Mubadalah.id – Nahwa Fiqh Jadid (Menuju Fiqh Baru) ditulis oleh Jamal al-Banna, adik kandung Hasan al-Banna. Dua bersaudara ini mengambil jalan hidup yang berbeda, meski keduanya tokoh besar dalam dunia Muslim modern. Artikel ini akan mengulas sosok biografi Jamal Al-Banna, yang mengutarakan konsep dan gagasan Fiqh baru.
Secara singkat, biografi Jamal al-Banna ditandai dengan kisah hidupnya yang menjadi aktivis progresif, bekerja untuk memperjuangkan hak-hak pekerja. Boleh jadi, pergulatannya dengan organisasi sosial buruh/pekerja ini mengilhami dirinya untuk tampil dan bergerak melancarkan kritik atas basia teologi yang mendasari mindset, perspektif, dan dinamika sosial, budaya, dan politik masyarakatnya.
Kritik-kritik tajam disampaikannya melalui buku-buku dan tulisan-tulisannya yang subur di media publik. Ia menjadi pemikir sekaligus penulis produktif dengan pemikiran-pemikirannya yang berani, kritis, dan sangat vokal.
Banyak orang menyebut Jamal al-Banna sebagai pemikir Muslim liberal, sekuler, humanis, dan feminis. Salah seorang cendekiawan, Hashim Sholeh, bahkan memosisikan Jamal al-Banna sebagai “ra’id da’wah al-ihya’ al-Islami” (pelopor kebangkitan Islam). Ada juga yang mengidentikkannya dengan Martin Luther di dunia Kristiani.
Perjuangan Jamal al-Banna untuk pembebasan dan kebebasan rakyat tak pernah surut, meski gempuran dan stigmatisasi terhadapnya datang dari segala penjuru dunia Islam, sampai ia wafat, 30 Januari 2013, dalam usia 93 tahun.
Karya-Karya Jamal al-Banna
Jamal al-Banna telah menulis puluhan buku, hingga mencapai jumlah lebih dari seratus buku. Beberapa di antaranya Al-Audah ila a-Qur’an, Ruh al-Islam, Ad -Da’wah al-Islamiyah al-Muashirah mah Laha wa ma ‘Alayha, Mas’uliyyat Fasyl al-Daulah al-Islamiyah (dibredel oleh Lembaga riset Universitas Al-Azhar, Kairo), Al-‘Amal al-Islami li Irsya’i Siyadat asy-Sya’b, Al-Ushul al-Fikriyyah li ad-Daulah al-Islamiyyah.
Pada sisi lain, ada juga Al-Mar’ah al-Muslimah baina Taharir al-Qur’an wa Taqyiid al-Fuqaha, Al-Ta’addudiyyah fi al-Mujtama’ al-Islami, Al-Ashlani al-‘Azhimani: Al-Kitab wa as-Sunnah, Kalla Li Fuqaha at-Taqlid, Kalla li Adi’yat at-Tanwir, Hurriyah al-I’tiqadi, Nahwa Fiqh Jadid (3 jilid), dan lain-lain.
Hampir seluruh karya Jamal al-Banna ini berisi kritik-kritik dan gugatan-gugatan terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan konservatif, tradisional, dan fundamental.
Pada hari yang penuh berkah ini, kita akan mengkaji bukunya yang paling populer: Nahwa Fiqh Jadid (Menuju Fiqh Baru). Buku ini ditulis oleh Jamal al-Banna pada tahun 1995 untuk jilid pertama yang memuat tema: “Munthaliqat wa Mafahim (titik berangkat dan pemahaman-pemahaman)” dan “Fahmi al-Khitthab al-Qur’ani (Mamahafi wacana al-Qur’an).”
Kemudian, 1977 untuk jilid kedua yang membicarakan secaara khusus tentang “AS-Sunnah fi al-Fiqh Jadid”. Saat itu, ia berusia 70 tahun. Dan, jilid ketiga pada tahun 1999 tentang “Maqashid asy-Syraiah”. Nahwa Fiqh Jadid (Menuju Fiqh Baru) ini dianggap sebagai puncak karir pemikirannya, dan dipandang banyak pihak sebagai karya paling cemerlang dan masterpiece-nya Jamal al-Banna. Buku ini seperti menghimpun hampir seluruh pemikirannya yang berserakan di di berbagai karyanya.
Baca Juga: Ijtihad Ulama dan Pembaharuan Fiqih
Dalam Nahwa Fiqh Jadid(1995), kita melihat dengan jelas pemikiran-pemikiran Jamal al-Banna yang progresif, membebaskan, dan dekonstruktif. Ia mengkritik dengan sangat tajam pemikiran-pemikiran para ahli fiqh klasik yang sangat konservatif dan tektualis.
Jamal al-Banna juga mengkritisi gagasan pembaruan para pemikir baru, semacam Mohamed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Shahrur, dan lain-lain. Kritik Jamal al-Banna terhadap sejumlah tokoh pemikir ini tidak di tujukan terhadap motif mereka, melainkan terhadap jalannya (metodenya).
Dari sisi motif, Jamal al-Banna dan para pemikir tersebut sama-sama kecewa dan prihatin atas realitas kehidupan kaum Muslimin yang belum saja bangkit untuk mewujudkan Islam sebagai agama kemanusiaan. Kaum Muslimin masih tetap terbelakang. Konstruksi nalar religius mereka masih terperangkap dalam bangunan intelektual Islam Abad Pertengahan yang terus dimapankan dengan seluruh mekanismenya konvensionalnya.
Untuk kepentingan itu, mereka tidak hanya melakukan proses sosialisasi massif, terutama melalui institusi-institusi pendidikan, ideologisasi, dan sakralisasi atas teks-teks fiqh dan para tokohnya, melainkan juga membangun aliansi dengan politik kekuasaan/negara.
Dengan kata lain melembagakan tafsir agama tersebut dalam institusi raksasa bernama negara. Produk-produk fiqh pada gilirannya menjadi sakral, anti-kritik, dan sebagainya. Demikian pula para tokohnya (Rijal ad-Din). Wallahu A’lam bi as-Shawab.
Artikel ini dimuat di situs mubadalah.id atas izin langsung penulisnya.