Mubadalah.id – Fenomena Tepuk Sakinah belakangan ini menjadi perbincangan luas di ruang publik, mulai dari jagat maya hingga media arus utama. Gerakan sederhana yang dipopulerkan dalam program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) Kementerian Agama ini bertujuan menyegarkan suasana pembelajaran sekaligus mengingatkan pasangan calon pengantin tentang nilai-nilai dasar rumah tangga. Melalui kombinasi tepukan tangan dan ucapan yel-yel, peserta diajak mengingat prinsip sakinah, mawaddah, rahmah secara lebih interaktif.
Namun, kehadiran Tepuk Sakinah memunculkan respons yang beragam. Sebagian menilai ini sebagai inovasi kreatif dan cara yang menyenangkan untuk menyampaikan pesan moral. Sebagian lain justru menganggapnya sebagai gimmick yang terkesan mengerdilkan keseriusan isu pernikahan dan rumah tangga.
Pertanyaannya, sejauh mana sebuah simbol sederhana dapat membantu pasangan membangun rumah tangga yang berlandaskan nilai spiritual mendalam?
Dalam tradisi agama, simbol memiliki peran penting sebagai media penyampai makna. Salat, misalnya, tidak hanya sekadar gerakan tubuh, tetapi juga ekspresi ketaatan, ketundukan, dan komunikasi spiritual dengan Sang Pencipta. Demikian pula dalam tradisi Islam lainnya, seperti doa sebelum makan atau salam, yang tidak semata-mata ritual, tetapi juga sarat nilai etika dan spiritual.
Makna Tepuk Sakinah
Dengan perspektif ini, makna Tepuk Sakinah bisa terlihat sebagai upaya simbolik yang sah. Gerakan sederhana bisa menjadi pintu masuk menuju kesadaran yang lebih dalam. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa simbol keagamaan memiliki daya untuk memperkaya pengalaman makna hidup, asalkan kita hayati secara mendalam dan tidak berhenti di level ritual semata (Barrett, 2023).
Namun, simbol hanya bermakna jika kita iringi dengan kesadaran dan refleksi. Tanpa itu, ia berisiko menjadi ritual kosong. Sama seperti shalat tanpa khusyuk, tepuk tangan ini bisa berakhir hanya sebagai hiburan sesaat tanpa pengaruh signifikan terhadap cara pandang dan perilaku pasangan dalam menghadapi dinamika rumah tangga.
Kritik yang muncul terhadap Tepuk Sakinah pada dasarnya menyoroti aspek substansi. Mengingatkan pasangan tentang sakinah memang penting, tetapi itu baru langkah awal. Tantangan nyata rumah tangga tidak berhenti pada menghafal kata-kata indah, melainkan bagaimana mewujudkannya dalam keseharian.
Apakah pasangan siap mengelola konflik dengan komunikasi sehat? Mampu berbagi peran secara adil dalam mengurus rumah tangga? Apakah ada kesadaran bersama untuk saling mendukung karier dan cita-cita masing-masing? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menentukan kualitas rumah tangga, bukan sekadar sejauh mana mereka hafal gerakan tepukan tangan di ruang kelas Bimwin.
Karena itu, makna Tepuk Sakinah sebaiknya kita posisikan sebagai pintu pembuka, bukan tujuan akhir. Ia adalah cara kreatif untuk memecah kebekuan, tetapi harus ditindaklanjuti dengan materi substansial. Konseling pernikahan, diskusi tentang manajemen keuangan, keterampilan komunikasi, hingga pendidikan kesetaraan gender. Tanpa itu semua, makna sakinah akan berhenti sebagai jargon yang enak kita ucapkan tetapi sulit terwujudkan.
Ruang Setara dalam Relasi Suami Istri
Sakinah tidak boleh kita maknai sebagai kondisi pasif yang hanya berpihak pada kenyamanan salah satu pihak, biasanya suami. Sakinah, mawaddah, rahmah adalah ruang damai yang harus kita rasakan setara oleh kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan.
Pemaknaan ini sejalan dengan penjelasan Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an (1996), bahwa sakinah merupakan ketenteraman batin yang hadir dari hubungan penuh kasih sayang, penghargaan, dan penghormatan antara suami dan istri.
Maka, simbol seperti Tepuk Sakinah harus terisi dengan nilai kesalingan. Misalnya, ketika pasangan bertepuk tangan sambil menyebut kata “rahmah”, hendaknya disadari bahwa kasih sayang itu bukan sekadar kewajiban istri untuk melayani, tetapi juga tanggung jawab suami untuk mengasihi, menghormati, dan mendukung. Tanpa kesadaran kesalingan, gerakan simbolis itu akan kehilangan maknanya.
Dalam banyak kasus, kegagalan rumah tangga justru muncul karena tidak ada keseimbangan dalam relasi. Beban domestik tertumpahkan hanya pada perempuan. Sementara laki-laki merasa cukup dengan memberi nafkah materi. Padahal, rumah tangga sakinah hanya mungkin terwujud bila ada keadilan peran, saling mendengar, dan berbagi beban kehidupan.
Studi lapangan di Jawa Tengah menunjukkan bahwa keharmonisan rumah tangga terpengaruhi kuat oleh komunikasi terbuka dan pengelolaan emosi, bukan sekadar oleh simbol atau jargon keagamaan (Arief et al., 2023). Temuan ini menegaskan bahwa Tepuk Sakinah hanya bisa bermakna jika kita barengi keterampilan nyata dalam berelasi sehari-hari.
Menilik Respons Masyarakat
Respons beragam masyarakat terhadap Tepuk Sakinah bisa menjadi cermin. Di satu sisi, publik tampak haus akan inovasi pendidikan pernikahan yang lebih segar dan komunikatif. Di sisi lain, publik juga kritis terhadap segala upaya simplifikasi yang berpotensi menyepelekan isu serius.
Kementerian Agama bahkan menegaskan bahwa Tepuk Sakinah tidak bersifat wajib, melainkan hanya alat bantu untuk mencairkan suasana pembelajaran calon pengantin. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa gerakan ini memberi kesan pernikahan cukup terpahami lewat hafalan dan hiburan, padahal realitas rumah tangga jauh lebih kompleks.
Pertama, Kementerian Agama dan fasilitator Bimwin perlu menegaskan bahwa Tepuk Sakinah hanyalah alat bantu, bukan materi utama. Penekanan harus tetap pada substansi, seperti komunikasi efektif, kesetaraan peran, dan pengelolaan konflik.
Kedua, materi bimbingan perlu memasukkan lebih banyak pendekatan kontekstual, misalnya studi kasus perceraian, pengalaman nyata pasangan, hingga simulasi pembagian peran dalam rumah tangga. Dengan begitu, peserta tidak hanya menghafal kata-kata indah, tetapi juga memahami praktik konkret yang harus dijalankan.
Ketiga, perlu ada monitoring dan evaluasi: sejauh mana inovasi seperti Tepuk Sakinah benar-benar berdampak positif pada pasangan. Jangan sampai ia berhenti di level viral semata tanpa kontribusi nyata terhadap ketahanan keluarga.
Simbol memang penting, tetapi ia bukan tujuan. Tepuk Sakinah bisa menjadi pintu refleksi, pengingat yang menyenangkan, dan doa tersembunyi yang terkemas kreatif. Namun, tugas kita adalah membawa simbol itu menuju substansi: membangun rumah tangga yang betul-betul menghadirkan sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Karena itu, pasangan muda harus kita ingatkan: kebahagiaan rumah tangga tidak lahir dari hafalan yel-yel, melainkan dari kesadaran, kerja sama, dan komitmen bersama untuk saling mengasihi. Dari simbol ke substansi, di situlah makna sejati Tepuk Sakinah harus kita wujudkan. []