial yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam masyarakat. Gerakan ini hadir pertama kali pada abad ke-19 dan 20 di berbagai negara, terutama di Barat, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Tokoh perempuan pertama yang mempopulerkan gagasan feminisme di Indonesia berasal dari kalangan Muslim, yakni Raden Ajeng Kartini. Kartini mewarisi darah ulama dari garis ibunya, Ngasirah, yang merupakan putri dari Kiai Modirono, seorang ulama terkemuka di Desa Telukawur, Jepara.

Selain itu, Kartini juga terkenal sebagai murid kesayangan KH Shaleh Darat, seorang ulama besar asal Semarang, Jawa Tengah. Pertanyaan-pertanyaan kritis Kartini tentang agama banyak menggugah sang Kiai, hingga mendorong beliau untuk menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab (Arab Pegon). Karya ini,  berjudul Faidh al-Rahman, yang kemudian ia berikan kepada Kartini sebagai kado pernikahannya.

Baca Juga:

Kisah Ibunda Hajar dan Sarah dalam Dialog Feminis Antar Agama

Two State Solution: Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah Tokoh Perempuan (Part 3)

Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan

Meski gagasan feminisme Kartini terpengaruhi oleh sahabat penanya dari Barat, seperti Stella. Gaya feminisme yang berkembang di Indonesia adalah orisinal khas Indonesia. Karena Feminisme Barat lahir dari konteks masyarakat industri di Eropa dan merespons ketimpangan gender di sana.

Sementara, perempuan Indonesia pada masa Kartini di bawah penjajahan dan tekanan adat yang sangat patriarkal. Maka, menerapkan feminisme Barat di Indonesia menjadi kurang relevan. Jadi, feminisme Kartini bukanlah tiruan dari Barat, melainkan lahir dari realitas lokal dan pengalaman perempuan pribumi.

Lantas, bagaimana sebetulnya hubungan antara Feminisme dan Islam?

Benih-benih Pertemuan Feminis dan Islam

Kartini bukan hanya simbol kebangkitan perempuan Indonesia, tetapi juga seorang Muslimah yang berani menggali makna Islam secara kritis. Pemikirannya tidak terlepas dari pengaruh arus reformasi Islam yang berkembang pada masanya, terutama dalam isu pendidikan dan kesetaraan gender.

Melalui sejumlah surat-suratnya, Kartini menyampaikan berbagai kritik terhadap praktik keagamaan yang menurutnya mengabaikan nilai keadilan dan kemanusiaan.

Salah satu kritik tajamnya tertuju pada praktik poligami:

“Bukan dosa, bukan kecelaan pula; hukum Islam mengizinkan laki-laki menaruh empat orang perempuan. Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya saya mengatakan itu dosa. Segala perbuatan nan menyakitkan sesamanya, dosalah pada mataku. Betapakah azab sengsara nan harus diderita seorang perempuan, bila lakinya pulang ke rumah membawa perempuan lain, dan perempuan itu harus diakuinya perempuan lakinya nan sah, harus diterimanya jadi saingannya?” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 6 November 1899)

Ia juga menyuarakan kekecewaan terhadap praktik pembelajaran Al-Qur’an yang tidak disertai pemahaman makna:

“Qur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana jua pun. Di sini tiada orang nan tahu bahasa Arab. Orang diajar di sini membaca Qur’an, tetapi nan dibacanya itu tiada ia mengerti… Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu…” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 6 November 1899)

Surat-surat ini memperlihatkan bahwa Kartini tidak menolak agama, tetapi menolak cara agama diajarkan dan kita jalankan secara kaku tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keadilan. Dalam konteks ini, pemikiran Kartini menjadi bagian dari embrio feminisme Islam yang kini berkembang luas di Indonesia. Yakni sebuah gerakan yang berupaya menafsirkan ajaran Islam secara kontekstual dan berpihak pada pengalaman hidup perempuan.

Genealogi Gerakan Feminisme Islam di Indonesia

Pada awal kemunculannya di Indonesia, feminisme dan Islam memiliki hubungan yang dekat. Gerakan feminisme bahkan kalangan Muslim menerima dengan tangan terbuka, lalu mempopulerkannya. Namun, seiring waktu, relasi keduanya mulai merenggang dan dalam beberapa konteks bahkan dianggap bertentangan. Lantas, sejak kapan dan mengapa ketegangan ini muncul?

Etin Anwar dalam bukunya Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia, cukup baik menggambarkan bagaimana proses merenggangnya feminis dan Islam dengan pendekatan genealogi.

Ia menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi dan politik memiliki peran besar dalam membentuk ketegangan tersebut. Sebab, feminisme Islam tidak lahir dalam ruang hampa. Melainkan tumbuh dari dialektika antara pengalaman perempuan Muslim, ajaran Islam, dan konteks sosial-politik yang melingkupinya.

Etin Anwar membagi perkembangan feminisme Islam di Indonesia ke dalam lima periode. Periode pertama adalah zaman emansipasi (awal abad ke-20), saat feminisme mulai muncul dan mendapat respons positif dari tokoh-tokoh Muslim.

Pada masa ini, perempuan Muslim mulai memperjuangkan hak-haknya melalui pendidikan dan perlawanan fisik, terpengaruhi oleh semangat nasionalisme dan reformisme Islam di tengah penjajahan Belanda.

Perjuangan fisik dilakukan tokoh seperti Marta Christina Tiahahu, Tjut Njak Dien, Tjut Meutia, dan Ratu Ratnaningsih. Sementara perjuangan melalui pendidikan penggeraknya adalah R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El Yunusiyyah.

Kedua, zaman asosiasi (1930-an–1950-an), tertandai dengan pergeseran perjuangan perempuan dari individu ke kolektif melalui organisasi, termasuk organisasi Islam seperti Aisyiyah (1917), Persistri (1936), dan Muslimat NU (1946). Organisasi-organisasi ini menjadi wadah penting untuk menyuarakan gagasan kesetaraan dalam berbagai ranah perjuangan kebangsaan.

Ketiga, zaman pembangunan (Orde Baru) menjadi titik renggangnya hubungan antara feminisme dan Islam. Gagasan pembangunan besar-besaran yang digagas Soeharto menganggap feminisme sebagai ancaman, sehingga istilah ini mulai diberi konotasi negatif.

Konsep Ibuisme Negara

Meski mengadopsi konsep-konsep Barat seperti Gender and Development (GAD) untuk mempromosikan kemitraan gender, implementasinya tetap menekankan peran perempuan sebagai ibu dan istri. Konsep “ibuisme negara” terlembagakan sebagai ideologi dominan dan tersosialisasikan ke berbagai sektor, baik pemerintah maupun lembaga non-pemerintah.

Beberapa organisasi perempuan yang awalnya hanya menjadi pelengkap organisasi induk yang didominasi laki-laki mulai menunjukkan resistensi terhadap kontrol negara. Sebagian di antaranya berkembang menjadi organisasi independen berbasis nilai kesetaraan dan digerakkan oleh kalangan feminis, baik yang berorientasi Islam maupun sekuler.

Di sisi lain, muncul pula pandangan feminis sekuler yang mengkritik Islam sebagai penghambat kemajuan perempuan, sehingga memperlebar jarak antara feminisme dan Islam.

Keempat, zaman integrasi. Pada fase ini, organisasi-organisasi Islam mulai menyesuaikan diri dengan nilai-nilai ibuisme negara, sekaligus mendorong semangat pembebasan melalui jalur keagamaan. Upaya dari kalangan feminis Muslim untuk mengintegrasikan nilai-nilai kesetaraan dalam kerangka etika Islam mulai mengemuka, menandai lahirnya tahap awal konvergensi antara Islam dan feminisme.

Lebih Dekat dengan Feminisme Islam

Feminisme Islam muncul sebagai kerangka konseptual untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan menafsirkan ulang ajaran Islam secara lebih egaliter. Isu-isu gender mulai hadir melalui seminar, pelatihan, dan program pendidikan, termasuk di pesantren dan organisasi Islam. Di mana perempuan muslim tampil sebagai aktor utama dalam merumuskan hubungan antara Islam, gender, dan keadilan sosial.

Kelima, fase penyebaran. Pada tahap ini, setelah hubungan antara feminisme dan Islam mulai menunjukkan kecenderungan konvergen, barulah pada awal 1990-an terjadi penyebaran wacana secara lebih luas. Pada periode ini, feminisme Islam di Indonesia mulai tersebarluaskan melalui tiga pendekatan sistematis.

(1) pentingnya penggunaan ijtihad non-yudisial sebagai alat untuk menafsirkan ulang teks-teks keagamaan. (2) kontekstualisasi Al-Qur’an untuk mendukung upaya feminisme Islam dalam menggali kembali etika kesetaraan gender sebagai sumber otoritas dan pemberdayaan perempuan. (3) pencarian kembali wajah Islam yang transformatif melalui semangat kesetaraan spiritual antara laki-laki dan perempuan.

Konvergensi Feminisme dan Islam Kini Menguat

Feminisme yang berkembang di Indonesia bukanlah tiruan dari Barat, melainkan tumbuh dari konteks lokal yang khas. Tokoh pertama yang mempopulerkan gagasan feminisme di Indonesia adalah R.A. Kartini, seorang perempuan Muslim dan keturunan ulama terkemuka. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, feminisme dan Islam memiliki hubungan yang harmonis.

Namun, seiring waktu, hubungan tersebut mengalami ketegangan. Pengaruh politik dan ekonomi pada masa Orde Baru, terutama melalui gagasan pembangunan versi Soeharto dan konsep ibuisme negara turut membentuk citra negatif terhadap feminisme. Akibatnya, feminisme semakin menjauh dari akar-akar keislamannya.

Dan hari ini mulai terlihat arah konvergensi antara feminisme dan Islam. Bahkan, hubungan ini telah memasuki tahap penyebaran yang lebih luas, salah satunya tertandai dengan lahirnya peristiwa penting seperti Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama pada tahun 2017.

Meskipun demikian, masih ada pihak-pihak yang mempertentangkan feminisme dan Islam. Namun, seiring meningkatnya kesadaran dan literasi gender di kalangan umat Islam, semoga pandangan semacam ini perlahan terkikis. []

Tags: feminismegerakan perempuanIndonesiaKH Sholeh DaratRA Kartinisejarah
Hoerunnisa

Hoerunnisa

Perempuan asal garut selatan dan sekarang tergabung dalam komunitas Puan menulis

Terkait Posts

Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Patung Molly Malone

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

27 Juni 2025
Hijrah Nabi Muhammad Saw

Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW

27 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Iran dan Palestina

Iran dan Palestina: Membaca Perlawanan di Tengah Dunia yang Terlalu Nyaman Diam

26 Juni 2025
Hijrah

Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang

25 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Patung Molly Malone

    Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah Istri Shalihah Itu yang Patuh Melayani Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani
  • Mari Hentikan Pengontrolan Seksualitas Perempuan
  • Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?
  • Menggeser Fiqh Fitnah Menuju Fiqh Kesetaraan
  • Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID