Mubadalah.id – Salah satu standar yang kerap digunakan untuk menilai perempuan adalah seberapa baik pelayanannya terhadap suami. Inilah yang kemudian melekat pada label “istri shalihah”.
Namun, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, pemaknaan ini sejatinya perlu dilihat secara timbal balik. Jika istri dituntut untuk menyenangkan suami, maka suami pun semestinya memiliki kewajiban yang sama, menyenangkan istrinya.
Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, konsep ini kerap dimaknai secara sepihak. Perempuan dituntut untuk selalu siap membahagiakan suami kapan pun dan dalam kondisi apa pun, tanpa ada standar serupa yang diberlakukan pada suami.
Padahal, rumah tangga semestinya kita bangun di atas prinsip kebersamaan dan keadilan. Al-Qur’an telah dengan tegas menggariskan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf hidup bersama secara baik, saling melengkapi, mengisi, dan memahami.
Dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Lebih dari itu, Faqihuddin juga menekankan bahwa identitas perempuan tidak hanya berhenti pada perannya sebagai istri. Ia juga adalah anak, ibu, tetangga, sekaligus anggota masyarakat.
Ukuran istri Shalihah
Karena itu, ukuran “istri shalihah” seharusnya tak melulu kita lihat dari sejauh mana ia melayani suaminya. Tetapi juga bagaimana ia menata hubungan baik dengan keluarga, tetangga, serta masyarakat luas.
Al-Qur’an sendiri telah menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab sosial yang sama. Dalam surah At-Taubah ayat 71, Allah berfirman, “Dan orang-orang beriman, laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan Allah Swt beri rahmat. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita menggeser paradigma. Menjadi shalihah tidak cukup hanya kita maknai soal patuh kepada suami. Melainkan juga tentang bagaimana perempuan turut mengambil peran aktif dalam menjaga kebaikan dan mencegah keburukan di tengah masyarakat.
Inilah makna yang lebih adil sekaligus sejalan dengan spirit Islam yang menghendaki laki-laki dan perempuan berjalan beriringan dalam menebar kemaslahatan. []