• Login
  • Register
Rabu, 11 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Di Balik Bayang-bayang Plato: Sebuah Hikayat tentang Diotima

Diotima adalah pengingat bahwa sejarah filsafat, seringkali ditulis oleh pemenang, atau setidaknya oleh mereka yang memiliki kuasa untuk menuliskannya.

Fadlan Fadlan
10/06/2025
in Pernak-pernik
0
Diotima

Diotima

991
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam pusaran sejarah filsafat Yunani Kuno, nama Plato menjulang laksana monumen. Karya-karyanya, terutama dialog-dialog Socrates, membentuk cara kita memahami bukan hanya pemikiran Socrates, tetapi juga lanskap intelektual Athena Klasik.

Namun, di antara gemuruh nama-nama besar kaum Adam, terselip sosok perempuan yang Plato sendiri hadirkan. Kemunculannya memantik perdebatan berabad-abad. Dia adalah Diotima dari Mantinea.

Siapakah dia? Rekaan puitis sang filsuf agung, ataukah seorang pemikir perempuan yang jejaknya nyaris terhapus oleh dominasi patriarki dalam kepenulisan sejarah filsafat?

Dialog ‘Symposium’ menjadi panggung utama Diotima. Di sana, Socrates mengaku bahwa pemikirannya tentang Eros (cinta) ia peroleh dari seorang perempuan bijak. Seorang pendeta dari Mantinea, Diotima namanya. Pengakuan ini sudah cukup mengernyitkan dahi sebagian kalangan. Mungkinkah Socrates, ikon filsafat itu, berguru pada seorang perempuan?

Selama berabad-abad, banyak yang meragukan historisitas Diotima, dan menganggapnya sebagai persona fiktif rekaan Plato. Puncak keraguan ini terangkum dalam pandangan seorang humanis abad ke-15. Marsilio Ficino, yang terang-terangan menyatakan absurditas seorang perempuan menjadi filsuf. Sebuah adagium yang, sayangnya, mengakar kuat dan turut melanggengkan keterasingan perempuan dari sejarah filsafat.

Kisah tentang Diotima

Namun, gema Diotima tak sepenuhnya senyap. Belakangan, berbagai temuan dan analisis mulai menggugat pandangan keraguan tersebut. Salah satu bukti paling menarik datang dari arkeologi. Sebuah relief perunggu kecil, dugaan kuat berasal dari abad ke-4 SM, yang menghiasi kotak penyimpan gulungan papirus ‘Symposium’.

Baca Juga:

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Bukan Sekadar Pigura di Istana: Sejarah Kesaktian Para Prameswari (Ratu) Kesultanan Yogyakarta

Arumpone (Raja) Perempuan dalam Sejarah Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan

Relief itu menggambarkan seorang perempuan yang tengah berdiskusi dengan seorang pria yang wajahnya sangat mirip dengan patung-patung Socrates.

Penemuan artefak itu, yang sezaman atau tak lama setelah masa hidup Plato, mengisyaratkan bahwa Diotima mungkin lebih dari sekadar tokoh imajiner. Bertambah lagi, kebiasaan Socrates sendiri yang tercatat kerap berdialog dengan para pendeta perempuan membuat pertemuannya dengan Diotima semakin masuk akal.

Para penulis kuno setelah Plato, seperti Lucian, Aristides, Maximus dari Tirus, Clement dari Alexandria, Themistius, hingga Proclus, juga menyebut Diotima sebagai tokoh historis, bukan rekaan.

Lebih jauh, dan ini yang paling penting, gagasan yang ternisbatkan kepada Diotima dalam ‘Symposium’ menunjukkan keunikan pemikiran yang membedakannya dengan Plato atau Socrates dalam dialog-dialog lain. Ini memperkuat argumen bahwa Diotima memiliki gagasan filsafatnya sendiri.

Cinta untuk Keabadian

Fokus utama pemikiran Diotima adalah tentang “Eros”. Ia memahami Eros bukan hanya sebagai cinta romantis antarindividu. Melainkan sebagai hasrat mendasar manusia menuju “keabadian”. Namun, keabadian yang Diotima maksudkan di sini bukanlah keabadian jiwa transmigratif seperti dalam konsep Plato.

Bagi Diotima, manusia mendapatkan keabadian dengan “melahirkan” atau “menciptakan.” Baik secara fisik dengan melahirkan keturunan, maupun secara spiritual melalui karya, gagasan, dan ilmu yang terwariskan kepada generasi selanjutnya. Menurutnya, semua ini adalah “anak-anak jiwa” yang menjadi bukti keabadian seseorang.

Keindahan

Konsep “Keindahan” (dengan huruf besar) dalam filsafat Diotima juga berbeda. Jika Plato melihat Keindahan sebagai salah satu Ide transenden, Diotima melihat keindahan sebagai medium, sebagai pendorong bagi Eros.

Menurutnya, kita melihat sesuatu yang indah (seperti orang, karya seni, atau pemikiran). Lalu kita terinspirasi untuk menciptakan sesuatu yang indah juga, atau untuk menjadi lebih baik.

Misalnya, ketika Anda melihat seorang atlet bela diri yang gerakannya indah dan dengan prestasi yang luar biasa. Keindahan penampilannya itu memicu semangatmu untuk berlatih lebih keras lagi.

Atau, ketika Anda membaca puisi yang indah dan menyentuh, lalu Anda terinspirasi untuk menulis puisi sendiri. Keindahan itu “membangunkan” Eros dalam diri kamu. Dengan kata lain, Keindahan adalah alat untuk mencapai tujuan Eros, yaitu keabadian.

Kebaikan

Demikian pula “Kebaikan” (The Good). Bagi Diotima, ini bukanlah Kebaikan universal ala Plato, melainkan kebahagiaan partikular individu yang tercapai melalui kepemilikan abadi atas “sesuatu yang baik”, yang terwujud dalam proses kreatif Eros. Apa itu “sesuatu yang baik”? Yaitu kebahagiaan yang kita dapatkan dari proses “melahirkan” atau menciptakan hal-hal abadi.

Bayangkan Anda berhasil menyelesaikan satu karya buku yang banyak orang sukai dan mereka baca terus-menerus. Rasa bahagia dan bangga karena karyamu bermanfaat dan dikenang itulah “kebaikan” yang Diotima maksud. Ini bukan kebaikan yang abstrak di langit, tapi kebahagiaan konkret yang kamu rasakan karena berhasil “mengabadikan” dirimu lewat karya itu.

Landasan dari semua pemikiran ini adalah pandangan Diotima tentang identitas diri. Berbeda dengan Plato yang mengandaikan adanya “diri” yang metafisik dan tak berubah, Diotima memandang “diri” sebagai akumulasi dari ragam kualitas yang terus berubah dan berkembang.

Implikasinya, “keabadian diri” hanya dapat tercapai ketika kualitas-kualitas unggul yang seseorang miliki berhasil ia replikasi atau ia inspirasikan kepada orang lain, terutama kepada yang ia cintai. Jiwa, dalam pandangan ini, bukanlah entitas abadi yang berpindah-pindah, melainkan sesuatu yang kita presentasikan dengan mewariskan kualitas-kualitas terbaik yang “diri” miliki kepada yang lain.

Menilik Sejarah Filsafat

Perbedaan-perbedaan ini—tentang keabadian, jiwa, identitas personal, keindahan, dan kebaikan—menunjukkan bahwa pemikiran Diotima bukanlah sekadar kamuflase dari gagasan Plato atau Socrates. Ini adalah gagasan yang orisinal dan kritis.

Terlepas dari itu, kisah Diotima adalah pengingat bahwa sejarah filsafat, seperti sejarah pada umumnya, seringkali tertulis oleh para pemenang, atau setidaknya oleh mereka yang memiliki kuasa untuk menuliskannya. Sosoknya yang lama tersembunyi di balik bayang-bayang nama besar Plato, dan perdebatan panjang mengenai eksistensinya, mencerminkan bias gender yang telah lama meresap dalam tradisi intelektual Barat.

Menggali kembali pemikiran Diotima bukan semata-mata soal merekonstruksi figur historis. Tetapi juga soal memperkaya pemahaman kita tentang keragaman pemikiran dalam filsafat kuno.

Diotima menawarkan perspektif yang segar dan mendalam tentang cinta, keabadian, dan hakikat kemanusiaan. Gema suaranya, meski sayup, terus mendorong kita untuk mendengar lebih jeli hikayat-hikayat yang terpinggirkan dalam narasi arus utama filsafat. []

Tags: DiotimaFilsafat CintaFilsuf PerempuanPemikiran FilsafatPemikiran FilsufPlatoSejarah Perempuan
Fadlan

Fadlan

Penulis lepas dan tutor Bahasa Inggris-Bahasa Spanyol

Terkait Posts

Keadilan

Keadilan sebagai Prinsip dalam Islam

11 Juni 2025
Ruang Domestik Perempuan

Benarkah Ruang Domestik Menjadi Ruang Khusus Bagi Perempuan?

10 Juni 2025
Kesetaraan yang

Tauhid sebagai Dasar Kesetaraan

10 Juni 2025
Tauhid yang

Tauhid dan Implikasinya bagi Kemanusiaan

10 Juni 2025
Kemanusiaan

Islam dan Kemanusiaan

9 Juni 2025
Hari Raya Iduladha

Refleksi Hari Raya Iduladha: Setiap Kita Adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail

9 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kesetaraan yang

    Tauhid sebagai Dasar Kesetaraan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dad’s Who Do Diapers: Ayah Juga Bisa Ganti Popok, Apa yang Membuat Mereka Mau Terlibat?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Karhulta di Riau: Mengancam Keberlangsungan Hidup Manusia dan Keberlanjutan Alam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Di Balik Bayang-bayang Plato: Sebuah Hikayat tentang Diotima

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah Tokoh Perempuan (Part 3)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengaji dalam Sunyi: Meneladani Ponpes Disabilitas Rungu Jamhariyah di Sleman
  • Keadilan sebagai Prinsip dalam Islam
  • Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah Tokoh Perempuan (Part 3)
  • Benarkah Ruang Domestik Menjadi Ruang Khusus Bagi Perempuan?
  • Di Balik Bayang-bayang Plato: Sebuah Hikayat tentang Diotima

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID