Dua Barista’s Blurb
Kehidupan kadangkala menyuguhkan jalan yang pelik. Masuk ke mulut Buaya atau Harimau? Terseret arus laut atau tenggelam ke danau? Begitulah yang dialami Ahvash. Ia hendak membesarkan hati untuk menerima kenyataan atas kemandulan istrinya. Namun ia adalah anak tunggal yang kelak akan meneruskan kepemimpanan pesantren yang didirikan oleh orang tuanya. Poligami pun terjadi dalam kehidupannya disertai dengan konflik-konflik kecil yang membesar dan melukai hati meski Ahvash sudah berupaya untuk adil? Benarkah ia berlaku adil? Jika ia adil dan tidak memihak lantas mengapa harus ada pergolakan batin?
The Reason I Read, My Impression, and What I Learn
Ketika pasca melahirkan, saya mendapatkan hadiah sebuah buku berjudul Kupu-Kupu Marrakech yang siapa sangka penulisnya adalah pengirim hadiah tersebut, Najhaty Sharma, teman seasrama sewaktu mondok di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran. Saya lupa kapan terakhir kali saya membaca novel, tetapi membaca Kupu-Kupu Marrakech mampu saya selesaikan dalam satu hari sambil mengasuh anak tentunya, karena memang ceritanya sangat mengalir dan membuat pembacanya tidak terasa sudah berada diakhir buku. Wow! Kemudian lagi-lagi saya diberi kejutan bahwa ia akan membuat sebuah novel yang sepertiga bagiannya dibagikan melalui Facebook seperti cerita bersambung yang ternyata diminati banyak pembaca dan viral tidak hanya di dunia maya.
Saat membuka halaman satu bagian pertama sampai ke dua belas, tentu saya sudah membacanya di Facebook. Tetapi saya tetap membacanya dari awal agar tetap fresh dalam ingatan saya mengingat cerita bersambung di Facebook dibagikan setiap seminggu sekali. Bagi saya (dan sebelumnya saya sudah menebak-nebak dari novel sebelumnya), Novel Dua Barista tentu juga sangat readable mengalir dan menghanyutkan yang membuat pembacanya banyak memberi testimoni termehek-mehek atau susah move on setelah membaca Dua Barista. Apalagi bumbu yang diberikan dalam novel ini adalah poligami yang diberikan penyedap tambahan tentang cinta lama belum usai antara Juan dan Mazarina, gosip-gosip yang menyerebak dari Yu Sari dan kawanannya, adab santri dan sikap kemening yang menjadi penilaian subjektif di lingkungan pesantren antara Ning Mazarina dan Mbak Maysaroh, serta rayuan-rayuan ala nahwu shorof dari Gus Ahvash yang membuat pembaca tidak sadar sudah terbawa hanyut untuk terus dan terus-menerus membaca hingga ke akhir cerita. Dan yang membuat saya sedikit kaget adalah ada pula kisah kasih tak sampai antara Asih dan Kang Badrun yang turut disisipkan oleh Penulis. Sehingga penokohan dalam novel ini terlihat sangat ramai, namun tokoh utamanya tetaplah Gus Ahvash, Ning Mazarina, Mbak Maysaroh, dan Kang Badrun.
Mengapa Kang Badrun menjadi tokoh utama? Karena bagi saya, selain ingin memberikan perspektif monogami lebih baik daripada berpoligami, Penulis juga ingin menceritakan adab santri yang kian lama kian tergerus zaman atau bahkan tersembunyi bak mutiara melalui tokoh Mbak Mey dan Kang Badrun. Dalam novel ini, tindak tanduk santri beserta kesopanan dalam kesehariannya sangat diceritakan detail oleh Penulis yang memang hidup dalam lingkungan pesantren.
Ah, berbicara tentang perspektif poligami, dalam novel ini dikisahkan keturunan menjadi faktor utama terjadinya poligami. Jika Ning Mazarina tidak sakit dan harus melakukan operasi pengangkatan rahim tentulah Gus Ahvash tidak perlu bersusah payah menebar rayuan untuk kedua istrinya karena baginya hal itu melelahkan, tidak perlu juga membagi hati untuk membahagiakan orang-orang terkasih. Bagaimana bisa disebut kebahagiaan jika selalu ada hati yang terluka? Sangat terlihat jelas bahwa penulis sedang menjelaskan resiko berpoligami apabila belum 100% siap untuk berlaku adil melalui pergulatan batin dan konflik-konflik yang sampai membuat Mazarina kembali ke orang tuanya. Apalagi keturunan yang diharap-harapkan adalah keturunan yang kelak akan mewarisi ribuan santri dalam sebuah pesantren, namun disini selain topik poligami yang pro-kontra di masyarakat, lagi-lagi penulis juga seperti ingin memberitahu kepada pembaca tentang unek-uneknya bahwa siapapun berhak untuk mengamalkan ilmu tanpa perlu menjadi pewaris sebuah lembaga pendidikan jika memang dalam hatinya ada kalimat lillahi ta’ala untuk mengamalkan ilmu yang telah didapat.
Selain dua hikmah di atas yang paling menonjol, masih banyak pula percakapan-percakapan dalam novel ini yang dapat dipetik hikmahnya. Diantaranya yaitu tidak memandang seseorang hanya dari penampilan luarnya, memantaskan diri terhadap calon pasangan atau pasangan, adab dalam bermasyarakat baik secara individu maupun berkelompok, juga mengingatkan pembaca bahwa keturunan adalah rezeki sedangkan sebuah lembaga pendidikan bukanlah kerajaan.
Favourite Quote
“Gus… sampean sing adil nggeh. Sing adil, kalau kamu tak mampu adil, akan kuambil Mazarina dan kuajak ke Tuban lagi. Ingat-ingat benar ayat, fain khiftum an laa ta’diluu fawaahidatan!” Ucap Kyai Manshur sebelum poligami akhirnya benar-benar terjadi dalam pernikahan putrinya, Mazarina. Kalimat ini menjadi kutipan favorit pribadi saya dalam Dua Barista. Mengapa tidak? Secara tersirat penulis ingin menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat an-Nisa ayat 3) merupakan inti dari syarat mutlak berpoligami yang seringkali dilupakan oleh segelintir oknum yang hanya menyuarakan bagian ayat sebelumnya yaitu “fankihu maa thobalakum min an-Nisaa i matsna wa tsulaatsa wa rubaa’ ” yang artinya Maka nikailah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Sedangkan kalimat yang Kyai Manshur ucapkan adalah ayat pamungkasnya yang bermakna jika kamu merasa khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja. Karena adil yang dimaksud dalam berpoligami adalah tidak hanya adil yang bersifat materi (papan, sandang, pangan, dan qasam atau pembagian giliran pulang), tetapi juga haruslah adil untuk hal-hal yang bersifat cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya hal inilah yang sulit untuk dibagi secara adil.
Rate for Dua Barista
Untuk Dua Barista yang novelnya sudah habis sebanyak 6500 eksemplar dalam kurun waktu 3 bulan, 4.9 dari 5 bintang saya berikan dengan catatan. Sesungguhnya dari hati yang terdalam saya ingin memberi 5 bintang, tetapi tidak sedikit penulisan kata yang perlu dikoreksi. Ada juga dialog yang kurang tepat ketika Ning Mazarina menjelaskan bab haid kepada ibu-ibu Fatayat. Selain itu mungkin akan lebih baik jika arti pada dialog yang menggunakan bahasa jawa dibuat seperti catatan kaki, karena ada beberapa dialog yang tidak diartikan dan ada yang diartikan. Memang tidak mengganggu isi dan pesan yang diceritakan, tetapi akan lebih memudahkan untuk pembaca yang kurang menguasai bahasa jawa dalam menyelami Dua Barista. Saya yakin peminat Dua Barista masih akan terus bertambah, jika cetakan revisinya sudah tercetak kembali, mungkin penilaian bisa berubah menjadi 5 bintang. Untuk yang sudah membaca dan sudah memiliki pasangan, baik istri maupun suami, salinglah menjadi Barista. Karena pada sepasang kekasih hanya ada Dua Barista.
About Dua Barista
Judul Buku: Dua Barista
Nama Pengarang: Najhat Sharma
Tahun Terbit: Januari 2020
Jumlah Halaman: 494
Bahasa: Indonesia
Genre: Fiksi Drama
ISBN: 978-623-91852-4-4