Senin, 20 Oktober 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

    Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Belajar dari Gus Dur dan Daisaku Ikeda, Persahabatan adalah Awal Perdamaian

    Jurnalis Santri

    Sambut Hari Santri Nasional 2025, Majlis Ta’lim Alhidayah Gelar Pelatihan Jurnalistik Dasar untuk Para Santri

    Thufan al-Aqsha

    Dua Tahun Thufan al-Aqsha: Gema Perlawanan dari Jantung Luka Kemanusiaan

    Daisaku Ikeda

    Dialog Kemanusiaan Gus Dur & Daisaku Ikeda, Inaya Wahid Tekankan Relasi Lintas Batas

    Soka Gakkai

    Pimpinan Soka Gakkai Jepang: Dialog Antaragama Hilangkan Salah Paham tentang Islam

    Gus Dur dan Ikeda

    Masjid Istiqlal Jadi Ruang Perjumpaan Dialog Peradaban Gus Dur dan Daisaku Ikeda

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri: Memoar Santri Putri “Nyantri” di California

    Feodalisme di Pesantren

    Membaca Ulang Narasi Feodalisme di Pesantren: Pesan untuk Trans7

    Membaca Buku

    Joglo Baca: Merawat Tradisi Membaca Buku di Tengah Budaya Scrolling

    Suhu Panas yang Tinggi

    Ketika Bumi Tak Lagi Sejuk: Seruan Iman di Tengah Suhu Panas yang Tinggi

    Sopan Santun

    Sikap Tubuh Merunduk Di Hadapan Kiai: Etika Sopan Santun atau Feodal?

    Aksi Demonstrasi

    Dari Stigma Nakal hingga Doxing: Kerentanan Berlapis yang Dihadapi Perempuan Saat Aksi Demonstrasi

    Pembangunan Pesantren

    Arsitek Sunyi Pembangunan Pesantren

    Eko-Psikologi

    Beginilah Ketika Kesalehan Individual dan Sosial Bersatu Dalam Eko-Psikologi

    Sampah Plastik

    Menyelamatkan Laut dari Ancaman Sampah Plastik

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

    Fitrah Anak

    Memahami Fitrah Anak

    Pengasuhan Anak

    5 Pilar Pengasuhan Anak

    Pengasuhan Anak

    Pengasuhan Anak adalah Amanah Bersama, Bukan Tanggung Jawab Ibu Semata

    mu’asyarah bil ma’ruf

    Mu’asyarah bil Ma’ruf: Fondasi dalam Rumah Tangga

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

    Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Belajar dari Gus Dur dan Daisaku Ikeda, Persahabatan adalah Awal Perdamaian

    Jurnalis Santri

    Sambut Hari Santri Nasional 2025, Majlis Ta’lim Alhidayah Gelar Pelatihan Jurnalistik Dasar untuk Para Santri

    Thufan al-Aqsha

    Dua Tahun Thufan al-Aqsha: Gema Perlawanan dari Jantung Luka Kemanusiaan

    Daisaku Ikeda

    Dialog Kemanusiaan Gus Dur & Daisaku Ikeda, Inaya Wahid Tekankan Relasi Lintas Batas

    Soka Gakkai

    Pimpinan Soka Gakkai Jepang: Dialog Antaragama Hilangkan Salah Paham tentang Islam

    Gus Dur dan Ikeda

    Masjid Istiqlal Jadi Ruang Perjumpaan Dialog Peradaban Gus Dur dan Daisaku Ikeda

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri: Memoar Santri Putri “Nyantri” di California

    Feodalisme di Pesantren

    Membaca Ulang Narasi Feodalisme di Pesantren: Pesan untuk Trans7

    Membaca Buku

    Joglo Baca: Merawat Tradisi Membaca Buku di Tengah Budaya Scrolling

    Suhu Panas yang Tinggi

    Ketika Bumi Tak Lagi Sejuk: Seruan Iman di Tengah Suhu Panas yang Tinggi

    Sopan Santun

    Sikap Tubuh Merunduk Di Hadapan Kiai: Etika Sopan Santun atau Feodal?

    Aksi Demonstrasi

    Dari Stigma Nakal hingga Doxing: Kerentanan Berlapis yang Dihadapi Perempuan Saat Aksi Demonstrasi

    Pembangunan Pesantren

    Arsitek Sunyi Pembangunan Pesantren

    Eko-Psikologi

    Beginilah Ketika Kesalehan Individual dan Sosial Bersatu Dalam Eko-Psikologi

    Sampah Plastik

    Menyelamatkan Laut dari Ancaman Sampah Plastik

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

    Fitrah Anak

    Memahami Fitrah Anak

    Pengasuhan Anak

    5 Pilar Pengasuhan Anak

    Pengasuhan Anak

    Pengasuhan Anak adalah Amanah Bersama, Bukan Tanggung Jawab Ibu Semata

    mu’asyarah bil ma’ruf

    Mu’asyarah bil Ma’ruf: Fondasi dalam Rumah Tangga

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Cerpen; Rumahku Surgaku

Mubadalah Mubadalah
14 November 2022
in Sastra
0
Cerpen; Rumahku Surgaku

Cerpen; Rumahku Surgaku

1.7k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.Id- Salah satu cerpen terbaik adalah yang berjudul Rumahku Surgaku. Dalam cerpen Rumahku Surgaku bercerita tentang rumah, yang seharusnya menjadi surga bagi seseorang. Berikut versi lengkap cerpen; rumahku surgaku.

Be it ever so humble, it’s more than just a place.
It’s also an idea—one where the heart is.

(Verlyn Klinkenborg)

Kuningan, 23 Desember 2011

Matahari belum lagi sempurna pancarkan sinarnya. Sementara, penghancuran telah sempurna berlangsung di rumah saya. Ruang tamu yang sekaligus berfungsi sebagai ruang keluarga dan juga ruang kerja, tak lagi pantas disebut ruang tamu. Tak ada titik yang tersisa bagi tamu macam apa pun untuk duduk. Aneka mainan terserak berantakan memenuhi seluruh ruang.

Gadis cantik berambut pirang teronggok begitu saja tanpa tangan dan kaki. Ada juga gadis dengan tubuh semampai tergeletak di sisi televisi tanpa kepala. Tubuh gadis lain terjuntai di atas ranjang tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Tetapi, kaki gadis itu tinggal satu.

Genangan air dengan warna beraneka akibat campuran cat warna, lipstik, bedak, dan juga bubuk pacar tersebar membuat becek ruang tamu hingga dapur. Kertas gambar, kertas tisu, dan sobekan-sobekan kertas koran berserakan di antara kereta dan mobil-mobilan.

Pagi ini rumah kami seperti diterjang badai topan. Aneka barang dan perabotan terserak berantakan. Boneka-boneka barbie dengan gaya rambut dan warna kulit beraneka terserak di mana-mana dengan tubuh yang nyaris semuanya tidak utuh.

Malam tadi, Aisyi, cucu saya nginap di rumah kami. Usianya baru tujuh tahun. Tubuhnya mungil. Gerak-geriknya lincah. Ia jadi kawan bermain yang paling akur untuk anak saya, Hagia, yang berusia lima tahun. Meski usianya lebih tua, Aisyi manggil anak saya dengan panggilan bibi, “bibi kecil”. Ya, seperti itulah tradisi kami, orang Sunda, mungkin juga suku-suku lain di Indonesia.

Begitu saja, saat seorang bayi dilahirkan, ia telah menjadi ayah, juga sekaligus kakek, paman, dan lain-lain. Aisyi manggil saya “aki” karena neneknya adalah kakak saya. Maka, ia manggil Hagia “bibi”. Kadang-kadang saya merasa risih ketika orang yang berumur jauh lebih tua bersalaman dan mencium tangan saya, semata-mata karena bapak atau ibunya adalah adik bapak atau ibu saya.

Karena sudah lama mentradisi, sering kali saya berjumpa orang yang saat bersalaman ingin agar tangannya dicium. Mencium tangan saat bersalaman menandakan penghormatan, penghargaan, ketundukan, ketaatan, dan lain-lain. Karena itulah kita sering melihat orang yang dicium tangannya saat bersalaman menunjukkan pandangan yang bangga—karena dirinya merasa terhormat.

Aisyi, cucu saya itu, berlibur di kampung kami, di rumah neneknya, kakak perempuan saya. Pagi-pagi, Hagia telah bermain bersama Aisyi di ruang tamu, kamar tidur, hingga dapur dan kamar mandi. Semua ruang yang kering dan datar mereka jelajahi. Bekas-bekas permainan tadi malam belum lagi diberesi.

Pagi ini, kehancuran menjadi-jadi. Anteng bermain, tiba-tiba seekor burung Gereja, yang tampaknya masih sedang belajar terbang, masuk ruang tamu kami dari pintu depan yang terbuka. Meski berumah di atas masjid atau di atas rumah naib, mereka tetap disebut burung gereja.

Terbang mengitari ruang beberapa saat, burung itu sadar, ia tersesat. Ia sadar, ini bukan rumahnya. Ini bukan tempatnya sehingga ia berusaha mencari lubang keluar. Beberapa kali ia nabrak kaca jendela—dikiranya lubang besar tanpa penghalang.

Ilusi. Aisyi dan Hagia, yang melihat burung itu masuk ruangan, bergegas menutup pintu depan sehingga burung itu terjebak di dalam. Meski rumah saya ini jauh lebih besar dari sarangnya, burung itu merasa ia tak layak dan tak semestinya berada di sini. Ia tidak betah berada di rumah kami.

Kini, gerak dan lintasan terbangnya terlihat semakin panik. Tabrak sana tabrak sini. Aisyi dan Hagia teriak-teriak mengejar burung itu. Keduanya lalu memanggil seraya menarik tangan saya.

“Akiiii… itu ada burung masuk….” teriak Aisyi.

“Iya, aki tahu,” huh… rada berat nyebut diri sendiri “aki” meski telah banyak rambut kelabu tumbuh di kepala saya.

“Paa… tangkap burungnya…” timpal Hagia.

Bagi anak kecil, burung adalah barang langka yang lucu dan menarik untuk dijadikan mainan, sama halnya ketika mereka melihat ikan-ikan kecil, atau mempermainkan kumang. Mereka ingin agar burung gereja yang tersesat itu ditangkap.

Saya bergegas mengejar burung itu. Saya berusaha memojokkannya di sudut ruang, juga di daun jendela, antara kaca dan tirai. Akhirnya, setelah beberapa lama, burung itu terpojok di bawah lemari pakaian. Saya berhasil menangkapnya, lalu membuka pintu dan berniat melepaskannya.

Tetapi kedua gadis kecil itu berteriak melarang. Mereka ingin menjamah, menyentuh, bermain-main dengan burung itu. Akhirnya, saya letakkan burung itu pada sebuah tempat sampah berongga. Bagian atas tempat sampah itu saya tutup dengan plastik transparan sehingga anak-anak bisa bermain-main dengan burung itu. Mereka memberinya beras, nasi, juga secangkir air.

Meski sarang itu dipenuhi makanan dan minuman, burung itu tak pernah diam. Ia tak mau mematuki beras yang terserak. Ia berusaha mencari jalan keluar. Ia ingin lari melepaskan diri dari sarang yang sarat makanan.

“Pa, kenapa burung itu tidak mau makan?”

“Tidak tahu, mungkin ia merasa tidak betah meskipun banyak makanan di sini. Ini bukan rumahnya, dan Gia bukan ibunya.”

“Ya udah, biarin aja, nanti juga kalau kelaparan, dia makan,” ujar Gia sambil berlalu meninggalkan tempat sampah yang jadi sangkar burung.

Puas mempermainkan burung itu, anak-anak kembali pada permainan awal, boneka barbie. Burung malang itu loncat dan terbang dalam tabung kecil tempat sampah tertutup plastik transparan. Kasihan melihat burung itu, saya berkata kepada anak-anak, “Gia, Aisyi, burungnya dilepas saja ya …”

“Jangan!!” keduanya teriak serempak sambil berlari mendekati.

“Tapi, kasian burung itu masih kecil. Ibu-bapaknya pasti sedih nyariin dia,” saya mencoba membujuk.

“Ya udah, tangkep aja ibu-bapaknya, jadi gak ada yang sedih…” Hagia berujar kalem.

Saya tersenyum dengar ujarannya, juga terhenyak hingga tak bisa berkata apa-apa. Saya merasa, jawaban anak saya itu sangat logis. Mungkin jika burung ini hidup bersama ibu dan bapaknya, ia mau makan beras atau biji-bijian lain yang diberikan anak-anak. Cukup lama burung itu dibiarkan loncat-loncat di dalam sangkar-dari-tempat-sampah.

Akhirnya, setelah membujuk cukup lama, mereka mau melepaskan burung itu. Bersama-sama kami melepasnya ke alam bebas. Burung itu terbang bebas, mengitari pucuk pohon mangga, hinggap di salah satu rantingnya, lalu terbang lagi.

Mungkin dia harus terbang jauh, atau berebut dengan burung lain untuk mendapatkan satu atau dua biji beras atau seekor ulat, tidak seperti di tempat sampah kami yang penuh biji beras. Meski begitu, ia senang karena dapat terbang bebas. Ia senang meski sarangnya kecil dan basah di saat hujan.

Rumah, sejatinya, meski kecil, jelek, dan sempit, akan selalu menjadi tempat yang paling dirindukan. Meki kita mengembara jauh, melintasi ribuan kilometer, menyeberangi samudera, dan menyambangi tempat-tempat yang jauh lebih indah, hati kita akan selalu terpaut ke rumah.

Meskipun kita menginap beberapa malam atau pekan di sebuah kamar presidential hotel bintang enam dengan segala kelengkapan dan fasilitasnya yang supermewah, kita akan selalu merindukan tidur di rumah kita sendiri. Sejatinya, seperti itulah makna rumah: tempat kita mendapatkan ketenangan, kedamaian, dan kesenangan. Mungkin karena itulah Rasulullah Saw. pernah bilang bahwa rumahnya adalah surganya (baytî jannatî).

Padahal, rumah Rasulullah dan keluarga beliau (menurut riwayat) sangatlah sederhana, kecil, dan sempit. Mungkin keadaannya seperti rumah-rumah bedeng yang dokontrakkan, atau kos-kosan. Beberapa kotak seukuran kurang lebih 3 X 6 meter berderet di samping Masjid Nabawi.

Rumah yang paling dekat dan berdampingan dengan Masjid adalah rumah Aisyah r.a. Perabotannya pun sangat jauh dari lengkap. Hanya ada perlengkapan masak, perangkat untuk makan, dan perlengkapan tidur. Ranjang Nabi saw. hanya dialasi anyaman pelepah kurma sehingga ketika bangun tidur, tampak bekas-bekas anyaman itu pada pipi dan bagian tubuh beliau yang lain. Keadaan itulah yang pernah membuat Umar ibn al-Khatthab menangis.

Namun, Rasulullah Saw. dengan bangga menyebut rumah beliau sebagai surga. Sebab, rumah semestinya menjadi tempat ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan. Bahkan, pada beberapa orang, rumah juga menjadi sumber kesehatan.

Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris dikenal istilah “homesick”, yang berarti keadaan seseorang yang tidak nyaman, tidak tenang, tidak betah, karena berada di tempat yang bukan rumahnya. Situasi psikologis itu kerap terwujud dalam bentuk sakit fisikal, seperti sakit perut, sakit kepala, dan lain-lain.

Mungkin karena itulah dalam bahasa Arab rumah disebut “maskan”. Kata maskan merupakan ism makân (kata benda menunjukkan tempat) yang berasal dari kata kerja sakana-yaskunu yang berarti merasa tenang dan nyaman.

Dengan demikian, seharusnya rumah menjadi sumber ketenangan bagi para penghuninya. Meskipun sangat sederhana, kecil, dan semmpit, rumah selalu menjadi pilihan kita untuk mendapatkan ketenangan dan kenyamanan. Ada satu ayat Alquran yang sering dikutip dalam khutbah nikah dan ceramah tentang pernikahan, yaitu surah al-Rûm ayat 21:

Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah Dia menciptakan dari diri (jenis) kalian pasangan untuk kalian supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih (mawaddah) dan rasa sayang (rahmah).

Sungguh dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir. Dalam surah al-Nahl ayat 80, Allah berfirman, “Dan Allah menjadikan dari rumah-rumah kalian (buyûtikum) sebagai tempat tinggal (sakanâ)”. Ayat itu, dengan kata lain, menunjukkan bahwa ada pula rumah (bayt) yang tidak menjadi tempat tinggal (sakanâ), atau tempat ketenangan. Banyak pula rumah yang menjadi sumber kemarahan, konflik, dan pertengkaran.

Ibn Katsir, dalam kitab tafsirnya, mengatakan, “Allah ta’ala menyebutkan kesempurnaan nikmat-Nya atas hamba-Nya, dengan apa yang Dia jadikan bagi mereka rumah-rumah yang merupakan tempat tinggal mereka. Mereka kembali kepadanya, berlindung, dan memanfaatkannya dengan berbagai macam manfaat.”

Jadi, tujuan adanya pasangan dan hidup berpasangan adalah untuk mendapatkan dan meraih ketenangan. Jika setelah menikah dan berrumah tangga kita justru kehilangan rasa tenang dan damai, berarti ada yang keliru dalam pernikahan itu. Bisa jadi, modal yang telah dinaugerahkan oleh Allah berupa mawaddah dan rahmah telah hilang atau berkurang sehingga sakînah tak kita rasakan.

Maka, agar kita kembali mendapatkan sakinah, kita harus berusaha menumbuhkan dan menjaga mawaddah serta rahmah agar tidak menipis, berkurang, apalagi menghilang. Tanpa mawaddah dan rahmah, bukan sakînah yang akan kita dapatkan, melainkan saqîmah, yang berarti derita, rasa sakit, atau kepedihan.

Persis seperti burung yang saya tangkap dan disimpan di sangkar dari tempat sampah. Meski berlimpah makanan dan minuman, juga aman dari angin atau hujan badai, burung itu terus mencari jalan keluar agar terbebas dari kurungan yang bukan rumahnya.

Demikian bunyi cerpen; rumahku surgaku. Semoga cerpen rumahku surgaku bermanfaat. (Baca juga: Cerpen Cinta Perlu Dijaga)

Tags: keluargapasanganRumahku syurgakuSuami istr
Mubadalah

Mubadalah

Portal Informasi Popular tentang relasi antara perempuan dan laki-laki yang mengarah pada kebahagiaan dan kesalingan dalam perspektif Islam.

Terkait Posts

Hak Milik dalam Relasi Marital
Keluarga

Hak Milik dalam Relasi Marital, Bagaimana?

15 Oktober 2025
Keluarga sebagai Pertama dan Utama
Hikmah

Menjadikan Keluarga sebagai Sekolah Pertama dan Utama

14 Oktober 2025
Keadilan sebagai
Hikmah

Keluarga sebagai Ruang Pendidikan Keadilan dan Kasih Sayang

11 Oktober 2025
Keluarga sebagai
Hikmah

Keluarga sebagai Sekolah Pertama Menanamkan Nilai-nilai Kemanusiaan

11 Oktober 2025
Yosef dan Maria
Keluarga

Yosef dan Maria: Belajar dari Dua Tokoh yang Saling Menguatkan dalam Hidup Berkeluarga

9 Oktober 2025
Perempuan Baik untuk Lelaki yang Baik
Hikmah

Perempuan Baik untuk Lelaki yang Baik dalam Perspektif Al-Qur’an

7 Oktober 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Psikologis Disabilitas

    Memahami Psikologis Disabilitas Lewat Buku Perang Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Hari Santri: Memoar Santri Putri “Nyantri” di California

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Joglo Baca: Merawat Tradisi Membaca Buku di Tengah Budaya Scrolling

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki
  • Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki
  • Memahami Psikologis Disabilitas Lewat Buku Perang Tubuh
  • Refleksi Hari Santri: Memoar Santri Putri “Nyantri” di California
  • Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID