Mubadalah.id – Pendiri Tadarus Subuh, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, menyampaikan masalah utama bencana banjir bandang yang yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat itu bukan akibat cuaca, bukan juga soal tafsir agama, melainkan soal kuasa dan bagaimana kuasa itu gagal dikendalikan.
“Ini bukan problem agama. Ini problem negara, problem kebijakan, problem politik,” kata Dr. Faqih.
Dr. Faqih menyatakan bahwa Aceh sebenarnya memiliki perangkat keagamaan yang lengkap dan aktif. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) bukan lembaga kecil. Mereka memiliki jaringan, otoritas, dan tradisi panjang dalam memberikan bimbingan moral kepada masyarakat.
“MPU sudah banyak bergerak melalui ceramah, tulisan, buku, dan lain-lain. Jadi problem kita ini sebenarnya bukan soal agama. Kadang kita bertengkar soal tekstualis-kontekstualis, padahal persoalannya tidak di situ,” ujarnya
Baginya, pergumulan umat Islam terhadap tafsir ayat atau perdebatan fiqh tentang alam bukan persoalan mendesak yang harus kita salahkan setiap kali bencana terjadi.
Justru, kata Dr. Faqih, persoalan utamanya adalah keberanian negara dalam mengambil kebijakan ekologis, dan keberanian lembaga-lembaga agama dalam menegur negara.
Tidak Ada Kontrol
Sementara itu, Dr. Faqih menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang sudah diingatkan malaikat sebagai pembawa potensi kerusakan.
“Karakter merusak ini ada pada siapa pun. Tapi semakin besar kuasanya, semakin besar pula daya rusaknya, baik kuasa agama maupun kuasa negara,” jelasnya.
Dalam pandangan Dr. Faqih, kesalahan besar ekologi Indonesia hari ini lahir dari dua sumber utama. Pertama, negara yang melonggarkan kuasa korporasi, hingga hutan dipangkas tanpa kontrol.
Kedua, lembaga keagamaan yang kehilangan fungsi kontrolnya, hingga kekuasaan berjalan tanpa akuntabilitas moral.
Ia menekankan bahwa mandat agama dalam istilah khalifah sesungguhnya adalah mandat pengawasan moral. Di level negara, mandat itu kita terjemahkan melalui kebijakan. Tapi di Indonesia hari ini, kedua sisi itu sama-sama lemah.
“Kalau agamanya diam, fungsi kontrol hilang. Negara akan tidur nyenyak,” tegasnya.
Mengapa Ormas Keagamaan Diam?
Di sinilah letak kritik Dr. Faqih. Ia mempertanyakan secara langsung diamnya berbagai otoritas keagamaan yang selama ini vokal dalam isu moral. Tetapi diam ketika menyangkut kerusakan ekologis yang memakan korban massal.
“Kenapa MUI diam? Kenapa NU dan Muhammadiyah tidak bersuara?,” tanyanya tegas.
Bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menggugah mereka. Bagi Dr. Faqih, diamnya lembaga agama bukan hanya masalah komunikasi. Diam berarti membiarkan negara dan korporasi merasa aman, aman untuk terus menambang, membuka hutan, memperluas konsesi, dan menunda-nunda pemulihan lingkungan.
“Pemerintah akan nyaman-nyaman saja kalau semua diam. Dan memang, kelompok-kelompok kekuatan agama ini seperti belum bangun,” ungkapnya.
Ia menyoroti pula bahwa MPU Aceh, yang secara struktural sangat dekat dengan pemerintah daerah, belum pernah mengeluarkan sikap keras di media soal apa yang harus dilakukan negara untuk menghentikan kerusakan hutan. Padahal Aceh adalah provinsi yang berkali-kali dihantam bencana ekologis akibat deforestasi yang masif. []





































