Mubadalah.id- Kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab bersama, berangkat dari hal-hal sederhana yang memberi dampak luar biasa. Tulisan ini adalah sepenggal pengalaman yang saya temukan dalam perjalanan dari Surabaya menuju Lombok dengan moda transportasi kapal laut yaitu KM. Kirana 7.
Moda transportasi kapal laut hari ini kian diminati oleh pelancong. Termasuk saya yang sudah menghabiskan waktu liburan di Cirebon, tanggal 1 Maret kemarin harus sudah berlayar kembali Lombok untuk menyelesaikan studi. Saya akan mengajak salingers untuk melihat permasalahan dalam kapal laut, terutama permasalahan sampah plastik yang hingga hari ini belum menemukan solusinya.
Pelayaran 20 Jam
Saya berangkat dari Surabaya dengan kapal laut KM Kirana 7 yang dioperasikan oleh PT. Dharma Lautan Utama. Sebetulnya banyak kapal lainnya yang menjadi pilihan, namun kapal inilah yang sering saya naiki karena fasilitasnya terbilang cukup nyaman dan bagus. Selain itu dengan harga 200 ribu rupiah untuk kelas ekonomi tidur terbilang cukup murah bagi kantong mahasiswa.
Dalam pelayaran Surabaya-Lombok yang menghabiskan waktu 20 jam tersebut, para penumpang akan mendapatkan dua kali layanan makan berat dengan berbagai menu yang menggugah selera. Dalam kapal tersebut juga terdapat dua cafetaria yang terdapat di bagian dalam dan dek atas kapal.
Kali ini saya menemukan masalah, semua makanan di atas kapal menggunakan tempat makanan berbahan plastik sekali pakai. Perusahaan penyedia jasa angkutan sepertinya harus memikirkan solusi lain dengan menghindari penggunakan plastik dalam menyajikan makanan. Penggunaan plastik sekali pakai untuk tempat makanan seringkali mengancam kelestarian lingkungan dengan banyaknya sampah plastik.
Berapa banyak sampah yang dihasilkan?
Kapal laut KM. Kirana 7 adalah jenis kapal Ro-Ro yang dapat menampung penumpang dan kendaraan. Melansir IDN Times NTB, Kapal ini berkapasitas 400-500 orang dan 200 kendaraan dalam setiap pelayarannya. Pada saat saya menumpang kapal ini, terdapat sekitar 350 penumpang di berbagai kelas.
Dalam satu kali layanan makan, penumpang akan mendapatkan satu porsi nasi dalam tempat berbahan plastik. Satu air gelas 200 ml dan buah-buahan yang juga dibungkus plastik. Dengan jumlah tersebut, maka dalam satu kali layanan makan kapal ini menghasilkan 1050 sampah plastik. Dalam dua kali makan, 2100 sampah plastik akan berakhir di tempat pembuangan akhir.
Dalam sebulan, kapal ini terus melakukan pelayaran Surabaya-Lombok (PP). Artinya, ada sekitar 63 ribu sampah plastik yang berasal dari satu kapal. Belum lagi dengan kapal-kapal lainnya dengan kapasitas penumpang yang jauh lebih besar. Tentu ini adalah hitungan kasar, bisa saja lebih besar jika kita menghitung sampah plastik yang berasal dari cafetaria.
Meskipun Anak Buah Kapal (ABK) mengumpulkan sampah tersebut dalam kantong-kantong besar, tetap saja ada beberapa oknum penumpang yang membuang sampah plastik bekas makanan langsung ke laut. Jelas akan mengancam kelestarian lingkungan terutama ekosistem laut.
Sampah plastik, mengancam kelestarian lingkungan
Tidak hanya di darat, di laut pun sampah plastik menjadi ancaman serius. Indonesia masih bertengger di urutan kedua negara penghasil sampah plastik di lautan, yaitu 187,2 ton per tahun. Sebagian berasal dari kapal penumpang yang beroperasi di wilayah laut negara Indonesia.
Jumlah di atas bukan hanya sekedar angka, itu adalah sampah plastik di lautan yang harus segera diatasi demi kelestarian lingkungan hidup. Sampah plastik adalah salah satu jenis limbah paling berbahaya apabila berada di ekosistem air terutama lautan. Keberadaaanya mengancam keseimbangan ekosistem laut.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sampah plastik di lautan mengancam biota laut. Konferensi Laut PBB tahun 2017 menyebutkan ada 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, ikan dan kura-kura terbunuh akibat sampah plastik di laut.
Fenomena tersebut sangat mengenaskan, karena tidak hanya manusia yang akan terdampak. Dalam jangka panjang manusia akan mengkonsumsi ikan laut yang juga mengkonsumsi kandungan mikroplastik. Jelas ini akan menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia pada masa mendatang.
Fatwa KUPI II menyatakan “Hukum melakukan pembiaran sampah yang merusak kelestarian lingkungan dan mengancam keselamatan manusia, terutama perempuan, adalah haram”.
Berkaca pada fatwa tersebut, pemerintah maupun penyedia jasa angkutan harus segera melakukan usaha-usaha untuk merawat kelestarian lingkungan yaitu dengan mengurangi penggunaan sampah plastik di kapal laut.
Kita sebagai penumpang kapal laut pun harus memiliki kesadaran untuk mengurangi sampah plastik. Salah satunya dengan tidak menggunakan botol minuman sekali pakai, salingers bisa menggantinya dengan menggunakan tumbler yang lebih ramah lingkungan.
Beberapa solusi untuk mengurangi sampah plastik dari kapal
Ada beberapa solusi yang saya tawarkan, salah satunya adalah konsep makan bersama (prasmanan). Hal ini dapat mengurangi sampah plastik secara signifikan, karena penumpang menggunakan peralatan makan yang tidak sekali pakai. Sepertinya beberapa penyedia jasa penyebrangan harus mempertimbangkan konsep seperti ini demi terjaganya kelestarian lingkungan.
Solusi lainnya adalah pembatasan penggunaan botol air mineral plastik di atas kapal. Misalnya, penumpang harus membawa tumbler dan mengisinya dengan air galon di atas kapal. Hal ini akan menekan produksi sampah plastik jenis botol minuman.
Memang solusi di atas terkesan sangat repot dan tidak efisien. Namun akan sangat murah jika kita membandingkannya dengan kerusakan lingkungan akibat sampah plastik yang akan terus ada sampai anak cucu kita nanti. Salam Lestari. []