Mubadalah.id – Pada zaman yang sudah serba modern ini ternyata masih ada anak yang menjadi korban kekerasan orang tua dengan terpaksa menjalani perkawinan anak. Dani (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu anak yang menjadi korban kekerasan orang tua. Ia dikawinkan secara paksa untuk melunasi hutang orang tuanya.
Dani saat itu masih berusia 15 tahun, baru lulus SMP dan akan melanjutkan ke jenjang SMK. Tetapi niat tersebut harus pupus ketika orang tuanya memaksanya untuk menikah. Dani tetap harus melaksanakan perkawinan dengan orang yang bahkan tidak ia kenali. Orang tua Dani menjodohkannya dengan seorang perempuan dari keluarga kaya dari desa seberang.
Perempuan itu lebih tua lima tahun darinya yang merupakan seorang anak juragan beras tempat bapak Dani bekerja. Saat itu Dani menyampaikan keberatannya kepada sang bapak. Bahkan ia sempat minggat dari rumah karena dipaksa untuk menikah.
Tetapi Dani hanyalah anak-anak yang masih bergantung kepada orang tuanya. Ia kembali ke rumah dan terpaksa menuruti kehendak bapaknya. Ia terpaksa menuruti perintah bapaknya setelah dicap sebagai anak durhaka yang tidak mau membalas budi.
Dalam kasus Dani, iabelum memenuhi standar minimal usia yang diizinkan untuk melakukan perkawinan. Sesuai yang tertera di dalam UU 16/2019 Pasal 7 ayat 1. Sehingga membuatnya harus menggelar pernikahan secara siri untuk sementara.
Dampak Perkawinan Anak
Sebelum Dani, juga ada beberapa anak yang terpaksa menjalani perkawinan di usia anak saat mereka masih baru lulus sekolah dasar. Namun rata-rata perkawinan tersebut tidak bertahan lama. Bahkan mayoritas berakhir dengan perceraian.
Belum siapnya mental anak-anak untuk menjalani perkawinan dan tidak adanya bekal dari orang-orang di sekitarnya semakin menambah ‘dosa’ orang-orang dewasa kepada anak-anak. Mayoritas perkawinan anak-anak tersebut dipenuhi dengan keburukan. Seperti KDRT, kesulitan perekonomian, dan mengalami berbagai permasalahan kesehatan bagi perempuan.
Hak-hak Anak
Pemaksaan perkawinan anak yang orang tua lakukan termasuk kekerasan terhadap anak. Anak hanya menjadi objek yang diabaikan hak-haknya dan tidak kita pertimbangkan suaranya. Mereka harus menuruti apapun perkataan dan kemauan orang tua tanpa adanya diskusi.
Hak-hak anak seperti hak untuk bermain dan hak untuk mendapatkan pendidikan tidak terpenuhi oleh orang tua yang memaksakan perkawinan anak. Tidak hanya hak-hak anak, namun hak-hak reproduksi juga terabaikan oleh orang tua. Seperti hak atas kemerdekaan dan keamanan.
Anak yang terpaksa melakoni perkawinan anak tidak mendapatkan haknya atas kemerdekaan dan keamanan. Karena mereka tidak bisa menjadi diri mereka sendiri dan masih dalam ‘penjajahan’ orang tua yang membuat posisi mereka menjadi rentan.
Selain itu juga banyak hak-hak reproduksi yang terabaikan oleh orang tua seperti hak atas kebebasan berpikir, hak untuk menikah/tidak menikah serta membentuk dan merencanakan keluarga, hak kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, dan masih banyak lainnya.
Pelanggaran hak-hak tersebut seringnya tidak orang tua sadari, karena mereka tidak menyadari bahwa anak-anak juga memiliki hak yang harus terpenuhi.
Perkawinan Anak dalam Islam
Melihat problem perkawinan anak di Indonesia, tentu harus kita amati melalui kacamata keindonesiaan. Termasuk dalam meninjau pandangan agama dalam merespon hal tersebut.
Quraish Shihab, sebagai seorang cendikiawan Indonesia yang menamatkan pendidikannya di Mesir, bahkan hingga menulis kitab tafsir lengkap 30 Juz yang diberi nama Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an.
Dalam penjelasannya, Quraish Shihab dengan tegas menolak perihal perkawinan anak. Walaupun dalam teks agama tidak tercantumkan larangan akan hal tersebut. Namun indikasi-indikasinya dapat manusia pahami sebagai suatu anjuran untuk menjauhi praktik perkawinan anak.
Satu di antaranya terdapat dalam QS. al-Nur ayat 33, bahwa syarat menikah adalah mampu menjalankan fungsi pendidikan, agama, ekonomi dan aspek kehidupan lainnya. Karena itu kita memerlukan usia yang matang hingga sampai pada kesanggupan melaksanakan fungsi pernikahan tersebut.
Anak-anak yang menjalani perkawinan di usia anak tentu saja belum memenuhi syarat-syarat yang tertera dalam QS. Al-Nur ayat 33 tersebut.
Quraish Shihab menekankan satu hal penting bahwa batas perkawinan anak memang tidak tersebutkan secara satuan angka dalam teks agama baik Al-Qur’an maupun Hadis Nabi.
Perlu pertimbangan kemanusiaan untuk menyikapi perihal perkawinan anak. Artinya, tidak akan pernah menjadi solusi untuk menghindarkan anak perempuan dari zina. Atau lebih parahnya agar ekonomi keluarga sedikit lebih ringan. Justru hal itu mengancam jiwa anak, utamanya anak perempuan. []