Dalam teks keislaman juga hampir sama, kebanyakan orang lebih memilih menyatakan perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, atau ibadah.
Mubadalah.id – Dalam benak banyak orang, perkawinan menempati posisi ideal yang bisa menawarkan keindahan dan kesejahteraan dalam kehidupan. Dengan harapan besar ini, banyak orang kemudian tidak siap menghadapi kenyataan ketika kehidupan perkawinan ternyata tidak menghadirkan keindahan.
Bahkan tidak sedikit yang menjadi korban kekerasan, justru ketika ia hidup dalam bahtera perkawinan. Mereka tidak mau mengantisipasi agar dalam perkawinannya tidak terjatuh sebagai korban kekerasan.
Bentuk ketidak siapan lain, adalah penolakan terhadap kasus kekerasan rumah tangga untuk dibawa dilaporkan ke pihak kepolisian.
Penolakan ini tidak hanya berangkat dari kekhawatiran terhadap terbukanya aib keluarga. Tetapi juga ketakutan terhadap merosotnya citra perkawinan di mata masyarakat.
Ketika perkawinan diwacanakan sebagai kontrak kesepakatan yang sejak awal harus disadari kedua mempelai, banyak orang juga tidak menyetujui gagasan ini. Ketidak setujuan ini kemungkinan juga berakar pada ketakutan penodaan citra perkawinan di masyarakat.
Dalam diskursus keislaman juga hampir sama, kebanyakan orang lebih memilih menyatakan perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, atau ibadah. Sekalipun semua orang mengenal bahwa perkawinan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sesuatu yang dalam fiqh sebagai ibadah, seperti sholat, puasa dan haji.
Seharusnya perkawinan, sebagai sesuatu yang tidak sama dengan sholat, puasa dan haji, agar yang muncul dalam perkawinan adalah soal hak dan kewajiban. Bukan perintah ketaatan atau anjuran ketundukan yang membutakan.
Pensakralan terhadap perkawinan, mungkin awalnya agar semua orang berhati-hati dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Tidak mudah patah semangat dan tidak mudah mengajukan gugatan cerai.
Tetapi pada praktiknya pensakralan justru mempersulit banyak orang untuk menemukan makna keindahan dalam perkawinan. Pensakralan juga mengungkung dan mempersulit orang untuk keluar dari prahara perkawinan, ketika prahara itu benar-benar sudah terjadi.
Banyak orang, terutama perempuan hanya dikonstruksikan untuk menunaikan kewajiban dalam perkawinan, daripada untuk memperoleh hak-hak yang harus dinikmatinya. []