Kemarin saya membaca tulisan seseorang di twitter. Dia menyatakan bahwa ia bukan hanya menganggap Kartini sebagai tokoh emansipasi perempuan. Lebih dari itu, menurutnya Kartini adalah Ibu Intelektual modern Indonesia.
Dalam surat-suratnya Kartini sudah sadar bahwa banyak tradisi masa lalu sudah tidak memadai. Sementara tradisi Eropa atau Barat tidak cocok sepenuhnya. Dan itu menurutnya bukanlah sebuah dualisme, akan tetapi yang harusnya dilakukan adalah transformasi pendidikan.
Namun lebih menarik lagi melihat bagaimana dialektika agama Kartini berkembang. Kartini begitu kritis terhadap dogma-dogma agama yang disampaikan. Ia pernah menyampaikan dalam suratnya kepada Stella, salah seorang sahabatnya di Eropa. Nama aslinya adalah Estelle Zeehandelaar.
Awal perkenalan mereka melalui iklan koran yang dipasang oleh Kartini saat berusia 20 tahun. Kartini menulis di koran Belanda, De Hollandsche Lelie. Dalam iklannya, Kartini menyebutkan bahwa ia membutuhkan teman perempuan untuk dapat saling surat menyurat. Temannya harus dari Belanda dan memiliki perhatian pada perubahan-perubahan di Eropa. Stella adalah pejuang feminis saat itu. Ia sering memperjuangkan hak-hak perempuan.
Ini adalah salah satu surat Kartini kepada Stella pada 6 November 1899. Dalam potongan surat tersebut, tergambar bagaimana Kartini begitu kritis terhadap agama yang dipeluknya.
“I cannot tell you anything of the Mohammed law, Stella. Its followers are forbidden to speak of it with those of another faith. And, in truth, I am a Mohammedan only because my ancestors were. How can I love a doctrine which I do not know—may never know? The Koran is too holy to be translated into any language whatever. Here no one speaks Arabic. It is customary to read from the Koran; but what is read no one understands! To me it is a silly thing to be obliged to read something without being able to understand it. It is as though I were compelled to read an English book, and the whole thing should go through my head without my being able to comprehend the meaning of a single word. If I wished to know and understand our religion, I should have to go to Arabia to learn the language. Nevertheless, one can be good without being pious. Is not that true, Stella?”
“Aku tidak bisa mengatakan apapun terkait ajaran Nabi Muhammad, Stella. Pengikutnya dilarang untuk berbicara terkait hal tersebut kepada orang beragama lain. Dan pada faktanya, saya beragama Islam karena nenek moyang saya beragama Islam juga. Bagaimana bisa saya mencintai doktrin agama yang tidak saya ketahui? Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Disini orang juga tidak tahu Bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Sama halnya seperti kamu mengajar saya membaca buku bahasa Inggris yang harus hapal seluruhnya, tanpa kamu terangkan maknanya kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana. Walaupun tidak saleh, kan boleh juga jadi orang baik hati. Bukankah demikian Stella?”
Selain mempertanyakan agamanya dengan kritis, Kartini juga begitu membenci poligami. Ia mempertanyakan bagaimana bisa ada cinta dari sebuah dosa (poligami). Bukankah menurutnya dosa, jika seseorang menyakiti orang lain? Dan bukankah poligami begitu sangat menyakitkan?
“ And though it be a thousand times over no sin according to the Mohammedan law and doctrine, I shall for ever call it a sin. I call all things sin which bring misery to a fellow creature. Sin is to cause pain to another, whether man or beast. And can you imagine what hell-pain a woman must suffer when her husband comes home with another—a rival—whom she must recognize as his legal wife? He can torture her to death, mistreat her as he will..”
“Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya aku mengatakan itu dosa. Aku akan selama-lamanya mengatakan dosa pada hal-hal yang mendatangkan penderitaan pada orang lain. Dosa adalah sesuatu yang mendatangkan sakit baik bagi manusia maupun binatang. Dan bisakah kau bayangkan, betapakah azab sengsara yang harus diderita seorang perempuan, bila lakinya pulang ke rumah membawa perempuan lain, dan perempuan itu harus diakuinya sebagai perempuan lakinya yang sah? harus diterimanya jadi saingannya? Boleh disiksanya, disakitinya perempuan itu sepuas hati selama hidupnya…”
Selain itu, dalam suratnya yang diterjemahkan oleh guternberg.org halaman 13, Kartini menulis surat kepada Abendanon. Saat Kartini wafat, Abendanon menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia lalu membukukan kumpulan surat-surat Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Kumpulan surat itu diberi judul “Door Duisternis tot Licht“ yang memiliki arti harfiah “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”
Di tahun 1900, mereka pernah saling berkirim surat. Di dalamnya Kartini mengkritik poligami sebagai suatu ajaran agama. ia bertanya-tanya mengapa ada sesuatu yang menyakitkan di bawah ajaran agama? walaupun di saat yang sama, Kartini mengaku tidak bisa melakukan apapun.
“Helpless in bitter grief, I wring my hands and feel myself powerless to fight against an evil so gigantic! and which, O Cruelty! is under the protection of the Mohammedan Law, and is fed by the ignorance of the women themselves, the victims of the sacrifice. Fate allows that cruel wrong which is called polygamy to stalk abroad in the land—”I will not have it,” cries the mouth vehemently and the heart echoes the cry a thousand fold, but alas—to will! Have we human beings a will? It is always, we must, must do everything, from our first infant cry till our last breath”
“Dalam keputusasaan, dalam kesedihan, aku menggenggam tanganku – aku – satu-satunya yang kesepian, seorang diri menghadapi monster besar – oh.. menyeramkan! – ini (poligami) di bawah ajaran agama Nabi Muhammad, dan perempuan adalah korbannya! Oh! Dan aku pun berpikir apakah takdir mengerikan yang bernama poligami ini akan mendapatiku juga?-“Aku tidak ingin..” mulutku berteriak meronta dan hatiku menangis ribuan kali.. Tapi, oh.. apakah pada kenyataannya manusia sejatinya memiliki kehendak? Kita dipaksa ‘wajib’ dari tangisan pertama hingga hembusan napas terakhir”
Dalam penggalan-penggalan surat yang lain. Kartini menyayangkan mengapa perempuan di Bumiputra (Kartini memanggil Indonesia sebagai Bumiputra) begitu rendah harganya. Ia bahkan mengatakan bahwa perempuan di negerinya bagaikan tanah liat yang bisa dibentuk apa saja.
Kartini, seorang Raden Ajeng masa itu pun kalah oleh patriarki. Ia dipoligami. Ia menjadi istri ke-4. Kartini bahkan wafat karena melahirkan. Namun perjuangan dan pemikirannya tidak boleh kalah juga. Hari Kartini harusnya bukan hanya menjadi ajang menggunakan kebaya. Tapi juga ajang melawan patriakri dan diskriminasi. []