Mubadalah.id – Bali, yang terkenal surga-nya dunia nomor ke-2 sejagad raya itu menyimpan pesan indah dalam saling toleransi. Jujur saja saya sudah tidak kagok dengan jargon “Bali adalah kota seribu toleransi”, karena selain suka main ke bali, juga ada setitik darah keluarga.
Toleransi beragama di Bali sungguh amat ekstra tinggi. Bagaimana tidak? Persinggungan antar agama dan kultur budaya sering beririsan. Tentu harus beradaptasi dengan maksimal ketika memahami ajaran antar agama.
Contohnya saja bagi kaum muslim pada sat Idul Adha/kurbanan ini. Mungkin di Jawa sudah biasa dengan kurban kambing, sapi, kerbau dan lain sebagainya asalkan tidak menabrak syariat. Tapi berbeda dengan di Bali, bukan lagi perihal syariat, ini soal kemanusiaan yang dibungkus dengan toleransi.
Warga Muslim yang berdomisili Bali harus paham dengan syariat dalam ajaran hindu. Contoh pada momen Iduladha saat ini. Warga muslim selayaknya mengerti jika saudara Hindu meng-agungkan “Sapi” dalam kehidupan.
Dalam ajaran mereka, Sapi sebagai sakralitas lambang kehidupan, mereka anggap juga sebagai hewan suci dan perwujudan Dewi Ibu Gau Mata. Meskipun menghidangkan sapi adalah sebuah tantangan bagi orang Kudus (bagi yang percaya), kedudukan Sapi pada ajaran Hindu sudah terlalu suci.
Toleransi Yang Nggak Pencitraan
Salah satu pengalaman epik saya pada saat Iduladha di Bali adalah tetangga muslim yang “Newbie” baru tinggal di kota seribu pura itu memberikan potongan daging sapi ke warga hindu setempat.
Sedikit agak tertawa, karena si tetangga belum paham betul tradisi dan ajaran lokal. Tapi yang bikin salut adalah perbincangan menjadi hangat ketika saling memahami. Warga Bali menjelaskan mengapa daging sapi tersebut dia tolak, dan warga muslim menggantinya dengan daging kambing sebagai bentuk menghargai.
Tidak ada kata sakit hati, keduanya terjalin dalam senyuman hangat. Begitu ringan dan sangat enteng toleransi beragama. Toleransi itu nggak harus ribet atau formal. Kadang cukup dengan senyuman, saling sapa, saling memahami dan menghargai atau bantuin tetangga beda agama. Dan semua itu bukan gimmick. Nggak ada panggung, nggak ada kamera cuma manusia bantu manusia.
Masih banyak tempat di Indonesia yang sedang memperjuangkan toleransi Bergama, tapi Bali sudah menjadi contoh konkrit toleransi beragama yang enteng. Sebagai masyarakat minoritas, umat muslim tetap bisa ibadah, berkurban, merayakan hari raya yang damai. Nggak ada ribut-ribut, yang ada malah toleransi.
Ketika Beda Keyakinan Menjadi Kekuatan
Menariknya, warga Hindu Bali mayoritas tidak terganggu dengan Idhuladha. Mereka malah antusias membantu, mengamankan kegiatan yang serumpun. Begitupun sebaliknya, jika ada kegiatan keagamaan Galungan, Nyepi dan sebagainya, warga muslim membantu dan menghargai budaya itu.
Dalam ajaran Hindu, Filosofi Tri Hita Karana yang mengajarkan tentang keharmonisan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan, ternyata bisa diimplementasikan lintas agama. Warga Muslim dan Hindu di Bali sudah membuktikan bahwa perbedaan keyakinan nggak mesti jadi penghalang untuk hidup rukun.
Juga ada dalam Islam Quran surat Al-Hujurat ayat 13 yang mengajarkan agar saling mengenal, menghargai, menghormati secara harmonis, dan tanpa unsur diskriminasi.
Oleh karena itu Iduladha mengajarkan sebuah sikap toleransi yang besar sebagai perenungan. Bali menjadi saksi toleransi bahwa ketika budaya lokal bertemu dengan tradisi keagamaan, tercipta harmoni yang indah.
Dari fenomena ini, rasanya Indonesia masih memiliki harapan penuh untuk saling merawat toleransi dalam keberagaman. Dari sapi kurban menjadi gotong royong, dari perbedaan keyakinan sampai kesamaan rasa kemanusiaan dan terbingkai dalam satu frame, bingkai keindahan. Jadi, siapa bilang toleransi itu susah? Kadang hanya butuh membuka hati dan fikiran serta seporsi besar rasa saling menghargai. []