Mubadalah.id – Beberapa minggu lalu, saya mengikuti sebuah webinar bersama Bu Ainun Chomsun yang bertajuk “Strategi Kampanye Inklusivitas di Media Sosial”. Satu hal yang blio tekankan adalah, media sosial itu bukan sekadar kanal komunikasi, melainkan juga ruang advokasi, ruang edukasi, bahkan ruang untuk membangun reputasi organisasi. Maka, membawa isu difabel ke sana, sama artinya dengan memperjuangkan agar inklusi hadir di denyut kehidupan kita sehari-hari.
Setelah menyimak penjelasan blio, saya merenungkan banyak-banyak hal. Salah satunya adalah, mengapa jika menyoal inklusi, khususnya bagi difabel, selalu terasa berat, dan susah. Seakan perlu menapaki anak tangga yang panjang satu demi satu, kemudian menempuh jalan lika-liku. Dan untuk bisa sampai butuh konsistensi dan ketekunan.
Saya jadi teringat sebuah pepatah kuno dari Afrika, kurang lebihnya begini, “kalau mau berjalan cepat, pergilah sendirian. Tapi kalau mau pergi jauh, pergilah bersama-sama.” Dan sebagaimana paragraf di atas, isu disabilitas ini adalah langkah panjang, bukan jarak pendek. Karena itu, ia hanya bisa ditempuh dengan perjuangan bersama.
Difabel Bukan Sekadar Label
Satu hal yang perlu diubah dalam memperjuangkan isu disabilitas ini adalah jangan sampai kita terjebak pada kata “difabel” sebagai sebuah istilah teknis. Padahal, yang lebih penting adalah wajah manusia di baliknya.
Inklusi tidak lahir dari label, melainkan dari pengakuan akan martabat manusia yang utuh. Karena itu, kampanye inklusivitas mesti menampilkan cerita bagaimana seorang difabel menembus batas ruang publik, bagaimana ia berjuang di sekolah, di tempat kerja, atau di ruang ibadah.
Bu Ainun menekankan, storytelling adalah kunci. Cerita yang mengalir dari empati, kemudian menggugah rasa, lalu berakhir pada ajakan. Inilah jalan narasi inklusi yang efektif. Tidak berhenti pada slogan, tidak sekadar menumpuk data, melainkan menghadirkan pengalaman yang bisa disentuh dengan hati dan rasa.
Pun ketika kita menyebut kata difabel, jangan sampai imajinasi kita berhenti pada keterbatasan tubuh. Sebab, di balik kata itu ada manusia dengan mimpi, cita-cita, juga luka yang mungkin tidak pernah kita lihat. Iya, inklusi itu mengakui bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkontribusi.
Dan untuk mencapai itu, kita butuh media sosial sebagai jembatan, yang menyampaikan pesan dan cerita utuh itu kepada lebih banyak orang. Agar difabel tak lagi dianggap sebagai angka statistik, atau bahkan kisah belas kasih.
Mengulang Pesan, Menjaga Harapan
Kampanye inklusivitas bukanlah perlombaan siapa yang paling cepat viral, melainkan upaya yang mesti diulang terus-menerus. Satu unggahan mungkin tidak mengubah apa-apa, satu cerita mungkin hanya lewat di linimasa. Tetapi ketika pesan itu terus hadir, ia perlahan menembus sekat kesadaran. Sama seperti air yang menetes sabar di batu, ia lama-lama mengikis kekerasan pandangan yang sering meremehkan difabel.
Mengulang pesan adalah cara untuk menjaga harapan tetap hidup. Sebab, banyak orang yang awalnya tidak peduli bisa saja berubah karena sering melihat, mendengar, dan membaca tentang isu yang sama. Di sinilah konsistensi menjadi kunci. Jangan berhenti hanya karena respon pertama dingin, sebab perubahan sosial tidak lahir dari satu kali gebrakan, melainkan dari suara yang tekun dan tidak lelah kita lakukan berulang-ulang.
Bukankah begitu juga cara kita menjaga iman? Salat lima waktu, doa yang berulang, tilawah yang setiap hari kita ulang, semuanya adalah bentuk konsistensi agar keyakinan tidak pudar. Maka, memperjuangkan inklusi pun perlu pola yang sama: sabar, teratur, dan yakin bahwa setiap langkah kecil dengan konsistensi akan menjadi jalan menuju perubahan besar.
Meniti Jalan Panjang
Kalau menyoal konsistensi, ada satu penggalan dari Atomic Habits karya James Clear yang cukup saya ingat. kurang lebih begini kalimatnya, “Saat semuanya terasa tak berguna, saya menyaksikan tukang batu tak henti-hentinya menghantam batu cadas. Mungkin sampai seratus kali, tak ada retakan pun. Tapi pada hantaman yang ke-101, batu itu pecah. Saya tahu, bukan hanya hantaman terakhir, tapi semua yang sudah terlaksana sebelumnya.”
Kisah ini mengingatkan kita bahwa perubahan tidak pernah instan. Ada saat-saat di mana setiap langkah kecil terasa sia-sia, setiap usaha seperti lenyap tanpa jejak. Namun justru di situlah letak ujian: keberanian untuk terus mencoba, meski hasilnya belum terlihat.
Dalam konteks perjuangan inklusivitas—khususnya bagi difabel—metafora ini sangat relevan. Kampanye, advokasi, atau sekadar menyuarakan pengalaman hidup, mungkin tampak seperti bisikan yang tak terdengar. Tapi setiap suara adalah pukulan kecil yang memperlemah tembok diskriminasi. Pertanyaannya, apakah kita cukup sabar dan konsisten untuk merawat suara-suara itu, sampai akhirnya dinding ketidakadilan itu runtuh dan berubah menjadi laku hidup bersama-sama? Mari kita lakukan saja! []