Mubadalah.id – Wafatnya Paus Fransiskus membawa duka yang mendalam tidak hanya bagi umat Kristiani, tetapi juga bagi banyak orang. Keberanian untuk menjembatani iman dan kemanusiaan menjadi ciri khas dari Paus kelahiran Buenos Aires, Argentina ini. Selama 12 tahun masa Pontifikalnya, Paus Fransiskus banyak sekali berbicara tentang perdamaian dan kemanusiaan. Salah satu dokumen yang menjadi warisan Paus Fransiskus adalah dokumen Abu Dhabi.
Pada tahun 2019 silam, Paus Fransiskus secara khusus melakukan kunjungan apostolik ke Uni Emirat Arab. Dalam kunjungannya, beliau secara khusus hendak berjumpa dengan Imam besar Al-Tayyeb. Pertemuan kedua tokoh penting ini menandai sejarah baru sekaligus jalan untuk untuk membangun perdamaian dalam beragama.
Ya, pertemuan kedua tokoh ini tidak hanya sekadar pertemuan biasa. Ada banyak hal yang masuk dalam pembahasan, khususnya aspek kemanusiaan dan perdamaian. Pertemuan ini menghasilkan satu dokumen yang hingga sekarang menjadi tonggak untuk membangun perdamain dalam beragama, yaitu dokumen Abu Dhabi.
Lahir dari Keprihatinan Bersama
Penandatangan dokumen ini bukanlah tanpa alasan. Paus Fransiskus dan Imam Al-Tayyeb melihat ada sebuah keprihatinan yang sangat besar. Keprihatinan ini jika dibiarkan akan semakin menghalangi terciptanya perdamaian. Kedua tokoh ini melihat adanya konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb melihat adanya urgensi untuk mengembalikan wajah sejati agama sebagai kekuatan perdamaian dan kasih, bukan kekerasan dan kebencian. Banyak orang tidak peka akan pentingnya kasih dan perdamaian. Selain itu juga banyak anggapan agama sendirilah yang paling baik. Ini menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik atas nama agama.
Dari keprihatinan ini, akhirnya Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb memiliki keinginan untuk kembali menyatukan manusia melalui kasih dalam agama.
“Deklarasi ini, yang berangkat dari pertimbangan mendalam atas realitas kita dewasa ini. Dengan menilai keberhasilannya dan dalam solidaritasnya dengan penderitaan, bencana dan malapetaka. Dengan keyakinan teguh bahwa diantara penyebab utama dari krisis dunia modern adalah ketidakpekaan hati nurani manusia, penjauhan dari nilai-nilai agama dan individualisme yang tersebar luas. Selain itu, filsafat materialistis yang mendewakan manusia dan memperkenalkan nilai-nilai duniawi dan material sebagai pengganti prinsip-prinsip tertinggi dan transendental juga menjadi penyebab.” (Dokumen Abu Dhabi, 2019:11).
Perjumpaan kedua tokoh besar ini tidak hanya atas nama Gereja dan Islam, tetapi juga untuk mendorong dialog keagamaan antara para pemeluk agama sedunia. Deklarasi ini mengajak semua umat manusia untuk saling mengasihi satu sama lain. Melalui Dokumen Abu Dhabi ini, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb mendorong semua orang memperkuat persaudaraan dan perdamaian antara umat manusia.
Kemanusiaan dan Agama menjadi Isi Pokok
Deklarasi ini membawa angin segar bagi kerukunan umat beragama. Dokumen ini lahir atas dasar bahwa semua manusia adalah keluarga. Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb menekankan bahwa agama seharusnya menjadi jembatan dan dalan untuk membangun perdamaian.
Agama bukan hanya sebagai ekspresi hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi lebih dari itu juga harus membentuk hubungan manusia dengan manusia lain. Menurut mereka agama harus bisa menjadi jembatan untuk membangun perdamaian, keadilan, dan kasih.
Perdamaian, sebagai panggilan bersama untuk menghentikan segala bentuk perang dan kekerasan. Keadilan, terutama dalam melawan ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik. Kasih, sebagai fondasi utama dalam relasi antarmanusia.
Selain itu ada satu hal yang menjadi pokok dari dokumen ini, yaitu bahwa terorisme bukan ajaran agama manapun. Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb melihat urgent yang sangat besar untuk mengatasi terorisme.
Terorisme menurut Dokumen Abu Dhabi adalah akibat dari penumpukan pemahaman keliru terhadap teks-teks keagamaan. Menyikapi banyaknya teroris yang mengatasnamakan agama, kedua tokoh ini mengecam dan mengutuk bahwa terorisme adalah sikap yang sangat tidak manusiawi.
Teladan St. Fransiskus Asisi dan Sultan Malik Al-Kamil
Perjumpaan kedua tokoh pemimpin agama ini mengingatkan dengan peristiwa yang terjadi pada saat perang salib tahun 1219. Peristiwa tersebut adalah perjumpaan Fransiskus dari Assisi, dan Sultan Malik Al-Kamil. Dalam situasi yang mencekam dengan adanya perang tidak membuat Fransiskus Asisi takut untuk menemui Sultan Malik Al-Kamil.
Dengan keberanian yang sangat besar, Fransiskus Assisi memutuskan untuk menemui Sultan Malik. Ia berusaha untuk mengakhiri perang dan menciptakan kedaiaman, sekalipun nyawanya yang harus menjadi taruhannya. Fransiskus memohon untuk dapat bertemu dengan sultan bukan sebagai musuh, tetapi sebagai saudara.
Fransiskus menunjukkan bahwa kekuatan sejati terletak dalam kelembutan dan penghormatan terhadap orang lain. Ketika berhasil untuk bertemu dengan Sultan Malik, ia menyapa Sultan dengan salam, “Semoga Tuhan memberimu kedamaian.” Salam ini sontak mengejutkan Sultan, yang langsung terpesona oleh kekudusan Fransiskus. Hal ini menunjukkan keberanian Fransiskus Asisi.
Di satu sisi, Sultan Malik yang pada awalnya sangat berambisi untuk membunuh orang kristen kini berubah menjadi bijaksana. Ia tidak menolak kehadiran Fransiskus Asissi apalagi berusaha membunuhnya. Ia menyambut Fransiskus dengan penuh keramahan.
Melalui perjumpaannya dengan Fransiskus, Sultan Malik menyadari bahwa pada sejatinya perang bukanlah jalan yang baik dan suci. Perjumpaan ini membawa Sultan Malik pada sebuah refleksi yang sangat mendalam, bahwa semua makhluk hidup adalah keluarga, meskipun berbeda keyakinan.
Panggilan Bagi Semua Umat Manusia
Pada akhirnya kedua tokoh ini menjadi sahabat sejati dalam iman. Meskipun tidak menghasilkan sebuah dokumen tertulis, tetapi perjumpaan kedua tokoh ini membawa pesan moral bahwa persaudaraan sejati dimulai dari hati yang mau mendengarkan dan saling menghormati. Fransiskus pulang dengan damai, dan Sultan Malik memperlakukan tahanan perang Kristen dengan kebaikan dan kemurahan hati.
Dokumen Abu Dhabi adalah warisan yang mulia, karena di dalamnya terdapat aspek manusiawi, perdamaian, dan agama. Ini menjadi panggilan universal dalam untuk membangun perdamaian. Dokumen ini juga bukan hanya sekedar hasil perjanjian kedua tokoh besar, tetapi juga menjadi bahan refleksi bersama.
Dokumen Abu Dhabi mengajak setiap orang, apa pun agamanya atau bahkan yang tidak beragama, untuk menjadi agen cinta kasih dan perdamaian dunia. Maka, marilah kita bergandengan tangan untuk menjaga dan meneruskan warisan mulia ini dalam dunia kita.