Mubadalah.id – Pada 26 Oktober 2025, Komunitas Sant’Egidio mengadakan International Meeting for Peace di Roma, Italia. Komunitas ini merupakan gerakan Katolik internasional yang selama puluhan tahun menjadi jembatan dialog lintas iman dan perdamaian dunia. Tahun ini, forum tersebut mengangkat tema besar “Religions and Cultures in Dialogue for Peace.”
Dalam pertemuan Forum Perdamaian Roma itu, Paus Leo XIV menyambut para pemimpin agama dari berbagai negara. Mulai dari agama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, hingga tradisi lokal dalam semangat persaudaraan universal.
Sementara yang menjadi wakil dari Indonesia adalah Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. Beliau membawa nama Indonesia untuk hadir di panggung dunia bukan hanya sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, tetapi sebagai contoh bagaimana mayoritas dan minoritas bisa hidup berdampingan tanpa meniadakan perbedaan.
Indonesia di Panggung Dialog Global
Dalam sambutannya, Menag Nasaruddin Umar menegaskan bahwa Indonesia memiliki kekuatan spiritual dan sosial untuk menjadi model dialog lintas iman. Negara Indonesia berdiri di atas nilai Pancasila, yang menjamin kebebasan beragama sekaligus menuntut tanggung jawab moral untuk menjaga kerukunan.
Di hadapan para pemimpin dunia, Menag menyampaikan bahwa agama seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok. Dalam dunia yang penuh konflik, agama bisa menjadi kekuatan untuk menyembuhkan bukan karena seragamnya doktrin, tetapi karena kesediaan untuk saling mendengarkan dan saling belajar.
Pernyataan ini mendapatkan apresiasi dari Paus Leo XIV dan semua peserta yang hadir. Mereka mendukung bahwa setiap relasi, termasuk antaragama, harus terjadi atas dasar penghormatan, dan kolaborasi. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, tidak ada yang menuntut pengakuan, karena semuanya berdiri sejajar sebagai ciptaan Tuhan.
Dialog yang Menyembuhkan Luka
Forum Perdamaian Roma menunjukkan wajah baru diplomasi spiritual. Bukan lagi diplomasi yang kaku dan politis, melainkan perjumpaan yang menyentuh dimensi kemanusiaan. Dalam forum seperti ini, doa menjadi bahasa universal, dan pengalaman luka menjadi dasar solidaritas.
Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat relevan. Di tengah meningkatnya intoleransi digital, ujaran kebencian berbasis agama, dan ketegangan identitas, dialog lintas iman perlu mendapat perhatian kembali bukan hanya di atas mimbar, tetapi di tengah masyarakat.
Dialog yang sejati bukan sekadar bertukar kata, melainkan berbagi luka dan harapan. Ketika seorang Muslim berbicara dengan seorang Katolik tentang kemiskinan atau perubahan iklim, mereka sedang menemukan titik temu kemanusiaan. Rasa-rasanya ini merupakan sesuatu yang jauh lebih dalam dari perdebatan teologis.
Dari Roma ke Rumah
Pertemuan Paus Leo XIV dan Menag Nasaruddin menjadi simbol bahwa dialog global harus berdampak lokal. Seruan perdamaian dunia akan kehilangan makna jika tidak menyentuh akar persoalan masyarakat yaitu ketimpangan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
Dalam semangat dialog, kita harus berani membawa nilai-nilai toleransi ke ruang-ruang keluarga, sekolah, tempat ibadah, dan dunia digital. Artinya, kita perlu menciptakan ruang di mana perbedaan bukan sumber kecurigaan, tetapi modal untuk saling memperkaya.
Perspektif Katolik: Dialog sebagai Wujud Iman yang Hidup
Dalam pandangan Gereja Katolik, dialog lintas iman bukan sekadar upaya sosial, melainkan bagian dari misi Gereja untuk menghadirkan kasih Allah di dunia. Ajaran Konsili Vatikan II, khususnya dalam Nostra Aetate (1965), menegaskan bahwa Gereja menghormati segala yang benar dan suci dalam setiap agama, serta mengajak semua orang untuk hidup dalam damai dan saling pengertian.
Paus Fransiskus melanjutkan semangat itu dalam ensiklik Fratelli Tutti, yang mengajarkan bahwa kita semua adalah “saudara dan saudari yang satu keluarga manusia.” Maka, pertemuan antara Paus Leo dan Menteri Agama Indonesia menjadi tanda konkret bahwa iman Katolik memanggil setiap orang beriman untuk keluar dari tembok gereja dan menjumpai yang lain dengan kasih.
Dialog lintas iman, dalam terang Katolik, bukan ancaman terhadap iman sendiri, tetapi ekspresi paling murni dari iman yang matang. Ketika umat Katolik berdialog dengan yang berbeda, mereka sedang menghidupi sabda Kristus: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9).
Krisis sebagai Panggilan untuk Bangkit
Dunia hari ini masih mengalami krisis kepercayaan dan krisis kemanusiaan. Banyak orang menolak berdialog karena takut kehilangan identitas. Namun pertemuan forum ini justru menegaskan bahwa identitas sejati tidak rapuh oleh perbedaan, melainkan diperkuat olehnya.
Pertemuan antara Paus dan Menag menjadi tanda bahwa agama masih punya daya hidup untuk menyembuhkan dunia. Dari Vatikan hingga kampung kecil di Indonesia, pesan yang sama bergema yaitu kita dipanggil untuk membangun jembatan, bukan tembok pemisah.
Iman yang Membumi, Harapan yang Menumbuhkan
Pertemuan lintas iman di Forum Perdamaian Roma menunjukkan bahwa iman tidak berhenti di altar atau masjid, tetapi hidup dalam tindakan sosial. Dialog antaragama bukan sekadar seremonial, melainkan bentuk konkret dari kasih yang bekerja.
Dari Roma, menteri agama membawa pulang pelajaran berharga yakni menjadi mayoritas berarti melindungi yang minoritas. Atau menjadi pemimpin berarti mendengarkan yang lemah. Dalam semangat keberagaman, kekuatan sejati tidak diukur dari jumlah, melainkan dari kesediaan untuk berbagi ruang, mendengar cerita, dan menumbuhkan kehidupan bersama.
Dunia mungkin sedang krisis, tetapi harapan belum padam. Selama ada orang-orang yang mau duduk sejajar dan berbicara dengan hati terbuka, damai akan selalu menemukan jalannya. []











































