Mubadalah.id – Tentu saja jika merujuk pada ulama fiqh klasik dan mayoritas ulama kontemporer, jawaban mengenai bolehkah perempuan haid berpuasa adalah tidak boleh dan tidak benar. Bahkan beberapa ulama besar, seperti Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H/923 M) dan Imam Muhyiddin an-Nawawi (w. 676 H/1277 M) menganggapnya sebagi konsensus (ijma’) ulama. Tetapi dua tahun lalu, di Indonesia sempat muncul diskusi hangat yang dipantik dua orang dosen perguruan tinggi Islam ternama di Jawa Barat dan di Jakarta. Menurut mereka, bahwa menstruasi itu bukan penghalang seseorang untuk berpuasa. Islam memberi dispensasi kepada perempuan yang sedang menstruasi untuk tidak berpuasa, karena khawatir sakit, tetapi tidak melarangnya. Jika kuat dan mau, ia boleh dan sah berpuasa. Dunia Muslim juga, dua dekade yang lalu, pernah heboh soal isu ini.
Bagaimana duduk persoalan ini dalam disiplin fiqh kita? Apa saja argumentasi yang melarang hal tersebut? Kemudian apa yang membuat dua dosen ini memiliki pendapat berbeda? Apakah argumentasi ini bisa dibenarkan dalam diskusi Fiqh Ushul Fiqh? Bagaimana kita bisa keluar dari dua pandangan, tidak boleh dan boleh, tersebut?
Kesepakatan Ulama Mengenai Perempuan Haid Haram Puasa?
Ensiklopedia fiqh Islam terbitan Kuwait menyebutkan bahwa para ulama sepakat mengharamkan perempuan yang sedang haid berpuasa secara mutlak, wajib maupun sunnah. Puasanya tidak sah dan tidak diterima. Ibn Jarir dan an-Nawawi memandangnya sebagai ijma’ (1990, juz 18, hal. 318). Ensiklopedi lain yang paling populer di dunia Islam, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, karya Syekh Wahbah Zuhaili, menyatakan hal yang sama (1989, juz 1, hal. 470). Semua ulama empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) memandang haid sebagai penghalang puasa. Disebutkan, bahwa di antara syarat sah ibadah puasa adalah suci dari haid (juz 2, hal. 616).
Hampir tidak bisa ditemukan, dari fiqh klasik, satupun pendapat yang berbeda dalam hal ini. Padahal, biasanya dalam fiqh klasik ada saja, satu dua ulama yang berbeda pendapat dalam berbagai hal. Hanya ada pernyataan dari Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H/1085 M), seorang tokoh besar dalam Mazhab Syafi’i yang berbicara tentang logika isu tersebut yang dianggapnya sulit dicerna. Katanya: “Hukum tidak sah puasa bagi perempuan yang sedang haid tidak bisa dicerna logikanya. Karena bersuci itu bukan syarat dalam ibadah puasa” (Nihayat al-Mathlab fi Dirayat al-Mazhab, juz 1, hal. 316). Walau demikian, Imam al-Juwaini sendiri sependapat dengan para ulama tersebut.
Kesepakatan ini didasarkan pada hadits Nabi Saw yang menyatakan bahwa perempuan yang sedang haid tidak shalat dan tidak puasa (Sahih Bukhari, no. hadits: 305). Juga ada pernyataan Siti Aisyah ra, bahwa: “Karena alasan haid ini, kami (para perempuan) hanya diperintahkan mengqadha (mengganti) puasa tetapi tidak mengqadha shalat” (Sahih Muslim, no. hadits: 789).
Dari dua teks hadits ini, para perempuan pada masa Nabi Saw, ketika menstruasi, tidak shalat dan tidak berpuasa. Setelah bersuci, mereka diminta untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, tetapi tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkan. Atas dasar ini, ulama sepakat untuk menyatakan bahwa perempuan haid diharamkan dan tidak boleh berpuasa. Jika tetap berpuasa, puasanya tidak sah. Ia berkewajiban untuk menggantinya (qadha) di lain hari, di luar bulan Ramadan.
Diskusi Kontemporer Perempuan Haid Boleh Berpuasa
Adalah Prof. Dr. Abdul Aziz Bayandir, seorang ulama yang pernah duduk sebagai wakil Mufti Turki (1976-1997) dan pakar kajian keislaman, memandang bahwa perempuan haid, jika kuat, boleh berpuasa. Menurutnya, larangan yang selama ini ada datang dari pandangan fiqh yang bisa jadi terpengaruh konteks sosial saat itu. Bukan dari Qur’an maupun Hadits. Di al-Qur’an, semua Muslim dewasa yang hidup pada saat Ramadan diwajibkan berpuasa, kecuali jika sakit atau sedang bepergian (QS. Al-Baqarah, 2: 185). Tidak ada syarat berpuasa dalam al-Qur’an maupun Hadits, bahwa seseorang harus bersuci dulu, sebagaimana shalat, baik dari hadats kecil seperti kencing, maupun hadats besar seperti junub dan haid.
Al-Qur’an hanya menyatakan bahwa haid itu bagian dari rasa sakit (adzaa, QS. Al-Baqarah, 2: 222). Karena itu, perempuan yang haid boleh tidak berpuasa, bukan haram berpuasa. Statusnya seperti orang yang sedang sakit dan bepergian, boleh berpuasa dan boleh meninggalkanya. Haid bukan penghalang puasa, tetapi dispensasi dari puasa yang bisa diambil dan bisa tidak, tergantung kondisi tubuhnya ketika menstruasi. Sama seperti sakit (maradh) dan bepergian (safar) yang disebutkan al-Qur’an. Ketika berpuasa, puasanya sah dan menggugurkan kewajiban. Ketika tidak berpuasa, ia berkewajiban mengqadhanya pada hari-hari lain di luar bulan Ramadan.
Bagaimana dengan dua teks hadits sahih di atas? Menurut Abdul Aziz Bayandir, dua teks hadits ini secara eksplisit tidak berbicara larangan berpuasa. Ia hanya menceritakan para perempuan yang haid, pada masa itu, tidak berpuasa lalu diperintahkan untuk mengqadha di hari lain. “Tidak berpuasa” berbeda dengan “Dilarang berpuasa”. Perintah Nabi Saw juga untuk “mengqadha” yang sudah ditinggalkan, bukan untuk “meninggalkan” puasa. Tentu saja, hal yang sama bisa dilakukan para perempuan sekarang yang sedang haid. Meninggalkan puasa dan mengqadhanya di hari lain.
Tetapi, kalau kuat dan mau berpuasa, hukumnya harus dikembalikan kepada ketentuan awal di dalam al-Qur’an dan Hadits. Yaitu, bahwa puasa wajib bagi setiap Muslim dewasa yang hidup pada saat Ramadan, dengan dispensasi bagi orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian. Demikian adalah hukum asal al-Qur’an dan Hadits. Kesepakatan ulama klasik, menurut Bayandir, harus dipandang sebagai hasil ijtihad yang historis, bukan hukum Allah Swt dan Rasul-Nya yang final dan mengikat.
Pernyataan ini, seperti melanjutkan logika hukum Islam yang disampaikan Imam al-Juwaini di atas. Tetapi sang Imam sendiri masih tunduk dengan kesepakatan ulama, karena semua ulama berpendapat demikian. Satupun tidak ditemukan pendapat yang berbeda di antara ulama klasik, sepanjang peradaban Islam yang sudah lebih dari 14 abad ini. Tetapi kita tidak perlu mencaci pandangan ulama dan akademisi seperti Abdul Aziz Bayandir dan dua dosen Perguruan Tinggi Islam Indonesia. Karena akal dan hati mereka, sesungguhnya, sedang membela dan menyampaikan kebenaran-kebenaran Islam, terutama dalam konteks kontemporer kita sekarang. Wallahu a’lam bish-shawab.
Tulisan ini dimuat pertama kali di Iqra.id.