Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan KH. Husein Muhammad, sosok Gus Dur selalu berada di wilayah yang kontroversial. Ya beliau dicintai sekaligus dibenci, dihormati sekaligus dicaci, dipuja sekaligus dituduh sesat. Dan itulah keunikan Gus Dur bahwa bahkan setelah wafat, keberadaannya tetap memantik perdebatan.
Bagi banyak orang, beliau adalah sumber inspirasi. Gagasannya membuat mereka berani hidup lebih terbuka dan lebih manusiawi. Dalam bahasa para santri, mereka mengatakan “Kami mendapatkan barokah Gus Dur.”
Namun pada saat yang sama, sebagian orang yang tidak memahami pemikirannya justru menempatkan Gus Dur sebagai ancaman. Mereka menuduhnya kafir, musyrik, sesat, atau merusak Islam. Tuduhan itu bukan lahir dari kedalaman ilmu, tetapi dari ketakutan yang tumbuh di atas ketidaktahuan.
Kemudian, ketika di Purwakarta, Gus Dur sedang mengisi ceramah dalam forum lintas iman, sebuah ruang yang justru mencerminkan nilai Islam tentang dialog. Bahkan ada sekelompok orang yang mengaku pembela agama datang untuk menyerangnya. Mereka ingin melukainya.
Rumahnya pun berkali-kali diteror. Tetapi Ia tidak pernah membalas, tidak pernah mengeluh. Bahkan, tidak pernah menumbuhkan kebencian. Kepada orang-orang terdekat, ia hanya berkata:
“Biarkan saja. Tidak apa-apa. Semoga Allah memberi mereka pengetahuan dan petunjuk.”
Lalu ketika ditanya mengapa ia begitu sabar menghadapi cacian dan kebencian, ia menjawab “Al-insan adaa-u maa jahilu (Manusia memusuhi apa yang tidak ia ketahui).”
Kalimat itulah inti persoalan yang paling jernih yaitu kebencian kepada Gus Dur lahir dari ketidaktahuan. []












































