Mubadalah.id – Dalam pusaran sejarah filsafat Yunani Kuno, nama Plato menjulang laksana monumen. Karya-karyanya, terutama dialog-dialog Socrates, membentuk cara kita memahami bukan hanya pemikiran Socrates, tetapi juga lanskap intelektual Athena Klasik.
Namun, di antara gemuruh nama-nama besar kaum Adam, terselip sosok perempuan yang Plato sendiri hadirkan. Kemunculannya memantik perdebatan berabad-abad. Dia adalah Diotima dari Mantinea.
Siapakah dia? Rekaan puitis sang filsuf agung, ataukah seorang pemikir perempuan yang jejaknya nyaris terhapus oleh dominasi patriarki dalam kepenulisan sejarah filsafat?
Dialog ‘Symposium’ menjadi panggung utama Diotima. Di sana, Socrates mengaku bahwa pemikirannya tentang Eros (cinta) ia peroleh dari seorang perempuan bijak. Seorang pendeta dari Mantinea, Diotima namanya. Pengakuan ini sudah cukup mengernyitkan dahi sebagian kalangan. Mungkinkah Socrates, ikon filsafat itu, berguru pada seorang perempuan?
Selama berabad-abad, banyak yang meragukan historisitas Diotima, dan menganggapnya sebagai persona fiktif rekaan Plato. Puncak keraguan ini terangkum dalam pandangan seorang humanis abad ke-15. Marsilio Ficino, yang terang-terangan menyatakan absurditas seorang perempuan menjadi filsuf. Sebuah adagium yang, sayangnya, mengakar kuat dan turut melanggengkan keterasingan perempuan dari sejarah filsafat.
Kisah tentang Diotima
Namun, gema Diotima tak sepenuhnya senyap. Belakangan, berbagai temuan dan analisis mulai menggugat pandangan keraguan tersebut. Salah satu bukti paling menarik datang dari arkeologi. Sebuah relief perunggu kecil, dugaan kuat berasal dari abad ke-4 SM, yang menghiasi kotak penyimpan gulungan papirus ‘Symposium’.
Relief itu menggambarkan seorang perempuan yang tengah berdiskusi dengan seorang pria yang wajahnya sangat mirip dengan patung-patung Socrates.
Penemuan artefak itu, yang sezaman atau tak lama setelah masa hidup Plato, mengisyaratkan bahwa Diotima mungkin lebih dari sekadar tokoh imajiner. Bertambah lagi, kebiasaan Socrates sendiri yang tercatat kerap berdialog dengan para pendeta perempuan membuat pertemuannya dengan Diotima semakin masuk akal.
Para penulis kuno setelah Plato, seperti Lucian, Aristides, Maximus dari Tirus, Clement dari Alexandria, Themistius, hingga Proclus, juga menyebut Diotima sebagai tokoh historis, bukan rekaan.
Lebih jauh, dan ini yang paling penting, gagasan yang ternisbatkan kepada Diotima dalam ‘Symposium’ menunjukkan keunikan pemikiran yang membedakannya dengan Plato atau Socrates dalam dialog-dialog lain. Ini memperkuat argumen bahwa Diotima memiliki gagasan filsafatnya sendiri.
Cinta untuk Keabadian
Fokus utama pemikiran Diotima adalah tentang “Eros”. Ia memahami Eros bukan hanya sebagai cinta romantis antarindividu. Melainkan sebagai hasrat mendasar manusia menuju “keabadian”. Namun, keabadian yang Diotima maksudkan di sini bukanlah keabadian jiwa transmigratif seperti dalam konsep Plato.
Bagi Diotima, manusia mendapatkan keabadian dengan “melahirkan” atau “menciptakan.” Baik secara fisik dengan melahirkan keturunan, maupun secara spiritual melalui karya, gagasan, dan ilmu yang terwariskan kepada generasi selanjutnya. Menurutnya, semua ini adalah “anak-anak jiwa” yang menjadi bukti keabadian seseorang.
Keindahan
Konsep “Keindahan” (dengan huruf besar) dalam filsafat Diotima juga berbeda. Jika Plato melihat Keindahan sebagai salah satu Ide transenden, Diotima melihat keindahan sebagai medium, sebagai pendorong bagi Eros.
Menurutnya, kita melihat sesuatu yang indah (seperti orang, karya seni, atau pemikiran). Lalu kita terinspirasi untuk menciptakan sesuatu yang indah juga, atau untuk menjadi lebih baik.
Misalnya, ketika Anda melihat seorang atlet bela diri yang gerakannya indah dan dengan prestasi yang luar biasa. Keindahan penampilannya itu memicu semangatmu untuk berlatih lebih keras lagi.
Atau, ketika Anda membaca puisi yang indah dan menyentuh, lalu Anda terinspirasi untuk menulis puisi sendiri. Keindahan itu “membangunkan” Eros dalam diri kamu. Dengan kata lain, Keindahan adalah alat untuk mencapai tujuan Eros, yaitu keabadian.
Kebaikan
Demikian pula “Kebaikan” (The Good). Bagi Diotima, ini bukanlah Kebaikan universal ala Plato, melainkan kebahagiaan partikular individu yang tercapai melalui kepemilikan abadi atas “sesuatu yang baik”, yang terwujud dalam proses kreatif Eros. Apa itu “sesuatu yang baik”? Yaitu kebahagiaan yang kita dapatkan dari proses “melahirkan” atau menciptakan hal-hal abadi.
Bayangkan Anda berhasil menyelesaikan satu karya buku yang banyak orang sukai dan mereka baca terus-menerus. Rasa bahagia dan bangga karena karyamu bermanfaat dan dikenang itulah “kebaikan” yang Diotima maksud. Ini bukan kebaikan yang abstrak di langit, tapi kebahagiaan konkret yang kamu rasakan karena berhasil “mengabadikan” dirimu lewat karya itu.
Landasan dari semua pemikiran ini adalah pandangan Diotima tentang identitas diri. Berbeda dengan Plato yang mengandaikan adanya “diri” yang metafisik dan tak berubah, Diotima memandang “diri” sebagai akumulasi dari ragam kualitas yang terus berubah dan berkembang.
Implikasinya, “keabadian diri” hanya dapat tercapai ketika kualitas-kualitas unggul yang seseorang miliki berhasil ia replikasi atau ia inspirasikan kepada orang lain, terutama kepada yang ia cintai. Jiwa, dalam pandangan ini, bukanlah entitas abadi yang berpindah-pindah, melainkan sesuatu yang kita presentasikan dengan mewariskan kualitas-kualitas terbaik yang “diri” miliki kepada yang lain.
Menilik Sejarah Filsafat
Perbedaan-perbedaan ini—tentang keabadian, jiwa, identitas personal, keindahan, dan kebaikan—menunjukkan bahwa pemikiran Diotima bukanlah sekadar kamuflase dari gagasan Plato atau Socrates. Ini adalah gagasan yang orisinal dan kritis.
Terlepas dari itu, kisah Diotima adalah pengingat bahwa sejarah filsafat, seperti sejarah pada umumnya, seringkali tertulis oleh para pemenang, atau setidaknya oleh mereka yang memiliki kuasa untuk menuliskannya. Sosoknya yang lama tersembunyi di balik bayang-bayang nama besar Plato, dan perdebatan panjang mengenai eksistensinya, mencerminkan bias gender yang telah lama meresap dalam tradisi intelektual Barat.
Menggali kembali pemikiran Diotima bukan semata-mata soal merekonstruksi figur historis. Tetapi juga soal memperkaya pemahaman kita tentang keragaman pemikiran dalam filsafat kuno.
Diotima menawarkan perspektif yang segar dan mendalam tentang cinta, keabadian, dan hakikat kemanusiaan. Gema suaranya, meski sayup, terus mendorong kita untuk mendengar lebih jeli hikayat-hikayat yang terpinggirkan dalam narasi arus utama filsafat. []