Judul Buku : Bapak Tionghoa Nusantara (Gus Dur, Politik Minoritas, dan Strategi Kebudayaan)
Penulis : Munawir Aziz
Jumlah Halaman : 280 Halaman
Penerbit : PT. Gramedia, Jakarta
Mubadalah.id – Selama liburan kuliah kemarin, saya akhirnya bisa membaca buku yang berjudul Bapak Tionghoa Nusantara (Gus Dur, Politik Minoritas, dan Strategi Kebudayaan). Buku apik ini ditulis oleh Munawir Aziz, alumnus Center for Religious and Cross-Culture Studies (CRCS), Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Dalam buku Bapak Tionghoa Nusantara, Munawir Aziz membaginya menjadi menjadi tujuh bagian. Di bagian I, Munawir membahas soal Gus Dur dan Jaringan Tionghoa: Membaca Sejarah yang Terlupa. Bagian II, Tionghoa dalam Sejarah Nusantara.
Bagian III, Tionghoa dan Perjuangan Kemerdekaan. Bagian IV, Tionghoa dalam Tragedi: Politik Kolonial hingga Orde Baru. Bagian V, Gus Dur: Sang Pendobrak dari Jombang. Bagian VI, Gus Dur dan Tionghoa: Politik Minoritas Sang Kiai. Dan terakhir, Jaringan Politik-Kultural: Diplomasi Kebangsaan Sang Kiai.
Tentang Gus Dur
Dari tujuh bagian tersebut, sebelumnya saya ingin mengenalkan terlebih dahulu sosok Gus Dur. Abdurrahman Wahid biasa dipanggil dengan Gus Dur adalah seorang tokoh muslim yang mempunyai sikap toleransi yang tinggi.
Gus Dur dilahirkan di Jombang, Jawa Timur 4 Agustus 1940. Gus Dur merupakan putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya bernama KH. Wahid Hasyim yang merupakan putra dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia dan sekaligus pendiri Pesantren Tebuireng Jombang.
Sedangkan, Ibu Gus Dur adalah Hj. Sholehah. Beliau merupakan putri KH. Bisri Syansuri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur.
Sebagai tokoh panutan para masyarakat Indonesia, Gus Dur sangatlah dihormati oleh banyak kalangan karena pengabdiannya kepada masyarakat.
Bahkan ada 9 nilai yang sampai sekarang diterapkan beberapa penerus Gusdurian yaitu, Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanaan, Persaudaraan, Kesatriaan, dan Kearifan lokal.
Selain terkenal dengan sikap toleransi yang tinggi, beliau juga sebagai sosok yang suka membela kaum minoritas. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang penuh teka-teki dan kontroversial. Sehingga pemikiran dan tindakannya sering disalahpahami oleh banyak kalangan.
Alasan Gus Dur Membela Orang Tionghoa
Itulah sedikit profil tentang Gus Dur. Namun dalam tulisan ini, saya ingin mengulas terkait kenapa Gus Dur membela orang Tionghoa?
Sejatinya, pertanyaan ini, menurut Munawir Aziz membutuhkan jawaban panjang. Akan tetapi, secara ringkas, Gus Dur tidak hanya membela orang Tionghoa, namun dia membela semua orang-orang yang tertindas.
Gus Dur membela Tionghoa karena dalam sepanjang sejarahnya, orang-orang Tionghoa-sebagai kelompok perantara hanya menjadi korban kekuasaan. Mereka terdiskriminasi dalam arena kekuasaan, hingga pengetahuan dan sejarah. Gus Dur menyadari secara detail sejarah kekuasaan di Nusantara, yang ia praktikkan dalam berpikir dan mengambil kebijakan.
Bahkan, menurut Munawir, Gus Dur tidak semata-mata melihat Tionghoa sebagai etnis maupun kelompok tradisi, namun sebagai manusia dengan nilai humanismenya.
Dengan demikian, orang Tionghoa, Gus Dur letakkan dalam posisi sebagai manusia, yang kebetulan dalam sejarahnya sering dijadikan sebagai “kambing hitam” dan korban kekerasan rasial.
Universalisme Islam
Lebih mendalam, Munawir menjelaskan bahwa akar pemikiran Gus Dur tentang pembelaan terhadap kelompok tertindas, dari lintas etnis dan agama, berasal dari prinsip universalisme Islam.
Universalisme Islam, menurut Gus Dur, menampakkan diri dalam berbagai manifestasi ajaran-ajarannya.
Rangkaian ajaran tersebut meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), serta etika (akhlak). Akan tetapi, ajaran ini sering kali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka dan dalam sikap hidup.
Padahal, unsur-unsur itulah yang sesungguhnya menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah).
Gus Dur menambahkan bahwa sejatinya, prinsip-prinsip kemanusiaan yang ada di muka bumi merujuk pada prinsip di atas.
Yaitu tentang persamaan derajat di muka hukum dan undang- undang, perlindungan warga masyarakat dari kezaliman dan kesewenang-wenangan.
Lalu penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan serta pembatasan hak atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas.
Akar Universalisme Islam
Dari mana akar dari universalisme Islam tersebut?. Menurut Gus Dur, salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah kaidah ushul fiqh. Kaidah ini bagi Gus Dur telah mencerminkan lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada perseorangan maupun kelompok.
Kelima jaminan dasar tersebut tersebar dalam literatur hukum agama al-Kutub al-Fiqhiyyah. Yaitu jaminan dasar akan:
Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs).
Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din).
Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl).
Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan dan penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal).
Kelima, keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-aqli).
Jaminan Keselamatan
Dalam pandangan Gus Dur, jaminan keselamatan fisik (hifdzu an-nafs) mengharuskan kepastian hukum yang menjadi pedoman warga dan pemerintah. Serta aparat yang tekait untuk beraktivitas dalam pilihan hidupnya masing- masing.
Dengan adanya pemerintahan yang berdasar pada hukum. Maka pemerintah harus memperlakukan yang adil kepada warganya. Hal ini guna menjadi prasyarat penting hadirnya konsep jaminan keselamatan, yang sesuai dengan kaidah ushul fiqh.
Tentu saja hal ini, Gus Dur jadikan pegangan dalam melindungi orang Tionghoa di Indonesia. Dengan demikian, bentuk jaminan yang Gus Dur berikan merupakan sejalan dengan yang Islam ajarkan.
Oleh sebab itu, mari kita sebagai pencinta Gus Dur, bisa meneladani kehidupan, nilai, dan prinsip-prinsip yang pernah Gus Dur berikan. Sehingga kita bisa menempatkan seluruh umat manusia dengan penuh cinta dan kasih sayang. []