Mubadalah.id – Sebagaimana keputusan tidak menikah, keputusan tidak memiliki anak (childfree) juga akan menjadi salah satu dari sekian pilihan dalam hidup manusia. Tentu pilihan ini harus kita pahami dengan segala kompleksitasnya. Kalau merujuk pada fikih Islam mayoritas, sudah pasti hukum childfree itu haram. Tegas. Namun, dalam perkembangannya, betapa pun misalnya ulama kontemporer yang menyampaikannya, maupun ulama klasik–tetapi tidak umum dipakai–selalu saja ada yang kemudian membuka pintu kebolehan.
Saya akan mencoba mendedahkan jawab dari pertanyaan childfree apakah boleh? Mengapa kemudian childfree diperbolehkan (meskipun sekali lagi sulit kita terima). Prinsipnya bahwa segala sesuatu tidak boleh ada paksaan. Dan perempuan maupun laki-laki secara fitrah dapat menentukan nasib hidupnya ke depan. Perempuan sebagaimana laki-laki, ia merdeka. Akan dituntut untuk menentukan jalan hidupnya sesuai akal sehat dan hati nurani.
Namun, izinkan saya mengapa kemudian fenomena childfree ini kembali menyeruak. Karena apalagi kalau bukan karena imbas cepatnya media sosial. Lebih spesifik lagi bahwa bagi sebagian perempuan, mempunyai anak menjadi penghalang gerak aktivitas. Saya merasakan betul, kalau bukan karena ingat kepada Allah, proses mengandung, sampai persalinan anak sungguh banyak menguras waktu, tenaga, biaya dan segala sesuatu lainnya.
Belum lagi melihat realitas anak di kehidupan sosial. Banyak anak yang kurang gizi, stunting, terlantar, kelaparan, tak terkecuali angka kematian bayi dan ibu yang masih tinggi. Maka bisa jadi fenomena childfree ini malah bisa dijadikan aksi solidaritas. Saya pikir, perempuan mana pun berpotensi mengambil keputusan childfree, tentu saja dengan banyak menanggung konsekuensi. Mulai dari dijadikan bahan gunjingan di lingkungan keluarga dan mungkin dijadikan bahan sumpah serapah. Dianggap telah melawan kodrat dari Allah.
Menyikapi Fenomena Childfree
Saya sendiri berada dalam posisi tengah-tengah. Tidak saklek menerima, apalagi menolak secara membabi buta. Saya lebih memilih membiarkannya mengalir, sambil terus menyampaikan narasi edukatif bagaimana kemudian hikmah memiliki anak yang baik yang sesuai syariat. Jangan malah kemudian para perempuan childfree ini kita kucilkan, kita ancam, apalagi sampai mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Ada pertanyaan, sekaligus menjadi perdebatan, apakah keputusan childfree ini ada kaitannya dengan awet muda? Kalau bicara salah satu kemungkinan, saya tegaskan, ya. Dengan fakta bahwa dalam proses mengandung, melahirkan dan membesarkan anak itu butuh banyak keperluan. Mulai dari tenaga, waktu bahkan biaya yang besar.
Tidak jarang dalam prosesnya ini, seorang ibu yang tengah dalam prosesnya mengalami syndrom demi syndrom. Sehingga dengan begitu, perempuan yang tidak memiliki anak akan berpotensi jauh dari stres. Orang yang jauh dari stres salah satu manfaatnya awet muda. Meskipun perlu saya beri catatan kemungkinan awet muda ini bukan jaminan.
Maka ke depan, dalam menghadapi fenomena sosial apa pun, kita sudah tidak lagi gagap atau gegeran. Jangankan fenomena yang dianggap baru muncul ke permukaan. Publik juga sering kali masih gegeran manakala mencuat lagi persoalan isu seksualitas dan ragam gender, poligami dan fenomena-fenomena bom waktu lainnya. Hadapi saja dengan tenang. Tidak perlu kita tanggapi dengan sinis, apalagi sampai ada tendensi merendahkan.
Proses Hijrah
Lagi pula, siapa pun perempuan yang sampai saat ini memutuskan untuk childfree, juga belum tentu bertahan seratus persen sampai akhir hayatnya. Hidayah dari Allah dan mengubah keputusan dari A ke B atau dari B ke C dan seterusnya masih sangat mungkin terjadi. Ini yang kemudian kerap kita pahami sebagai bagian dari proses hijrah atau tobat.
Fokus saya terhadap perempuan justru satu hal. Apa pun yang menjadi keputusannya, mari kita saling menghargai satu sama lain. Antar personal dan keyakinannya tidak perlu kita hadap-hadapkan, tidak perlu kita bentur-benturkan. Mengalir saja seperti fitrah kehidupan pada umumnya. Perempuan lebih baik fokus pada proses peningkatan kualitas hidup yang lebih subtantif.
Jadi bolehlah beramai-ramai di media sosial, sampai menimbulkan perdebatan. Tetapi jangan sampai kehilangan subtansi bahwa perempuan harus merdeka dan mandiri baik secara intelektual, sosial, finansial, emosional dan spiritual.
Akhirnya, fenomena childfree ini tidak akan bisa kita bendung. Malah berpotensi juga menjadi bom waktu dan tren dari zaman ke zaman. Saya dan siapa pun kita yang punya kepedulian terhadap transformasi sosial, jangan menyerah, tidak boleh gagap. Sebaliknya tadi, terus hadapi dengan narasi-narasi edukasi yang merangkul dan menenangkan. Tidak malah kemudian semakin memperkeruh suasana alias mengatasi masalah tanpa solusi. []